webnovel

8

CEBURU

Satu minggu setelah pertemuan ku dan Kak Stefan, aku kembali membangun kedekatan dengannya. Apalagi aku tahu jika Stefan kembali menempati rumahnya di sini, membuatku kembali mengekor pada dirinya. Beruntung dia tak keberatan sama sekali, malah ia bilang jika ia bahagia. Namun siapa menyangka jika kedekatanku kembali dengan Stefan membuat Al meradang. Aku belum bercerita pada kalian mengenai kemarahan Al kan? Dia marah dan mendiamkanku selama tiga hari bermula dari aku yang melupakan keberadaannya saat berjumpa dengan kaka Stefan di pusat perbelanjaan. Aku memang salah si, tapi nggak harus semarah itu juga. Selama dia mendiamkanku, aku juga berusaha mendiamkannya. Aku ikutan tak mengabari dia. Aku mendiamkannya seperti dia mendiamkanku, aku tak ingin memulai dulu, biar dia yang menghubungi aku. Alhasil dia menghubungiku juga lewat telepon dan dia langsung marah-marah.

Masih ingat dalam memoriku,

"Hal... "Belum selesai aku menyapa, dia sudah nyerocos tak jelas di ujung sana.

"Kenapa nggak telpon aku? Kenapa nggak kirim aku pesan? Kenapa ikutan diemin aku?!" cerocos Al dengan suara tinggi. Salah siapa coba, kenapa juga pake acara diemin aku.

Aku segera menjauhkan telepon yang menempel di telinga dan tersenyum senang. Akhirnya dia yang menghubungi aku lebih dulu. Bolehkan aku bahagia mendengar suaranya yang marah-marah begitu?.

"Assalamualaikum, abang." (aku lagi seneng pakai panggilan abang jadi jangan protes ya :) )

Aku sengaja memelankan suaraku, agar dia luluh hehehe.

"Wa'alaikum salam...." Balas Al dengan nada sedikit pelan dari yang tadi.

Karena dia tidak protes sama panggilanku it's ok aku akan panggil dia abang lagi.

"Kenapa Abang?" Tanyaku mengabaikan pertanyaan dia.

"Kamu lagi ngapain?"

"Lagi di dapur bikin kopi buat kak Kevin sama kak Stefan..." Jawabku jujur. Aku memang sedang membuat kopi buat kedua kakakku, mereka berdua sudah menunggu kopinya namun gara-gara Al menelpon membuatku sedikit mengulur waktu. Biarlah mereka menunggu toh mereka tak akan berani memarahiku.

"Kak .. Stefan..." Ucapnya penuh penekanan.

"Iya, emang kenapa?"

"Ooo cukup tahu. Pantas aja betah aku diemin." Ocehnya, dari nada bicaranya aku tahu jika hatinya yang sedang kesal menjadi semakin kesal gara-gara pertanyaanku barusan.

Karena Al kembali diam maka aku yang bertanya "Emang kamu lagi diemin aku?"Polosku pura-pura tak menyadari perlakuanya beberapa hari padaku.

Aku panggil kak Sahila yang kebetulan masuk ke dapur, lalu meminta tolong pada kakak cantikku itu untuk mengantarkan dua gelas kopi buatanku ke depan.

"Makasih... " ucapku tanpa suara alias hanya gerak bibir dan Kakak cantikku itu loangsung mengangkat ibu jarinya.

"Kamu dengerin aku nggak?" Tanya dia di seberang sana.

"Iya aku dengerin kok," jawabku sambil berjalan menuju kamar. Nggak apa ninggalin Stefan sementara waktu.

"Kamu tahu..."

"Enggak..."Jawabku memotong ucapan Al.

"Aissss... Aku tuh lagi marah sama kamu sayang!" teriak Al lagi, cukup kencang tapi kali ini tidak membuat telingaku sakit. Teriakannya justru membuatku bergetar.

Sayang???

Dia panggil aku sayang???

Serius... Oooo... Bolehkan aku guling guling bahagia di atas kasur ?

"Khemmm.. " Aku menetralkan suaraku. "Marah kenapa? Emang aku buat salah apa?" Jujur aku emang nggak tahu aku buat salah apa ke dia.

"Kamu benar-benar keterlaluan, kamu terlalu asik ngobrol sama pria itu dan melupakanku ditambah pelukan ." Protes Al, iya aku sadar itu. Tapi jujur aku memang lupa jika waktu itu aku pergi sama dia, hahaha.

"Iya maaf... Maaf... Kamu lagi apa?"

"Mikirin kamu..."

"Gombal..."

"Beneran lho_"

Akhirnya kami mengobrol panjang lebar dan melupakan masalah kami kemarin.

Back to realitas

Saat ini aku sedang menunggu kak Stef, aku dapat undangan makan gratis dari dia. Jadi saat dia telpon ngajak makan, aku langsung menganggu mengiyakan.

Aku melirik jam tangan, sudah setengah lima tapi dia belum datang juga. Aisss awas nanti kalau dia datang akan aku getok kepalanya karena bikin aku menunggu lama.

"Nungguin siapa ki?" tanya Asraf teman kantor, dia baru saja keluar dari kantor.

"Nungguin sopir, kamu baru mau pulang? " tanyaku biar ada teman ngobrol kan lumayan.

"Iya nih, niatnya mau nemenin dia lembur eeehhh malah ngusir."

Hahaha aku tertawa, aku tahu siapa yang Asraf maksut. Sipa lagi kalau bukan Alona, si Asraf ini lagi deketin Alona tapi si Alona masih jual mahal. Kalau gue si yes aja deh sama mereka, toh Alona dan Asraf cocok.

"Kasian.. " aku menepuk pundak Asraf, "sabar ya, Alona mah gitu. Asalakan lo Mau berjuang keras buat Alona, aku yakin kalian bisa sama-sama."

"Thanks ki, lo emang sahabat baik gue."

"Eee sejak kapan kita sahabatan." koreksi ku. Emang bener, kapan kita sahabatan deket aja karena dia deket sama Alona. Dulu mana bisa ngobrol kaya gini, nyapa aja jarang.

"Sejak gue deketin Alona lah," koreksi dia "Lo mah ki, bikin gue drop aja. Udahlah kalau gitu gue pulang. Lo sama Alona emang cuman bisa bikin gue down!"

Hahaha

Aku terbahak, sori deh ya kalau ke jujuranku bikin dia malaha gitu. Ya mau gimana lagi, aku emang begini adanya. Aku terpaksa harus menahan tawaku, aku juga masih punya malau harus tertawa di pelataran kantor.

Tak selang lama dari kepergian Asraf, orang yang aku tunggu dari tadi akhirnya datang juga. Dia menghentikan mobil tepat di depanku berdiri. Dari dalam mobil dia memberikanku kode agar segera masuk, dia hanya menurunkan kaca mobil. Ckk menyebalkan, kenapa dia nggak turun dulu dan membaiki suasana hatiku. Oke nggak apa, aku harus mengalah dulu sekarang.

Brak

Aku menutup pintu mobil sesuka hati, kakak ku tak memprotes dia justru tancap gas.

Diam... Kita sama-sama diam. Aku hetan, dia yang telat jemput kenapa dia juga harus marah. Karena tidak tahan dengan keadaan sunyi , aku mengulur tangan untuk memutar musik itung-itung menghapus jejak kesunyian.

Aku nyanyi-nyanyi sesuai dengan lagu yang sedang aku dengarkan, aku sengaja mengencangkan suara ku agar dia terusik, tapi orang disebelahku masih saja diam, dia lebih asik fokus dengan halanan daripada memperhatikan aku yang sudah seperti cacing kepanasan mencari perhatian.

"Stoppp...! " teriakku kencang. Bodo lah kalau dia sakit telinga atau kena serangan jantung.

Citttttt

Stefan mengerem dadakan mobilnya.

"Kamu bisa nggak si nggak usah teriak-teriak, bikin aku kaget. " suaranya menggeram kesal.

"Hah.. Akhirnya bersuara juga. Aku kira, aku sedang duduk bersama patung. " sindirku keras.

"Kamu kenapa si kak? Kalau nggak niat jemput mending nggak usah deh, daripada begini. Aku juga nggak minta kok! " aku beranikan diri mengeluarkan unek-unek yang sudah aku simpan sepanjang jalan tadi.

Aku melihat Stefan mengacak rambutnya, oke dia sudah mulai kesal rupaya. Tapi aku nggak tahu penyebabnya apa.

Dia menatap manik mataku, tangannya meraih tanganku yang entah sejak kapan mengepal. "Maafin kakak ya, kakak nggak maksut mengacuhkanmu. Kakak hanya sedang kacau saja, kakak habis bertemu dengan mama dan papa. Kami membahas sesuatu yang sama sekali tidak kakak inginkan. Kita lanjutkan perjalanan, kita jadi makan kan ?"

Aku menggeleng, ini bukan waktu tepat buat kita makan. Aku tahu, jika suasana hati Stefan sedang seperti sekarang maka yang ia butuhkan adalah waktu sendiri dan aku akan memberikannya.

"Kenapa? " tanya Stefan, ada raut bersalah disana.

"Aku kenal kakak bukan sehari dua hari. Aku yakin jika kakak tak ada janji dengan ku maka kakak akan ngurung diri di kamar, melampiaskan kekesalan kakak sendiri. Aku nggak mau egois, aku ingin memberikan kakak waktu. Lebih baik sekarang kita pulang, tapi aku akan tagih penjelasan besok!" ucapku tegas. Aku juga nggak mau ketinggalan berita tentang kakakku ini.

"Kamu memang paling ngerti deh..."

Cup

Mataku langsung melotot, aku langsung memukul Stefan sekuat yang aku bisa. Bisa-bisanya dia mencium pipiku.

"Sudah... Sudah... Ini sakit Ki, kakak minta maaf ok... "

"Awas kalau kakak ulangi lagi, aku nggak segan-segan bunuh kakak! "

"Uh.. Takut... " ledeknya. Kurang ajar sekali ini orang. Kalau aku nggak sayang pasti udah aku pites.

Sayang??

Ya, aku menyayangi kakaku ini. Bagaimanapun juga kami sudah dekat dari kecil, tapi aku hanya sayang. Karena cintaku sudah aku tanam untuk Al.

.***