webnovel

Kau Milik Kami Bertiga

Dewasa 21++ Bagaimana jika kalian menjadi Azura? Awalnya dia memiliki kehidupan biasa seperti orang-orang kebanyakan. Tapi siapa yang akan menyangka tersesatnya dia pada malam itu membuat kehidupannya berubah. Dia jadi bisa melihat apa yang tidak bisa orang lain lihat, dan malah membawanya menjadi tawanan 3 orang lelaki yang tak biasa. Mereka bertiga sangat tampan dan dingin. Kaya raya dan terkenal. Tapi siapapun tidak tau siapa mereka sebenarnya kecuali Azura. Mereka seperti iblis, yang hidup membutuhkan energi makhluk hidup dan tubuh seorang wanita. Mereka memakan energi dan cairan tubuh wanita. Mereka seperti monster yang menyiksa Azura dengan lidah nakal mereka setiap hari. Mereka ternyata.. Tak hanya itu, tersesatnya pada malam itu membuatnya bisa masuk ke organisasi rahasia besar, yang ternyata semua anggotanya adalah... NB : DILARANG KERAS PLAGIAT CERITA!! Cerita ini mengandung efek ketagihan, kalau tidak percaya, buktikan :)

Poppy_N_Zu · Urban
Not enough ratings
20 Chs

Bab 20

Zura mengetuk-ngetuk pahanya dengan jari telunjuk, dia gugup, suasananya membuat pipinya memerah. Dia sendiri tidak tau, entah mengapa jantungnya begitu tidak bersahabat. Dia ingin sekali berbincang tapi tidak tau caranya memulai.

Ael juga memilih diam dan memandang lurus kedepan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi tapi jalanan tetap saja masih banyak yang berlalulalang.

"Apa kita pernah bertemu? Sebelumnya?" Zura melirik Ael disampingnya. Dia menggit bibir bawahnya, rasanya ingin berteriak karna sangking senangnya dia bisa satu mobil dengan lelaki itu. Dengan harum yang rasanya sangat memeluk tubuh.

Ael hanya menggeleng untuk menjawab tidak. Tentu saja dia bohong, bahkan dia sudah mengetahui semua tentang gadis itu.

"Tapi aku merasa kita pernah bertemu, tapi dimana gitu."

Zura menunggu jawaban Ael, tapi lelaki itu tampaknya memilih bungkam dan tak berniat menjawab.

"Mungkin perasaanku saja." Lirihnya pelan. Ya, mungkin memang hanya perasaannya saja pikirnya.

Ael melirik. "Mau begadang?" 

"Ha?"

"Ya atau tidak?"

Zura hanya mengangguk bingung untuk menjawab iya. Setelah melihat anggukan itu, Ael membelokkan setir ke kanan.

"Ini bukan jalan pulang." Ucap Zura ketika mereka memasuki jalan yang asing untuknya.

"Kau akan tau ketika sampai."

Tadinya Zura menguap berkali-kali sebelum mobil Ael berhenti disebuah parkiran Cafe yang ada di bukit. Dia hanya bisa menggeleng takjub saat sudah turun dari mobil dan langsung melihat pemandangan Cafe besar dengan lampu-lampu terang yang indah diatas sana. Untuk sampai ke cafe itu harus berjalan lagi menaiki anak tangga yang tampaknya akan menguras tenaga, dan menjadi obat kantuk yang alami.

"Wahh... Aku baru tau ada Cafe indah seperti ini."

Ael menunjuk ke arah tangga yang menjulang keatas, tangga itu sangat indah dengan lampu-lampu yang merambat di pegangan tangganya. "Kau sanggup?''

Zura tertawa kecil. "Itu sangat mudah." Ucapnya sepele.

Ael membiarkan Zura berjalan duluan didepannya. Melihat gadis itu kedinginan dia langsung melepas jaket dan menyangkutkan jaket itu ke pundak Zura. Gadis itu sempat tertegun dan menoleh kebelakang, memeriksa apakah yang melakukan itu padanya benar-benar Ael atau hantu yang sedang iseng.

"Lihat jalan." Tegur Ael.

Zura hanya bisa menahan senyum merasakan jaket hitam milik Ael bertengger di pundaknya, serasa di peluk Ael, terasa sangat nyaman.

Mereka mulai menaiki anak tangga satu persatu. Awalnya Zura dengan semangat menaiki anak tangga itu, tapi sampai dipertengahan rasanya semangat 45 yang ia miliki tadi mulai beredup karna rasa capek mulai menyerang kakinya. Tapi dia tidak bisa mengeluh karna tadi dia sudah berlagak sombong.

...

Zura berdecak kagum ketika kakinya melangkah masuk ke Cafe itu, rasa capeknya terobati melihat anak muda-mudi yang berkelompok-kelompok saling bercanda ria ditemani penampilan band dengan suara bagus. Ditambah lagi suasana yang sangat tenang dan dingin alami dari alam. Bernuansa outdour memanjakan mata bagi siapa yang melihatnya.

"Wah.. bagaimana kau tau tempat bagus seperti ini?" Tanya Zura takjub ketika mereka sudah berdiri di teras kafe yang menghadap langsung ke pemandangan kota di bawah sana. Lampu-lampu dari rumah dan jalanan membuat pemandangan itu sangat indah.

"Orang-orang datang kesini untuk menenangkan pikiran, begadang semalaman, atau menginap di resort cafe ini." Kata Ael sambil berjalan ke bangku panjang yang disediakan untuk menikmati pemandangan.

Zura mengikuti Ael, lalu duduk disamping laki-laki itu. Ada jarak, karna dia takut Ael merasa risih berdekatan dengannya.

"Jadi kau sering kesini?"

Ael mengangguk pelan lalu tangannya memanggil pelayan.

Pelayan berparas tampan itu datang dengan senyumnya. "Apa anda datang untuk mengecek keuangan? Hari ini bukan jadwalnya." Ucap pelayan itu dengan mimik wajah kebingungan.

Ael refleks membulatkan matanya, memberi kode bahwa karyawannya itu tidak seharusnya mengatakan hal itu didepan Zura. Dia tidak ingin gadis itu tau bahwa tempat itu miliknya.

"Kau bicara apa?"

Pelayan itu syok sebentar ketika ia menyadari keberadaan Zura. Dia tidak pernah melihat Ael datang bersama teman, apalagi dengan seorang perempuan. Tapi kali ini dia melihat pemandangan yang berbeda.

"Selamat datang Nona, anda mau pesan apa?" Tanya pelayan itu dengan sangat ramah.

"Apa ada kopi? Kopi dicampur dengan bubuk coklat dan susu."

Pelayan itu mengangguk. "Ada Nona, itu saja?"

"Apa ada kentang goreng panas?"

"Tentu saja ada Nona. Ada lagi?"

"Sudah itu saja. Terima kasih."

"Sama-sama, tunggu sebentar, ya." Pelayan itu melenggang pergi membawa catatan pesanan Zura dengan semangat. Semangat karna dia membawa berita hangat untuk orang dapur dan seluruh pelayan-pelayan perempuan yang selama ini diam-diam menyukai bos-nya itu. Dia sangat semangat membawa pesan yang akan mematahkan hati teman-temannya.

Zura mengerutkan keningnya melihat peyalan itu yang melenggang pergi dengan seri wajah yang bergembira, dia menoleh ke arah Ael, lelaki itu langsung memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Zura.

"Kau dan pelayan itu tampak sudah saling mengenal." Kata Zura curiga.

"Aku pelanggan tetap, wajar saja."

Sungguh tak percaya, tapi Zura memilih untuk tak merecoki Ael, takut lelaki itu merasa tak nyaman. "Kau tidak pesan apapun?" Dia memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

"Aku tidak terlalu suka makanan Manusia."

"Tapi kau bisa memakannya?"

Ael mengangguk mengiyakan

"kau pernah mencoba memakannya?"

"Aku hanya butuh sebotol air setiap hari untuk tubuh Manusiaku."

"Wahh.. jika aku menjadi dirimu, aku bisa menghemat uang makan."

Tak ada jawaban lagi dari Ael, dia memilih diam sambil melihat langit yang gelap. Sebenarnya dia tersenyum, sudah lama dia ingin sekali duduk berdua seperti ini, tapi baru ini dia memberanikan diri, setidaknya sekali saja dia merasakan bahagia tak akan membuatnya langsung dipanggil pulang. Sebenarnya miris baginya, dari banyaknya hukuman yang bisa ia dapat di Bumi kenapa harus Zura yang menjadi hukumannya, kenapa mencintai gadis itu yang menjadi hukumannya. Andai dia bisa memutar waktu, dia memilih tidak pernah datang ke toko bunga itu.

"Untung saja waktu itu ibuku memaksaku datang kerumahnya, kalau tidak, kita tidak akan bertemu." Kata Zura sambil menoleh ke arah pelayan-pelayan perempuan yang mulai mengintip-ngintip dari balik tembok, dia yakin pelayan yang tadi si pemberi gosip yang handal.

"Pulang saja, tinggal bersama Ibumu. Kau tidak seharusnya meninggalkannya."

Zura menghela nafas berat, ini adalah topik yang paling ia hindari dalam hidupnya, tapi karna yang mengatakan itu Ael dia jadi ingin mencurahkan semua isi hatinya yang selama ini terbendung yang membuat dadanya merasa tak nyaman.

"Semenjak Ayahku meninggal, aku menemukan sosok yang berbeda dari Ibuku. Ibuku yang kukenal adalah sosok wanita desa yang sederhana, tapi ketika Ayahku sudah tiada dia berubah seperti ibu-ibu kota yang sosialita." Ucap Zura memandang ke arah ujung sepatunya.

"Bukankah itu bagus? Ibumu melindungi dirinya dengan perubahan, dia punya alasan untuk itu.''

"Tapi tetap saja, aku seperti melihat ibu yang berbeda."

Ael mendengus kecil. "Ibumu selalu berdo'a agar kau menjadi gadis yang sempurna, tapi ternyata dia lupa berdo'a agar anaknya menerima segala keadaan orang tuanya."

Zura terdiam, dia menunduk, dia menjadi malu pada Ael. Keegoisannya terpampang jelas sekarang, dia juga bingung kenapa dia begitu tak bisa menerima keadaan Ibunya sekarang.

"Mungkin sebenarnya aku kecewa pada Ibuku. Dulu Ibuku memaksaku untuk mengambil study tour keluar negeri selama dua minggu. Aku menolak, karna saat itu aku merasa tidak mau berpisah dengan Ayahku, tapi Ibuku memaksa dan Ayahku juga ikut-ikut memaksa. Dengan alasan aku harus tau dunia luar dan budaya luar. Tapi apa? 4 hari kemudian aku mendengar kabar Ayahku meninggal, dan mirisnya aku tidak bisa pulang sampai hari yang sudah ditentukan. Setelah pulang yang hanya bisa kulihat hanya kuburan Ayahku. Aku menyesalinya seumur hidup dan membenci Ibuku."

Ael melengkungkan senyum tipis, "sudut pandang orang tua berbeda dengan sudut pandang anaknya. Orang tua pikir keputusan mereka adalah yang terbaik untuk anaknya, tapi ternyata untuk anaknya itu adalah sebaliknya."

"Maksudmu?'' Tanya Zura bingung "Apa menurutmu Ibuku tau Ayahku akan meninggal? Karna tidak mau aku menyaksikan itu, dia memaksaku pergi mengikuti study tour itu begitu?"

"Menurutmu?'' Tanya Ael balik.

"Aku tidak tau, tapi setelah berbicara denganmu sepertinya aku menyadari sesuatu. Ibu dan Ayahku terlalu memaksaku pergi."

"Menurutmu apa yang paling memisahkan di dunia ini?"

Zura berpikir sejenak, "Gunting? pisau? kematian?"

"Yang menyatukan?''

"Lem? jarum dan benang jahit, cinta?"

"Kenapa kau tidak memasukkan perbedaan kedalam sesuatu yang memisahkan?"

"Perbedaan belum tentu memisahkan dan juga belum tentu menyatukan, itu netral, tergantung kasusnya. Kau pernah dengarkan perbedaan menyatukan dua orang yang saling mencintai?" Ucap Zura enteng.

"Yang namanya berbeda tetap berbeda. Jika dua Manusia bersatu karna perbedaan, itu bukan perbedaan yang menyatukan, tapi rasa cinta atau saling menerima. Disini aku sedang mengajarimu sesuatu, karna kau dikelilingi perbedaan."

Zura mengerutkan kening. 'Maksudnya?''

"Suatu saat kau akan tau atau tidak sama sekali."

"Mungkin sekarang kau belum tau bagaimana perbedaan terasa seperti membunuhmu." Lanjut Ael.

______________

Bersambung..