webnovel

Diam-diam Memperhatikan

Setelah mendapatkan bantuan dari Marcel saat memasuki bus, Cahya mulai mencari tempat yang akan diduduki selama perjalanan nanti. Cahya menelusupkan tas punggungnya ke bawah kursi bus agar tidak mengganggu tempatnya ataupun Marcel selama perjalanan. Cahya tidak seberani itu untuk mengganggu Marcel yang notabene tidak akrab dengannya.

Tak berapa lama, muncul Arsen yang juga naik ke bus diikuti Sandra di belakangnya. Arsen melewati Cahya dengan wajah sok cuek, membuat Cahya bingung dibuatnya. Jika tidak salah, Cahya merasa hubungan mereka baik-baik saja tanpa perdebatan. Lantas, mengapa Arsen cuek seperti itu?

"Enak banget lo, bisa duduk bareng Cahya!"

Baru saja menginjakkan kaki di dalam bus, Nico sudah nyeletuk seenaknya. Marcel yang dasarnya tidak paham maksud ucapan Nico, tentu saja bingung karena wajah teman satu angkatannya itu begitu sinis.

"Ini kan pilihan Bu Siska?" tanggap Marcel fakta.

Nico melengos kemudian berlalu duduk di belakang Cahya. Setidaknya dia tetap bisa dekat dengan Cahya walaupun tidak dalam satu tempat. Dari posisinya, Nico masih memberikan tatapan tajam kepada kepala Marcel yang seolah tengah mengejeknya itu.

'Dasar pala melon, awas aja lo!' sungut Nico membatin.

Terdengar suara Bu Siska mulai masuk ke dalam bus beberapa saat kemudian. Guru cantik itu mengamati muridnya satu-persatu sekaligus memastikan bahwa tidak ada satupun dari mereka yang berpindah tempat.

"Ingat ya … jangan ada yang berpindah tempat duduk!" peringat Bu Siska tegas. Jika dia lembek, murid-murid akan semakin seenaknya kepada guru pengajar.

Suara kasak-kusuk dari seluruh penghuni bus terdengar semakin kencang. Mereka menyayangkan perjalanan yang seharusnya diiringi kebahagiaan karena bisa duduk bersebelahan dengan sahabat, harus menjadi perjalanan yang membosankan.

"Sebelum memulai permainan, mari kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Dimulai!" Bu Siska memimpin jalannya doa agar seluruh murid diberikan perlindungan baik di dalam perjalanan, selama kegiatan, bahkan sampai nantinya mereka kembali pulang ke rumah masing-masing.

Setelah selesai berdoa, supir yang mengendarai bus anak IPA mulai melaju perlahan meninggalkan area sekolah. Suasana berisik yang tercipta karena anak-anak sibuk menggosipkan guru, berubah menjadi hal bermanfaat.

Di dekat tempat duduk supir, seorang pemuda salah satu teman sekelas Cahya mulai menjalankan aksinya. Dia adalah Haidar, salah satu anggota geng pentolan sekolah yang memang dikenal berisik dan banyak berbicara.

"Guys, teman-teman satu jurusan gue yang cantik dan ganteng—gue Haidar mau kasih persembahan buat kalian semua supaya perjalanan kita jadi menyenangkan!" seru Haidar.

Seluruh manusia di dalam bus itu bersorak senang karena perlahan, suasana di dalam bus mulai berubah hidup. Wajah mereka yang tadinya murung karena tidak suka dengan partner satu kursi selama di dalam bus, berubah menjadi senyuman ceria.

Setelah Haidar mengeluarkan suara seraya bermain gitar, muncul lagi lainnya yang membawa botol kosong seolah itu adalah alat musik drum. Dia adalah Rayan, salah satu murid yang dikenal memiliki paras tampan dan rupawan. Selain itu, Rayan juga terlihat sebagai pria yang berwibawa sehingga banyak sekali kaum hawa menaruh hati. Sayangnya, di balik paras tampan dan rupawan yang dimiliki Rayan, dia juga memiliki kekurangan yakni sifatnya yang gesrek. 'Rayan … I Love You!'

'Kalau gue Haidar aja,'

'Mereka tuh, makhluk Tuhan paling ganteng ya gaes ya!'

Selorohan dari pada peserta di bus itu, tidak mengacaukan fokus Cahya pada ponselnya. Saat ini, Cahya sibuk mengamati layar datar ponselnya yang entah sedang menampilkan apa. Cahya tidak menyadari jika apa yang dilakukan, semuanya tidak luput dari tatapan mata Marcel.

Marcel mengamati wajah gadis di sebelahnya itu dengan sangat intens. Dia tidak tahu pasti apa yang dilakukan oleh Cahya namun Marcel menebak, Cahya tidak sedang bertukar pesan. Itu karena terdengar nada sebuah permainan dari benda pipih yang sedang dimainkan oleh Cahya.

"Ngapain?"

Suara lembut Cahya berhasil menyentak Marcel dari penglihatan tentang gadis itu. Marcel segera mengalihkan pandangan ke arah lain dan berpura-pura melakukan sesuatu seolah hal tadi adalah ketidaksengajaan.

"Lo butuh sesuatu, Marcel?" tanya Cahya lagi. Cahya tidak puas dengan sikap yang diperlihatkan oleh Marcel padahal tadi jelas sekali jika pemuda itu tengah menatapnya intens.

Marcel mengernyit karena pertanyaan itu. "Sesuatu? Emang gue ada bilang atau ngobrol sama lo?"

Apa yang dikatakan oleh Marcel, benar-benar skakmat bagi Cahya. Tapi Cahya yakin sekali jika memang tadi Marcel sempat memperhatikan dalam diam. Entah apa tujuan pasti Marcel melihatnya seperti itu.

"Sorry, kayaknya cuma perasaan gue aja. Ya udah, gue mau lanjutin kegiatan yang sempat tertunda."

Marcel tidak lagi menyahut dan membiarkan Cahya melakukan aktivitasnya. Setelah itu Marcel kembali memperhatikan keseruan teman-teman sekelasnya yang masih asyik menyanyi hingga suaranya memenuhi seisi bus.

"Cahya …"

Tiba-tiba saja Cahya dibuat merinding karena panggilan dari arah belakang. Seharusnya di saat seperti ini, Cahya mau menuruti pesan dari nenek moyangnya untuk selalu membawa jimat perlindungan diri. Namun ternyata, jimat tersebut tidak dibawa karena awalnya Cahya berpikir semua akan aman terkendali.

"Jangan ganggu gue!" Dengan memberanikan diri, Cahya mulai bersuara.

Di sebelahnya, Marcel yang sempat fokus melihat keseruan temannya, dibuat bingung karena Cahya yang mendadak bersuara. Leher Marcel bahkan sampai celingukan karena ingin memastikan jika Cahya tidak sedang halusinasi dan sebagainya.

"Lo ngobrol sama siapa?" tanya Marcel pelan, takut terdengar yang lainnya.

"Gak tau. Tiba-tiba saja ada suara panggil gue dan itu bikin gue takut!" jelas Cahya gemetaran. Wajar sebenarnya jika Cahya takut karena saat ini bus sudah mulai memasuki kawasan wisata puncak yang mana di kanan dan kiri hanya dipenuhi pohon lebat.

Dahi Marcel bergelombang kemudian sedikit menegakkan badannya ke arah belakang, sampai akhirnya Marcel tahu jika ada sosok yang memang memanggil Cahya. Marcel menunjukkan sosok di belakang Cahya yang tadi memanggilnya pelan.

"Tuh, sosok makhluk yang tadi panggil lo!" Marcell menunjuk Nico yang berada pas di belakang Cahya dalam keadaan tertidur pulas. Tadi, Nico memanggil Cahya dalam keadaan bermimpi dan tidak sadar.

Cahya benar-benar menganga saat ini karena mengetahui apa yang diperlihatkan oleh Marcel. Gadis itu sepertinya tidak habis pikir dengan Nico yang harus membawa-bawa namanya di alam bawah sadar seperti tadi.

Semua tingkah Cahya dan Marcel tadi, tidak luput dari pandangan Arsen yang duduk di seberang sebelah kanan. Sejak tadi, Arsen ingin sekali mengobrol dengan Cahya bahkan duduk satu bus dengan sahabatnya itu. Namun sayangnya, Arsen juga tidak bisa melupakan fakta bahwa di sebelahnya—Sandra selalu menempel padanya.

'Andai gue ada di posisi itu, Ay!' batin Arsen sedih.

'Kenapa kamu selalu kayak gini sih, Arsen? Apa kamu nggak bisa lihat aku sebagai gadis yang kamu cintai?' Sandra menatap Arsen dan Cahya secara bergantian. Dadanya berdenyut nyeri kala mengetahui Arsen menatap Cahya dengan sangat intens dan memuja.

***