webnovel

Mom, Sister, and Me

"Zeze ... "

Suara yang familiar disertai ketukan pelan di pintu kamar membuat Zerina mengalihkan perhatiannya dari sebuah film yang sedang ia tonton. Perempuan yang rambutnya digerai asal-asalan saat ini menghela napas pelan kemudian menekan tombol spasi untuk menjeda film tersebut. Setelah itu, dia beringsut menuruni tempat tidurnya lalu menyeret kakinya dengan malas mendekati pintu berwarna cokelat tua tersebut.

"Oh, Zalina." gumam Zerina ketika mendapati saudari kembarnya berdiri di depan kamar setelah ia membuka pintu. Dia mengerutkan keningnya kala memandangi penampilan Zalina dari atas sampai bawah. "Kamu rapi banget hari ini. Mau ke mana?"

"Mau jalan sama bunda, Ze," balas Zalina sambil mengulas senyuman simpul yang cantik saat beradu pandang dengan ntera kecoklatan milik si kakak kembar. "Kamu mau ikut gak?" tanya perempuan itu sambil memberikan tatapan penuh harap untuk Zerina.

"Duh, hari ini aku males ke mana-mana, Zal. Lain kali aja, ya?" tolak Zerina dengan halus.

Tiba-tiba Zalina menggamit kedua tangan Zerina dengan erat. Sorot matanya begitu berkilauan saat berpapasan dengan manik coklat milik saudarinya, berharap sang kakak mengabulkan keinginannya saat ini.

"Zerina, please? Kita udah lama loh gak jalan bertiga. Bahkan, waktu itu aja kamu nolak, kan? Ayolah, sekali aja. Aku mau jalan sama kakak aku kayak waktu itu. Kita have fun bareng. Jadi mau, ya?"

"Kalau kamu ragu karena bunda, nanti aku yang bilang ke bunda. Tenang aja, pasti beliau ngizinin kok," sambung Zalina ketika menemukan adanya keraguan yang tersirat di wajah cantik milik saudarinya. Gadis itu tersenyum manis lalu menangkup kedua pipi Zerina dengan lembut. "Bunda pun pasti seneng kalau kamu ikut, Ze. Percaya sama aku, ya?"

Zerina memandangi manik cerah berwarna cokelat milik Zalina lekat-lekat. Dia menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala dengan perlahan. Setelah itu ia melepaskan kedua tangan sang adik yang menempel di pipinya. "Ya udah aku ikut. Tapi tunggu sebentar, ya. Aku mau mandi dulu."

"Oke! Kalau gitu aku turun duluan, ya. Sekalian bilang ke bunda kalau kamu mau ikut. Bye!" Usai menepuk pelan bahu Zerina, Zalina membalikkan badan lalu bergerak ke arah tangga menuju lantai dasar. Gadis itu terus mengembangkan senyuman semringahnya tanpa mengetahui sesuatu yang ada di dalam pikiran saudarinya.

Sementara Zerina, senyuman manis nan tulus yang mengembang di bibir merah alami itu memudar seketika setelah sosok Zalina luput dari pandangannya. Ia meringis kecil kala membayangkan bagaimana nasibnya saat berada di antara sepasang anak dan ibu yang saling menyayangi satu sama lain tersebut.

"Siap-siap aja jadi thirdwheel di antara mereka, Zerina," gumam Zerina kepada dirinya sendiri. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia membalikkan badan lalu melangkah gontai memasuki kamarnya kembali dan bergegas mempersiapkan diri.

***

Zerina menguncir rambut panjangnya dengan gaya ekor kuda setelah memoleskan make-up tipis di wajah manisnya. Kemudian dia beranjak dari kursi rias lalu mengambil sling bag kecil berwarna cokelat yang digantung di belakang pintu. Setelah itu dia bergegas keluar dari ruangannya sembari memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam tas tersebut.

Dia mempercepat langkahnya saat menuruni belasan anak tangga menuju lantai dasar. Lantas berlari kecil menemui bunda yang tampak asik mengobrol berduaan dengan adik kembarnya, Zalina. Langkahnya tiba-tiba tertahan kala melihat tangan cantik milik sang bunda membelai lembut helaian rambut Zalina. Sesuatu di dalam sana mulai bergejolak, hingga membuat dada Zerina seolah menyempit tanpa sebab. Mungkin hatinya merasa cemburu dengan sikap sang bunda yang semakin jelas menunjukkan ketidakadilan dalam membagi rasa cintanya.

"Bunda, Zalin, aku udah siap." Zerina memberanikan diri memecah situasi mesra antara ibu dan anak tersebut. Dia mengulas senyuman tipis kepada sang bunda sembari berjalan mendekati kedua wanita yang paling ia sayangi ini.

"Kamu gak punya setelan yang lebih bagus dari ini, apa? Coba sekali-kali pake rok seperti Zalina. Jangan celana jeans sama kaus oblong murahan itu terus yang dipake! Malu-maluin saya aja!" tukas bunda sengit yang berhasil memadamkan senyuman manis yang mengembang di bibir Zerina.

"Bunda! Jangan gitu sama Zeze. Setiap orang punya gaya pakaiannya masing-masing, termasuk Zerina," timpal Zalina sambil melempar tatapan tajam ke arah bunda setelah wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu melepaskan kata-kata pedas untuk saudari kembarnya.

Zerina buru-buru memasang senyuman yang terasa seperti topeng di wajahnya. Dia melirik ke arah Zalina, memberi kode agar perempuan itu tidak meninggikan suaranya ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Kemudian tatapan itu beralih ke sang bunda yang bahkan sama sekali enggan meliriknya. Hahaha, miris sekali.

"Ya udah, Zerina ganti baju dulu ya, Bun."

"Gak usah. Saya gak mau kelamaan gara-gara nungguin kamu ganti baju, Zerina," ketus bunda. Setelahnya, beliau bangun dari sofa kemudian berjalan mendahului dua anak gadisnya. Usai berjalan beberapa langkah, dia kembali menoleh ke belakang. "Zalina, ayo," titahnya seraya memberi kode supaya Zalina bergerak mengikutinya. Habis itu dia berjalan lagi hingga sosoknya perlahan menghilang dari pandangan dua anak kembar tersebut.

"Aku gak tau kenapa bunda bisa jadi kayak gini ke kamu. Tapi aku janji, Ze. Aku janji akan bikin semuanya balik kayak dulu," ucap Zalina dengan sungguh-sungguh sembari menggamit salah satu tangan saudari kembarnya dengan lembut.

"You don't have to, Zal. Sikap bunda ke aku saat ini adalah hukuman buat aku karena 'sesuatu'. Kamu tau maksudku, kan?"

Selepas perbincangan singkat tersebut, sepasang anak kembar itu bergegas meninggalkan bangunan bertingkat dua ini. Mereka berlari menuju sebuah mobil yang terparkir apik di sebuah garasi luas depan rumah. Di sana sang bunda sudah duduk manis di kursi kemudi, menunggu kedatangan keduanya.

"Zalina, kamu temenin Bunda di sini," titah bunda saat dua anak gadisnya tiba di samping mobil.

Zalina menoleh ke arah Zerina seolah meminta pendapatnya. Sementara si kakak kembar hanya mengangguk sembari memberikan senyuman tipis untuknya. Habis itu dua gadis berparas jelita ini masuk ke dalam mobil tersebut melalui pintu yang berbeda.

Zalina di sebelah kursi kemudi dan Zerina duduk sendiri di belakang.

Ya, seperti apa yang ia bilang sebelumnya. She is a thirdwheeling in her own relationship with her mother and sister. Miris? Ya. Tapi apa boleh buat?

***

Zerina serta adik dan bundanya tiba di salah satu pusat perbelanjaan setelah menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam di perjalanan. Kini ketiganya sedang berjalan-jalan menyusuri beberapa toko di lantai satu, bercampur dengan para pengunjung lain yang berada di lantai yang sama. Setelah melewati salah satu toko pakaian, mereka memasuki salah satu toko sepatu yang dikenal mahal dan berkualitas.

Gadis yang rambutnya dikuncir dengan gaya ekor kuda itu memisahkan dirinya beberapa langkah dari bunda dan saudarinya ketika sampai di toko tersebut. Dia mendaratkan bokongnya pada salah satu sofa hitam yang terletak di dekat pintu masuk sembari mengamati dua wanita kesayangannya itu. Sebuah senyuman tipis dan samar mengembang di bibir ranumnya secara perlahan.

Zalina sangat beruntung mempunyai bunda yang begitu menyayanginya dan selalu menuruti apapun keinginannya. Kalau boleh jujur, Zerina iri dengan 'privillege' yang didapat adik kembarnya. Namun, apa boleh buat?

"Zerina, sini! Kamu ngapain bengong kayak anak ilang di sana?"

Panggilan dari sang bunda membuyarkan pikiran Zerina. Gadis itu lantas menoleh ke arah wanita berparas cantik itu dengan raut kebingungan. Akan tetapi, sedetik kemudian dia bangun dari posisinya lalu berjalan mendekati bunda dan Zalina.

"Ada sepatu yang kamu suka gak? Atau kamu mau kembaran sama Zalina?" tanya bunda ketika si putri sulung telah berdiri di sampingnya. Wanita berusia di penghujung tiga puluhan ini menunjukkan sepasang flatshoes berwarna coklat yang cantik. Namun tentunya gaya feminin itu sama sekali bukan selera Zerina yang 'boyish'.

"Oh iya, selera kamu kan yang kayak cowok gitu, ya. Gak ada cantik-cantiknya hahah. Ya udah gih, cari sendiri yang cocok sama selera kamu itu," sambung bunda dengan menyungging senyuman sinis ketika ia memasukkan sepatu pilihan Zalina ke dalam kotak.

"Iya, Bun. Hehehe." Usai memberi senyuman selintas untuk sang bunda, gadis itu bergerak menuju deretan sneakers dengan berbagai warna yang dipajang di sebuah rak. Tak butuh waktu yang lama, Zerina akhirnya kembali menghampiri adik dan bundanya dengan sebuah kotak sepatu di tangannya.

"Udah, Ze? Cepet banget," tanya Zalina kebingungan.

"Iya, ngapain juga lama-lama, Zal?" Zerina malah membalas dengan pertanyaan lagi.

"Kamu yang bayar, gih. Ini kartunya. Passwordnya tanggal lahir Zalina," titah bunda sembari memberikan sebuah dompet kecil kepada Zerina. Setelah itu ia menumpuk kotak sepatu milik Zalina di atas kotak milik Zerina, membuat perempuan manis itu sedikit kewalahan.

"Ayo, Zal. Kita duduk dulu. Bunda pegel banget, nih." Bunda lantas menarik tangan Zalina saat gadis itu akan membantu Zerina membawa kotak tersebut. Mereka saling memberi kontak mata sebelum akhirnya perempuan yang mengenakan setelan dress selutut itu berbalik dan mengekor sang bunda di belakang.

Sementara Zerina lagi-lagi harus menelan pil pahit karena mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan dari sang bunda. Meskipun, wanita itu telah membelikannya sepatu baru hari ini.