webnovel

Jenggoro Tasme

Cerita seorang yang hidup di Pelabuhan, dirinya mendapat masalah dengan kepolisian yang membuat kehidupan dia awalnya nyaman langsung menjadi terpuruk, mempertaruhkan masa depan dirinya dan Kantor Pelabuhan, Atasannya menyuruhnya untuk keluar dari Pelabuhan dan berpindah ke kota yang bernama Jenggoro, kota yang berisi penderitaan, kekecewaan, kesedihan, kekesalan, dan sebagainya. Cerita ini akan berisi tentang bagaimana orang ini memulai kehidupan barunya di kota Jenggoro, akan berisi bagaimana kehidupan di kota tersebut serta berisi juga pertikaian pribadi dan pertikaian sosial. Rasa putus asa, kecewa, penyesalan, labil, pasrah, semua akan teraduk penuh di dalam cerita, kita juga akan mengikuti jalan cerita beberapa tokoh lain di dalam cerita dan mengungkap bagaimana diri mereka serta mengungkap tentang kota Jenggoro yang sebenarnya. Apakah memang dari awal kota yang usang? Kenapa masyarakat di kota Jenggoro tetap tinggal didalam kota? Lalu bagaimana kehidupan disana? dan bagaimana kehidupan seorang dari Pelabuhan yang dibuang ke kota Jenggoro karena mendapat masalah dengan kepolisian?

ZelkovaSerrata · Fantasy
Not enough ratings
3 Chs

Mengalir lalu Jatuh dan Mengalir Lagi

Pagi ini kota menangis, dari beranjak bangun sampai menyiapkan sarapan, awan meneteskan air nya ke kota, bisa saja lanjutkan tidur, tapi lapar membuat beranjak bangun dari tempat tidur, untungnya kemarin sudah banyak membeli persediaan. Setelah mencuci muka, langsung saja menuju dapur menyiapkan roti yang diisi telur, lalu memasak mie kari instan, itu sudah cukup untuk menemani di kala hujan yang semakin keras dari luar sana, menikmati sarapan sambil meratapi kota dari jendela, menyantap roti lalu kembali melihat ke jendela, menyeruput mie kari instan yang masih hangat lalu kembali melihat ke jendela, hari pertama di kota Jenggoro, hujan dari pagi menjadikan suasana dingin dan santai, sangat pas untuk meratapi kota ini.

Semakin waktu berjalan saat itu, semakin kuat hujan mengguyur kota Jenggoro. Terlihat dari gedung yang tidak teurus, jalanan yang tidak rata, toko-toko yang banyak tutup, seisi kota diguyuri hujan. Orang-orang yang masih berharap dengan semangat nya tetap berjualan di trotoar, beberapa toko ada yang buka diantara toko yang tutup, berusaha untuk mendapat uang saat kota sedang menangis, tidak lama lagi mereka juga akan menangis, walau mereka tidak memperlihatkan tangisan mereka, hati mereka terdalam telah menangis, batin mereka tidak kuat menahannya, mereka menangis dalam diam, menangis dengan senyuman, mereka lah yang pantang menyerah yang terus berusaha untuk diri sendiri bahkan keluarga, agar bisa makan saat hujan telah mereda.

Tasme telah menghabiskan sarapannya, dan kota tetap menangis, padahal hari saat itu telah siang. Tasme melihat jam dinding yang baru ia beli kemarin, dan terlihat disitu sudah mau jam 3 sore, hari serasa cepat berlalu bagi Tasme, yang ia lakukan hanya membaca novel-novel lama yang ia kumpulkan selama di Pelabuhan dan selalu tidak sempat ia baca. Waktu terus berjalan, hingga sekitar jam 5 sore, hujan tidak berhenti, memang dari informasi yang Tasme dapat dari Kakek tua kemarin, kalau kota Jenggoro akan ada waktu dimana 1 bulan penuh sangat panas dan kering, tapi setelah itu kota akan diguyuri hujan yang sangat deras cukup lama dan hari berikutnya udara akan terasa sangat sejuk, walaupun kota menjadi sejuk, suasana di kota Jenggoro sama saja, tidak berubah sama sekali, dan karena suasana itulah yang membuat kota ini mau di waktu apapun akan terlihat sama saja pada akhirnya. Itulah yang Tasme ingat saat Kakek tua itu mengantarnya ke apartemen, informasi yang cukup berguna baginya

Karena merasa semakin dingin, Tasme membuat secangkir teh hangat, memberi gula yang tidak terlalu banyak lalu menyeduhnya dengan air panas, dan seraya mengaduk teh hangat itu, Tasme menggerutu, "Hujan deras ! Awan pun menangisi kota ini tanpa henti dari pagi sampai mau malam begini... atau... sebenarnya awan tidak menangis tetapi mengencingi kota ini karena saking hina-nya kota ini !" ia pun menyeruput sedikit teh nya yang masih hangat itu, lalu duduk ditempat kesukaannya, yang dimana ia bisa melihat kota secara luas dari jendela dan melanjutkan gerutunya, "Hujan awet ini membuat ku tertahan di apartemen saja seharian, sungguh membosankan.. Enak juga kalo menghasilkan uang, tapi sayangnya.. diriku sekarang hanya menganggur, betapa bodohnya orang yang masih berupaya mencari nafkah di kala hujan yang deras dari pagi tadi." ia menyeruput teh nya cukup banyak, dan meneguknya yang dalam kondisi masih hangat, lalu ia melihat ke jendela, melihat kembali suasana kota Jenggoro, "Memang bodoh mereka.., tetapi.. Ya.. Memang sebenarnya.. Karena kebodohan mereka itulah.. Mereka memperoleh semangat serta tekad untuk tidak putus asa dalam memberi asupan perut mereka, bukan untuk diri mereka sendiri saja, tetapi juga keluarga mereka yang menunggu kedatangan mereka dari rumah, berapapun itu.. yang mereka dapat selama hujan ini... Supaya saat mereka kembali ke rumah, mereka bisa melihat senyum dari anak dan istri nya.. Ha ha ha ! " ketawa setelah menggerutu, tidak diketahui apa isi pikirannya, tetapi pada dasarnya ia bisa merasakan apa yang orang rasakan walau dikenal sebagai orang yang kurang sopan, "Untungnya aku belum menikah, ya.. Lagian umurku masih 25, masih lama waktu ku untuk membebani pikiran ku dengan menambah bahan pikiran ku untuk orang lain, selagi aku sendiri ini, aku akan berbuat apapun yang bisa kuperbuat, sampai akhirnya tanggung jawab ku bercabang ke istri dan anak ku nanti." Tasme menyeruput teh hangatnya lagi, dan itu cukup menghangatkan dirinya, bahkan sepertinya menghangatkan batinnya juga.

Pria jangkung yang sedang duduk menghadap jendela apartemen itu, saat menyeruput teh hangatnya yang kesekian kalinya, ia seperti terkejut sedikit, seperti tiba-tiba teringat sesuatu yang penting. Dia kembali melihat ke jendela, menatap tajam jalanan dan trotoar, lalu menyeruput tehnya lagi, sontak dia seperti kaget lega, sepertinya ia sudah ingat apa yang barusan lewat dari memori pikirannya itu.

"Aku ingat ! Kakek tua itu mengatakan sesuatu yang kuhiraukan saat dia mengantarku kemarin, tapi apa ya?? Hmmmmm..." ia cukup menekan berpikirnya, berusaha mengingat kata-kata Kakek tua itu dengan jelas, lagi-lagi ia sontak seperti kaget lega, dan sepertinya ia benar-benar mengingatnya kali ini, nada bicara bahkan mulutnya meniru ucapan Kakek tua itu, "Muntahan Alkohol adalah pelapis setelah aspal dan tanah di kota ini, selain itu cairan merah juga kadang menjadi pelapis tertinggi, anak baru sepertimu harus Berhati-hati di kota ini, ha.. Kakek harap anak baru mudah beradaptasi di kota ini." Tiru Tasme dengan ucapan Kakek tua itu saat mengantarkannya ke apartemen.

"Pelapis tertinggi.. Muntahan alkohol dan Darah.. Berarti arti dari hujan ini tidak hanya menangis atau mengencingi, tetapi.. Juga menghapus noda-noda yang ada di kota, menghentikan beberapa aktivitas, termasuk aktivitas yang sia-sia dan aktivitas buruk, hmm.. Mungkin saja setan juga berteduh saat hujan ini, ha ha ha." Tasme tertawa kecil dan meneguk teh nya yang hampir habis itu. Air hujan yang jatuh ke jalan, berpapasan dengan alkohol dan darah, mereka mengalir bersama mengikuti turunan jalan, hingganya mereka jatuh lagi ke selokan dan terus mengikuti alirannya sampai jatuh lagi entah sampai mana mereka berhenti mengalir.

Basah ! 1 kata itu cukup untuk mengartikan bagaimana keadaan di kota yang telah daritadi pagi bahkan sampai malam hujan tiada henti, awan mendung itu seperti tidak berpindah dari kota, terus menerus membasahi kota Jenggoro. Semakin malam, hujan semakin ricuh, sepertinya hujan yang awet itu telah menjelma menjadi hujan badai yang sangat deras, petir pun mulai bermunculan, gesekan petir yang terjadi di awan, dengan suaranya yang sangat menganggu bahkan mengagetkan. Petir itu terus berdengking sampai penduduk di kota itu menutup telinga mereka, tidak mau mendengar apa-apa saat itu karena gemuruh yang terus berulang-ulang.

Kamar apartemen yang berada di lantai 6, Tasme berpikir seperti sangat dekat dengan hujan badai saat itu, hanya diam saja setelah menggerutu panjang di ruangannya, sambil meminum teh hangat dan mendengar instrumental. Lalu bagaimana dengan si petir yang sedang berdengking? Telah biasa Tasme dengar dengkingan petir, memang meledak-ledak di telinga tetapi itulah yang ia rasakan dulu saat di Pelabuhan, dimana banyak orang yang berdengking meminta perlakuan tempat layak, makan, dan sebagainya. Bahkan Tasme cukup muak merasakan itu selama di Pelabuhan dan sekarang waktu untuk menjauh dari itu, lalu berduaan dengan dunia internal-nya sendiri, merenggangkan jiwa dan pikiran, walaupun sebenarnya telah hancur lebur, serta sempat juga Tasme berpikir untuk mengakhiri hidup di kota Jenggoro ini atau tepatnya di kamar apartemennya itu sambil bersantai minum teh. Tetapi Tasme seperti biasa, ia pasrah ! Semua ia serahkan sesuai kehendak yang diatas sana, tidak tau bagaimana kelanjutan hidupnya, Tasme telah pasrah dengan takdir, ia seperti hanya ingin mengikuti jalan takdirnya sendiri, bagaimana pun takdirnya itu. Hal itu juga karena Tasme seperti air hujan yang jatuh ke jalan, mengalir lalu jatuh, dan mengalir lagi.