webnovel

Kau Milik Kami Bertiga

Dewasa 21++ Bagaimana jika kalian menjadi Azura? Awalnya dia memiliki kehidupan biasa seperti orang-orang kebanyakan. Tapi siapa yang akan menyangka tersesatnya dia pada malam itu membuat kehidupannya berubah. Dia jadi bisa melihat apa yang tidak bisa orang lain lihat, dan malah membawanya menjadi tawanan 3 orang lelaki yang tak biasa. Mereka bertiga sangat tampan dan dingin. Kaya raya dan terkenal. Tapi siapapun tidak tau siapa mereka sebenarnya kecuali Azura. Mereka seperti iblis, yang hidup membutuhkan energi makhluk hidup dan tubuh seorang wanita. Mereka memakan energi dan cairan tubuh wanita. Mereka seperti monster yang menyiksa Azura dengan lidah nakal mereka setiap hari. Mereka ternyata.. Tak hanya itu, tersesatnya pada malam itu membuatnya bisa masuk ke organisasi rahasia besar, yang ternyata semua anggotanya adalah... NB : DILARANG KERAS PLAGIAT CERITA!! Cerita ini mengandung efek ketagihan, kalau tidak percaya, buktikan :)

Poppy_N_Zu · Urban
Not enough ratings
20 Chs

Bab 19

"Tunggu aku sebentar." Ucap Miyi tersenyum. Senyum tulus itu selalu ia berikan untuk lelaki yang sedang berdiri di hadapannya sekarang.

Neo membalas senyum itu dengan senyuman yang sering ia tampilkan. Dia tidak pernah mengubah garis senyum itu walau sedikitpun.

Miyi melambai kecil sebelum kakinya melangkah pergi. Langkah kaki gadis itu menggema di lorong koridor yang kosong. Tak ada satupun lagi orang yang menampakkan diri karna sudah jam pulang.

"Senyum palsu..."

Neo menoleh ke sumber suara yang ia kenal. Zura berdiri tak jauh darinya sambil meminum minuman dengan kemasan kotak seperti anak kecil.

"Kau lagi?" Tanya Neo menaikkan satu alisnya ke atas.

"Hanya kebetulan. Kau berdiri disini dan aku tidak sengaja menguping dari balik dinding sana." Tunjuk Zura ke arah dinding persimpangan koridor.

"Seharusnya kau tidak sejujur itu." Neo mendengus, lalu hendak melangkah pergi.

"Aku penasaran dengan tali biru di tangan kak Miyi, ternyata itu kau." Gumam Zura pelan.

Neo menghentikan langkahnya,

"Cukup simpan diujung lidahmu, jangan sampai telinga orang lain tau."

"Matanya sangat tulus, tapi matamu tidak. Bukankah itu jahat?" Tanya Zura sambil menggit-gigit pipetnya. Sebenarnya dia takut, tapi dia memberanikan diri.

"Lalu apa bedanya kau dan dia? Kin juga melakukan itu."

Zura menggeleng pelan. "Berbeda. Kin selalu jujur mengatakan aku peliharaannya, tapi kau berpura-pura mencintainya. Setidaknya rasa pahit lebih baik daripada racun yang bersembunyi di minuman manis."

"Kau menceramahiku?"

Zura menggeleng lagi. "Tidak sama sekali. Hanya saja kau dan Kin berbeda. Kin menyembunyikan senyumnya dibalik bibirnya yang datar, kau menyembunyikan bibir datarmu dengan senyuman."

"Kau sok paling kenal Kin ya?"

"Lalu kau? Apa kau kenal dia dengan jelas? Pasti tidak."

Neo mendengus lagi mendengar ucapan itu. Zura ada benarnya, dia tidak kenal Kin sepenuhnya. Bahkan dia juga banyak menyembunyikan sesuatu dari Kin.

"Sampai jumpa besok Bos Neo," Zura menunduk hormat. "senyum itu seperti ini." Dia tersenyum tulus pada Neo menampakkan dua gigi kelinci andalannya, lalu berjalan pergi setelah melihat dari kejauhan sosok Miyi yang berjalan ke arah mereka.

Neo hanya bisa menghembuskan nafas kecil melihat kepergian Zura. Rasanya dia ingin menjitak kepala gadis yang entah sejak kapan menjadi si tengil yang menjengkelkan.

"Rasanya ingin membungkusnya dalam kotak.." lirih Neo sambil memperhatikan tubuh Zura yang perlahan menjauh.

Zura mendorong troli belanjaan ke arah kawasan buah. Dia sudah gila, jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 1 malam tapi dia masih berkeliaran di Supermarket 24 jam.

Tadi dia berniat mampir sebentar ke supermarket untuk membeli perlengkapan mandinya yang sudah habis, tapi yang namanya perempuan kalau sudah melihat isi supermarket langsung gelap mata.

"Tak bisakah seseorang menghentikanku? Menyeretku pulang darisini?" Zura menatap sedih ke trolinya yang sudah terisi setengah. Tadi dia hanya berniat membeli sabun dan shampo, tapi melihat keranjang trolinya sekarang membuatnya mengelus dada.

Mengeluh, sedih, tapi tangannya tetap memilih buah yang ingin dia beli. Dasar perempuan..

Zura bersenandung kecil sambil memasukkan buah apel ke plastik buah. Semuanya aman-aman saja sebelum tangan dengan jari-jari bak pahatan dewa mengambil apel di tumpukan yang sama dengannya.

Zura langsung menoleh ke si pemilik tangan itu, tapi sedetik kemudian dia membekap mulutnya karna syok. Dia tidak menyangka Ael  yang tak tersentuh tiba-tiba berada disampingnya, sangat dekat, jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya. Dia mencubit pipinya, takut hanya sebuah mimpi, tapi cubitan itu sangat sakit dan nyata.

"Berlebihan." Suara pelan Ael terdengar di telinga Zura, membuat gadis itu mengerjapkan matanya.

Dia hendak mengeluarkan kata sapaan, tapi terlambat karna Ael langsung pergi setelah mengambil 4 buah apel dari tempatnya.

Zura cepat-cepat memasukkan apel ke troli dan langsung mendorong troli itu mengikuti langkah Ael.

"Rasanya aku ingin memegang rambutnya, menyentuh kulitnya, menyenderkan kepala di bahunya, tapi apalah daya bahkan matanya saja tidak bergerak untuk menyapaku." Gumam Zura sedih.

Dia ingin sekali berjalan disamping lelaki itu, tapi berada di jarak 7 langkah darinya sudah pilihan yang paling tepat. Bagaimanapun dia hanya orang asing bagi Ael, batinnya.

Ael berhenti di rak pengharum ruangan, Zura juga berhenti. Dari jauh dia memperhatikan lelaki itu memilih pengharum ruangan. Setelah Ael meninggalkan rak itu dan berbelok ke rak yang lain, dia cepat-cepat mengambil pengharum ruangan yang sama dengan Ael.

"Pilihan lelaki tampan pasti selalu tepat." Ucapnya sambil memasukkan pengharum yang sama itu ke troli.

Dia mengikuti Ael lagi, apapun yang dibeli lelaki itu dia juga mengambilnya. Dia penasaran benda-benda apa saja yang dibeli Ael.

Ael melirik Zura sebentar tanpa sepengetahuan gadis itu, dia melengkungkan senyum tipis disudut bibirnya. Dia mengingat Zura kecil dulu juga seperti itu, Zura akan mengikutinya dari jauh ketika dia sedang melihat-lihat di toko mereka, dan akan pura-pura merapikan bunga jika ketahuan. Sangat lucu.

.

"Kemana Ael tadi? Perasaan belok kesini," Zura kehilangan jejak Ael. Dia celingak-celinguk mencari sosok indah yang sedari tadi dibuntutinya. "Apa ke kasir?"

Dia langsung memutar balik trolinya menuju kasir.

"Zura!"

Zura menoleh ke arah sumber suara, ternyata pemilik suara itu lelaki yang ia kenal. Geno. Geno ketua acara perkemahannya waktu itu (bab 4) pantas saja telinganya tadi merasa familiar.

"Sedang apa kau disini? Jam segini pula. Udah gila?"

Zura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tadinya cuma mampir sebentar, tapi ternyata sudah satu setengah jam berlalu."

"Sendirian?" Tanyanya tak percaya.

Gadis itu mengangguk dan nyengir kuda. "Kakak juga kenapa jam segini berada disini?"

Geno mengangkat keranjangnya, ada 6 botol alkohol yang baru saja ia ambil dari rak. "Aku lagi ngumpul dirumah teman, alkohol adalah pilihan yang tepat. Mau ikut gabung?"

Zura menggeleng cepat. "Aku tidak minum kak."

"Ikut saja, banyak perempuan kok."

Zura menggeleng lagi.

"Kalau begitu mau kakak antar pulang?"

Lagi Zura hanya menggeleng. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Ael yang hendak lewat ke arah mereka.

"Ael!" Dia buru-buru menghampiri lelaki itu, lalu sedikit menyeretnya kehadapan Geno.

"Aku pulang dengannya kak. Dia tetanggaku."

Geno mengerutkan keningnya. "Bukannya kau bilang tadi sendiri?"

"Ah, aku memang sendiri kesini, tapi tadi kami bertemu disini dan janjian akan pulang bersama. Kakak duluan aja, ya. Daaaa." Zura sedikit menarik Ael agar mau pergi dari situ bersama, tapi laki-laki itu tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.

"Pergi ke kasir duluan, aku menyusul." Ucap Ael.

Zura mengerjapkan matanya tak percaya, dia ingin berteriak kegirangan, ternyata Ael bisa diajak kompromi. Dengan nada yang lembut Ael mengucapkan kata-kata itu dan membuatnya melayang. Dengan anggukan kecil dia langsung buru-buru meninggalkan tempat.

Setelah kepergian Zura Geno menatap tajam Ael, seperti ingin menusuk lelaki itu ditempat.

"Siapa kau? Aku tau kalian tidak saling mengenal." Ucap Geno menahan emosi.

Dengan diam Ael menantang lewat matanya. Sebenarnya sudah lama dia ingin memberi pelajaran Geno, tapi belum ada waktu yang tepat untuk itu.

"Berhenti menatapku dengan tatapan busuk itu."

"Kau pikir kau siapa berani melarangku?" Balas Ael dingin.

"Kau.." Geram Geno.

"Kau sedang berniat mendekati Zura, menginginkan tubuhnya, ingin menjadikannya mainanmu. Kau mau mati?"

Geno tertawa sarkatis. "Darimana kau tau? Kau punya kekuatan supranatural? Sangat menarik. Gadis manis sepertinya sangat disayangkan jika tidak dicicipi. Atau kau mau berbagi?"

"Kalau bisa sendiri kenapa harus berbagi. Berbagi dengan orang sepertimu pula."

"Kau menantangku, ha?"

"Menderitalah karna merasa bersalah telah membunuh orang hanya untuk kesenangan. Kalau tidak tahan bunuh diri saja. Lupakan pertemun kau dan aku. Lupakan tentang Zura. Lupakan semua tentang gadis itu. Ini perintah." Ael mengibaskan tangannya ke arah wajah Geno.

Geno tiba-tiba merasa syok. Belanjaan di tangannya terjatuh ke lantai. Matanya mengeluarkan air mata bercucuran, dadanya terasa sesak, seluruh tubuhnya merasa bersalah dan menangisi kesalahannya. Dia memang lelaki psikopat gila yang suka menyiksa perempuan, Ael sudah lama memperhatikannya.

Zura menggigiti jarinya, dia menunggu Ael didekat kasir. Sebenarnya dia sangat penasaran apa yang sedang Ael dan Geno bicarakan. Dia takut Geno melukai Ael, Kin pernah bilang Geno itu psyco gila, semenjak itu dia tidak pernah mau dekat lagi dengan lelaki itu.

Zura langsung menghampiri Ael ketika tubuh lelaki itu muncul dari balik rak jajanan ringan.  Dia langsung memperhatikan keadaan Ael untuk mengecek ada perkelahian atau tidak, lalu dia memperhatikan wajah Ael untuk mengecek ada goresan atau tidak disana.

Melihat wajah Ael dari dekat membuatnya ingin berteriak, sangat indah. Mata lelaki itu membuatnya terhipnotis sejenak.

"Berhenti menatapku." Ael melangkah pergi sambil mendorong troli Zura ke kasir.

"Wah.." Zura menggeleng kagum ketika melihat tubuh lelaki itu mendorong troli belanjaannya. "Sangat langka, harus diabadikan." Dia mengambil ponselnya dan langsung mengambil gambar.

..

Zura mengeluarkan uang didompetnya untuk membayar belanjaan, dia tidak menyangka ternyata belanjaannya melampauin batas. Tapi yasudahlah, pikirnya, siapa suruh mengambil semua barang yang diambil Ael.

Selagi Zura menghitung uangnya, Ael menyodorkan kartu banknya ke petugas kasir. "Sekalian dengan punyaku."

Zura syok, sangat syok. "Ada apa denganmu?" Tanyanya tak percaya.

Ael hanya diam tak peduli.

"Ini uangku, aku membayarnya padamu." Dia menyodorkan uang pada Ael, tapi lelaki itu tidak menanggapi seperti gadis itu tidak ada disampingnya.

"Wah.. kau ini."

"Simpan saja uangmu." Ael mengangkati plastik belanjaan mereka ke troli kosong tanpa menghiraukan gadis itu.

Zura menggigit bibir bawahnya, serasa dia memiliki seorang suami yang mengurusi belanjaan keperluan rumah tangga. "Ugh, keadaan yang selama ini kuidamkan." Lirihnya.

Ael mendorong troli itu, sedangkan dia mengokori. Bibirnya tak bisa menahan lengkungan ketika ia dan Ael berjalan beriringan. Suasana yang sangat di idamkannya.

Keningnya mengerut ketika Ael mendorong troli ke sebuah mobil hitam. Tanpa dibilang dia tau mobil itu milik Ael karna mobil itu selalu terparkir cantik di halaman rumah lelaki itu.

"Kau mau mengantarku?" Tanyanya syok ketika Ael memasukkan semua belanjaan ke mobil.

"Aku ada bilang?"

"Terus belanjaanku kenapa dimasukkan juga?"

"Aku mau."

"Jadi kau mengatarkan belanjaanku pulang, tapi aku ditinggal disini?"

Ael mengangguk, lalu dia masuk ke mobil dengan santai.

"Ih... tidak punya perasaan."

Ael membuka jendela, lalu mengisyaratkan Zura agar naik ke mobil dengan tangannya. Dia ke supermarket itu sebenarnya memang mau jemput Zura, dia tau gadis itu kebiasaan pulang malam-malam naik taxi 24 jam, dia selalu mengikuti dari belakang. Tapi kali ini dia ingin Zura duduk ditempat duduk yang memang untuk gadis itu. Tak pernah ada yang duduk di bangku itu, Zura adalah orang pertama.

_________________________

Bersambung...