webnovel

Kepanikan Arsen

Di depan kompor, Arsen terlihat begitu menikmati kegiatannya menunggu mie yang sedang dimasak matang. Pemuda itu sesekali menggaruk keningnya sendiri ketika hawa dingin pegunungan, membuat kedua matanya mengantuk.

Kali ini Arsen mendapat bagian untuk membuat mie karena dua orang lainnya bertugas mencari kayu untuk perapian. Sedangkan Nico, pemuda itu mengumpulkan mie dari anggota kelompoknya yang berada di tenda.

Kedua mata Arsen melirik ke sana kemari, mencari anggota regunya yang belum juga kembali. Kebetulan sekali, mie yang tadi dimasak sudah matang semuanya sehingga Arsen bisa menikmati sarapan pagi terlebih dahulu.

Aroma mengepul dari mie kuah yang dibuat Arsen beserta tambahan cabe dan telur, membuat perut Arsen semakin keroncongan. Tanpa perlu menunggu lama, Arsen segera mengambil bagiannya sendiri untuk dinikmati selagi menunggu anggotanya tiba.

"Wih, enak banget lo!"

Nico baru saja kembali seraya membawa beberapa bungkusan mie instan untuk tambahan apabila kurang. Namun ternyata, kedua mata serta hidung Nico harus disuguhkan dengan sesuatu yang indah seperti ini.

"Tuh udah pada mateng, ambil aja," balas Arsen kemudian kembali melanjutkan kegiatannya.

Kepala Nico sampai menggeleng melihat begitu lahapnya Arsen menikmati mie instan kuah dengan ekstra telur dan cabe. Sebenarnya bukan hanya Arsen yang seperti itu karena memang mie kuah rasanya begitu nikmat. Nico sebagai pemuja mie kuah pun mengakui itu.

"Pantesan lo makan anteng banget, Arsen. Enak gini, apalagi di hawa dingin," komentar Nico setelah menelan satu suapan.

Arsen melirik sekilas dan terkekeh kecil. Sudah bisa ditebak jika siapapun yang menikmati mie instan, pasti akan tergila-gila. Namun tetap, Arsen tidak mau berkomentar karena mie kuah panas sangat sayang untuk dilewatkan.

Tatapan Arsen beralih dan melihat Cahya tengah memasak. Kening Arsen mengerut karena mendapati beberapa anak perempuan mengerubungi Cahya, entah apa yang mereka semua lakukan. Namun tidak berselang lama, sekumpulan anak perempuan itu berlalu pergi dari hadapan Cahya. Arsen pikir, geng Amel tadi ingin membully Cahya yang tengah memasak.

Pergerakan Nico dalam mengunyah makanan terhenti ketika mendapati Arsen terdiam dengan tatapan lurus ke depan. Nico mengamati arah pandang Arsen dan mengetahui apa yang sedang dilihat sahabatnya itu.

"Dilihat doang, samperin sono!" goda Nico sekaligus menantang.

Merasa tertantang dengan ucapan Nico, Arsen sudah bersiap bangkit dari duduknya. Namun belum sempat melangkah lebih jauh, terlihat Sandra menghampiri Cahya seraya membawa bungkusan plastik. Jika tidak salah menebak, itu adalah mie instan yang dikumpulkan pada tenda utama.

"Ketimbang ribut, mending nggak jadi," celetuk Arsen.

Sebisa mungkin Nico menahan tawa ketika melihat wajah lesu Arsen yang tidak jadi menghampiri Cahya. Itu semua dikarenakan ada Sandra yang baru saja kembali dan jika diteruskan, pasti akan ada keributan.

"Lo sih, kayak terlalu lempeng sama cewek," ujar Nico.

Arsen merasa ucapan Nico baru saja sedikit ganjil di telinganya. Tatapan Arsen mengarah penuh pada Nico yang kini sudah mengerling seolah mengejek Arsen yang selama ini tidak bisa tegas.

"Lempeng gimana maksudnya?" sahut Arsen yang tidak sepenuhnya bisa menebak.

Helaan nafas panjang, dilontarkan oleh Nico. Pemuda itu tidak langsung menjawab pertanyaan dari Arsen karena takut menyinggung. Bagaimanapun juga, Arsen adalah sahabatnya dan sebisa mungkin Nico harus menjaga perasaannya.

"Kalau menurut pandangan gue, lo kurang tegas selama ini. Sama Sandra lebih tepatnya," cetus Nico.

Dahi Arsen semakin bergelombang karena kurang memahami maksud ucapan Nico. Memang, dia kurang tegas dalam hal apa? Sepertinya, semua yang dilakukan selama ini berdasarkan kebenaran.

"Kurang tegas ini—maksud lo gimana?" sahut Arsen pada akhirnya.

Nico menarik nafas dalam-dalam karena harus menjelaskan secara spesifik kepada Arsen yang dalam mode lemot seperti ini.

"Seharusnya lo bisa kasih tahu sama Sandra buat bisa bedain hubungan antara sahabat sama pasangan. Apa lo nggak sadar, kalau akhir-akhir ini hubungan lo dengan Cahya merenggang? Biasanya kan, kalian lengket banget kayak perangko!"

Arsen terdiam membisu karena perkataan Nico yang ada benarnya. Memang yang dikatakan Nico tidak salah sama sekali. Arsen pun merasa kalau dia memang tidak dapat bijak sehingga hubungannya dengan Cahya merenggang saat ini.

"Gue—gue akan coba perbaiki."

***

Seluruh murid sudah dikumpulkan karena sebentar lagi akan diadakan jelajah alam. Sebagai orang yang malas untuk berpartisipasi dalam kegiatan itu, Arsen memilih untuk duduk di dekat perapian bersama dengan Nico. Kedua pemuda itu memang memutuskan untuk tidak ikut menyisir hutan.

"Lo beneran nggak ikut, kan?" tanya Nico setelah mendudukkan dirinya di samping Arsen.

Arsen menolah dan menggeleng pelan. "Nggak. Gue males ikut kayak gitu." balasnya ringan.

Gelak tawa Nico terdengar setelah mengetahui alasan Arsen tidak mau ikut kegiatan jelajah alam. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Arsen, nyatanya Nico juga menjadi seseorang yang malas apabila disuruh ikut kegiatan seperti ini. Terlebih ini di dataran tinggi yang otomatis, jalanan juga naik turun.

"Kalau gue … males lihat kondisi jalan yang bakal dilalui. Pasti pulang dari sini, gue makin kurus dah!" celetuk Nico.

Kedua pemuda itu bergidik, membayangkan jika mereka harus mengikuti kegiatan tersebut. Obrolan keduanya tidak lagi berlanjut ketika Bu Siska menginterupsi bahwa mereka semua harus segera berangkat agar tidak terlalu siang.

Setelah sedikit diberikan pengarahan, para peserta mulai berangkat. Melihat suasana di sekitar yang perlahan sepi, Arsen langsung merebahkan tubuhnya di rerumputan karena punggungnya cukup pegal.

Arsen menatap pohon-pohon di atasnya yang bergerak seiring dorongan angin. Di sampingnya, Nico pun melakukan hal yang sama. Kedua pemuda itu seolah berbicara dengan langit melalui tatapan mata.

Tak berselang lama, terdengar kasak-kusuk dari suara yang begitu dikenali. Arsen segera menegakkan tubuhnya ketika Sandra berteriak diikuti air mata yang mengalir di pipi. Pemuda itu bangkit guna memastikan apa yang terjadi dengan Sandra.

"Tolong … Cahya hilang, Pak … Bu!"

Degup jantung Arsen seperti dihantam begitu kuat sampai rasanya begitu sulit untuk bernafas. Bukan hanya Arsen saja, Nico dan para guru yang mendengar juga turut panik karena takut dianggap lalai menjaga murid-muridnya.

"San, gimana bisa Cahya hilang?" cecar Arsen takut.

Sandra masih menangis cukup kencang karena tadi memang dia yang selalu bersama dengan Cahya. Sayangnya, tangisan Sandra hanyalah kebohongan karena nyatanya gadis itu sangat bahagia dengan hilangnya Cahya. Lebih tepatnya, sengaja ditinggal oleh dirinya beserta Amel dan para sahabatnya. Sandra tidak menyangka jika Amel memiliki rencana seperti itu untuk membuat Cahya menghilang, entah sementara atau selamanya.

"Aku nggak tau Arsen … Cahya tiba-tiba saja nggak ada," lirih Sandra sedih.

Nico yang sempat mendengar tentang hilangnya Cahya, langsung mendekati kedua orang itu. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya karena bagaimanapun, Cahya adalah gadis yang berada di hatinya saat ini.

"San, kok bisa hilang? Lo gimana tadi?" cecar Nico tidak dapat menahan diri.

Sandra menggeleng. Bersyukur karena dia dapat acting seolah-olah khawatir dengan berita hilangnya Cahya. Padahal sudah jelas sekali kalau dia bekerja sama dengan Amel dan para sahabatnya untuk membuat Cahya tersesat.