webnovel

JEJAK WAKTU

Margaret gadis muda keturunan Indo-Belanda. Pulang ke Indonesia karena pesan terakhir dari neneknya. Pesan neneknya menuntunnya ke sebuah mansion tua milik leluhurnya. Dia menemukan buku harian dari seorang wanita bernama sama dengan dirinya, yang ditulis 200 tahun silam. Kisah dalam buku harian itu begitu tragis. Hatinya terasa sakit. Tanpa sadar air matanya bercucuran. Saat air mata itu jatuh mengenai buku harian itu, tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit luar biasa dan kemudian dia jatuh pingsan. Saat terbangun dia masih berada di ruangan yang sama tapi dalam suasana yang sangat berbeda....... Ini bukan dunia yang dikenalnya.

Nice_D · General
Not enough ratings
96 Chs

PROLOG

Pesawat itu seakan terus melambat. Dia sudah lelah, sangat lelah. Dia sudah menyetir lebih dari empat jam untuk mencapai Bandara Schiphol.

Dua bulan yang lalu paman sudah mengurus semua keperluannya untuk pindah ke Indonesia. Tapi tetap saja ada hal-hal yang harus dia urus sendiri. Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Tidak banyak peluang pekerjaan untuk jurusan antropologi di Indonesia. Walaupun neneknya meyakinkannya bahwa pamannya akan membantunya disana. Tapi dia tetap merasa perlu mencari pekerjaan sendiri. Dia tidak suka bergantung pada siapapun, termasuk pamannya. Berhari-hari dia browsing lowongan pekerjaan, tidak ada satupun yang cocok dengan jurusannya.

Margaret telah yatim piatu sejak kecil. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hanya dia yang selamat dalam kecelakaan itu. Karenanya dia tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan pendiam. Neneknya adalah keluarga terdekatnya. Paman Pieter adalah adik ibunya. Dan keluarganya yang dikenalnya, yang tersisa.

Suara pramugari membuyarkan lamunannya.

Diinformasikan bahwa sebentar lagi pesawatnya akan landing di bandara internasional Sukarno-Hatta. Setelah perjalanan hampir enam belas jam, akhirnya dia sampai juga di Indonesia. Ini adalah perjalanan pertamanya ke Indonesia. Sekalipun dia berdarah campuran, Indo-Belanda, dia tidak pernah berkunjung ke Indonesia. Bahkan dia baru tahu kalau dia memiliki keluarga di negara itu.

Dia masih ingat enam hari yang lalu, sebelum neneknya meninggal, dia terus menerus berpesan kepadanya untuk ke Indonesia. Neneknya memberitahunya bahwa dia memiliki saudara disana. Dia ingin Margaret menemui mereka.

"Pergilah kesana. Tinggalah disana. Jika kau tidak suka, kau boleh kembali."

Pukul 17.30

Pesawatnya mendarat.

'Disini hari sudah senja'

Margaret mengagumi semburat merah di langit senja.

'Indah sekali.' pikirnya

Ditariknya notes kecil dari sakunya. Bahasa Indonesianya sangat buruk. Dia khawatir tidak dapat menemukan apa yang dicarinya.

Dibacanya lagi tulisan neneknya. Lalu ditelusurinya memalui maps.

"Shit! Jauh sekali." umpatnya.

Dia sama sekali tidak berpikir bahwa dia harus menuju ke luar kota setelah sampai Jakarta.

Akhirnya malam itu dia putuskan untuk mencari hotel terdekat.

Margaret benar-benar tidak tampak seperti memiliki darah Indonesia. Rambutnya pirang kemerahan. Warna kulitnyapun sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia masih memiliki darah Jawa.

"Permisi..." sapanya kepada resepsionis hotel saat dia turun dari kamar dimalam hari "Saya berencana ke Magelang. Apakah ada transportasi yang bisa direkomendasikan?" tanyanya dalam bahasa Indonesia yang kacau.

"Yes, miss... There're a few options for you miss... " jawab resepsionis itu dengan sangat sopan. "You can use... "

Resepsionis itu sangat ramah dan informatif. Dia menjelaskan dengan detail sekali.

Malam itu dia benar-benar sangat lelah, jadi langsung tertidur begitu mencapai tempat tidur.

Baru pukul tujuh pagi, kenapa matahari sudah begitu terik, seakan hari sudah benar-benar siang. Margaret masih merasa mengantuk saat tangannya bergerak acak diatas nakas mencari ponselnya, tanpa membuka matanya.

Dia memicingkan matanya melihat ke layar ponselnya. Ada pesan dari nomer yang tidak dikenalnya.

Hai, saya Danis. Saya cucu Bu Lastri, sepupu Madam Van Jurrien.

Van Jurrien adalah nama keluarga neneknya, sebelum dia menikah.

'Ya. Saya Margaret. Margaret Rutger.' ketiknya kemudian, untuk membalas pesan itu.

'Apakah anda sudah di Indonesia?' tanya wanita itu

'Ya.'

'Baiklah, tolong beritahu lokasi anda, saya akan jemput.'

Margaret mengetik nama hotel didekat bandara, tempatnya bermalam.

'Saya akan sampai lokasi jam sepuluhan.'

'Oke. Akan saya tunggu di lobi.' jawab Margaret.

Dia sebenarnya masih malas untuk beranjak dari tempat tidur. Tapi jam sudah menunjukkan lewat pukul delapan. Dan perutnya sudah meronta kelaparan.

Setelah membersihkan tubuhnya dan menata barang-barangnya, dia bersiap untuk checkout.

Margaret menatap makanan dihadapannya. Tidak banyak pilihan baginya. Sebagian besar dari makanan yang tersedia sama sekali belum pernah dia tahu. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil nasi goreng. Walaupun dia tidak terlalu menyukai nasi. Sejauh yang diingatnya makanan utama penduduk lokal adalah nasi.

Gadis bernama Danis datang setelah jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang. Setelah menemukan Margaret, berkali-kali dia meminta maaf karena keterlambatannya. Jalanan Jakarta yang selalu macet membuatnya tidak dapat mencapai hotel tempat Margaret tepat waktu.

Danis gadis manis bertubuh mungil. Wajahnya cukup cantik. Potongan rambut pendek dan dandanan ringannya membuatnya tampak seperti seorang eksekutif muda. Usianya empat tahun lebih tua dari Margaret, tapi wajahnya tampak lebih muda.

"Saya akan mengantar anda menemui nenek." katanya singkat.

Gadis itu tidak terlalu banyak basa-basi. Sekalipun dia cukup ramah, dia tidak pernah boros dengan kata-kata. Dia hanya bertanya dan menjawab seperlunya.

Margaret mempelajari sosok Danis.

Inikah saudaranya? Apakah dia benar-benar sepupunya?

Yang dia tahu hanyalah pamannya, dia memiliki istri wanita Indonesia. Tapi dia tidak pernah terlalu dekat dengan bibinya. Pamannya berambut kecoklatan. Cukup gelap untuk ukuran orang Eropa. Pamannya selalu berkelakar bahwa di Eropa dia adalah pria asing, begitu juga ketika di Indonesia, dia tempat tidak tampak seperti orang lokal. Tidak ada tempat yang sesuai untuk penampilannya, keluhnya. Dan semua anggota keluarga selalu tertawa dengan keluh kesahnya.

Diantara semua keluarganya, hanya pamannya yang sering berkunjung ke Indonesia, karena dia memiliki bisnis di Indonesia.

"Paman Pieter akan datang besok." kata Danis menjelaskan.

Sepertinya Danis cukup mengenal Paman Pieter. Rupanya Danis bekerja di perusahaan Paman Pieter.

Mereka keluar dari hotel menuju mobil Danis. Begitu keluar dari pintu hotel udara panas yang menyengat menyeruak, membuat Margaret memicingkan matanya. Kemaren dia tidak terlalu merasakan panasnya udara Jakarta, karena mungkin terlalu lelah. Tapi hari ini, berjalan menyusuri parkiran menyebabkan dia merasa tubuhnya mulai menguap karena terlalu panas.

"Panas sekali." katanya pelan seakan berbicara kepada dirinya sendiri.

"Hmm... Jakarta selalu seperti ini dan dari tahun ke tahun semakin panas." jelas Danis

Margaret mengangguk-angguk dengan wajah kemerahan karena panas.

Danis memarkir mobilnya cukup jauh dengan alasan agar memudahkan dia untuk masuk ke jalan yang mengarah ke tempat tujuan mereka.

Setelah berjuang ditengah kemacetan, Denis keluar dari pusat kota terus ke selatan. Kemudian mereka mencapai sebuah rumah. Seorang wanita tua berjalan kearah gerbang dan membantu Danis membuka gerbang besi rumah tersebut.

"Mbok, nenek masih didalam kah?" tanya Danis kepadanya.

"Iya, neng."

Danis membantu Margaret mengangkat kopernya.

"Ayo, aku tunjukkan kamarmu."

"Tunggu! Nenek memberiku alamat di kota Magelang." ujar Margaret sambil menahan tangan Danis yang sedang membawa kopernya.

"Nenek ada disini. Tidak ada siapapun yang tinggal di Magelang saat ini." jelas Danis.

Tentu saja Margaret tidak memahami. Danis bukan tipe orang yang akan menjelaskan segala sesuatu. Dia hanya akan mengatakan saat dia ditanya.

"Oh.. oke. Maaf." timpal Margaret pelan.

Setelah menaruh barang-barang Margaret di kamar tamu. Danis mengajaknya untuk menemui nenek Danis yang kata neneknya adalah masih saudara sepupu. Kakek buyut Danis dan Margaret adalah orang yang sama, meskipun nenek buyut mereka berbeda.

Nenek adalah orang yang ramah dan hangat. Dia segera memeluk Margaret begitu melihatnya. Ditepuk-tepuk punggungnya dengan lembut.

"Kau pasti lelah." ujarnya sambil tersenyum hangat. "Bagaimana perjalananmu, Margie?"

Dia mengusap pipi Margaret dengan lembut dan memintanya untuk duduk di sebuah bangku kecil didepannya.

"Baik."

"Panggil saja aku nanek Lastri. Saya juga nenekmu." ujarnya sambil tersenyum hangat dengan menggenggam tangan Margaret.

Nenek Lastri menceritakan banyak hal kepada Margaret. Bercerita tentang silsilah keluarga mereka. Margaret mendengarkan dalam diam. Dulu neneknya telah terbiasa dengan karakter pendiam Margaret. Tapi nenek Lastri belum mengenalnya dengan baik.

"Ah, kau pasti bosan dengan ceritaku.." ujarnya suatu kali setelah mereka makan malam.

"Tidak. Saya baik-baik saja." timpal Margaret dengan canggung.

"Pieter akan datang dalam dua hari." sela Danis yang baru saja pulang. "Dan nenek, aku tidak akan pulang dalam seminggu kedepan. Aku ada di Surabaya. Oh, ya...Bagaimana kabarmu, Margie?"

"Tidak buruk." jawabnya sambil tersenyum.

"Apakah kau tidak merasa bosan?" tanyanya kemudian.

"Aku tidak masalah."

Margaret tidak merasa cukup dekat dengan orang-orang tersebut. Sekalipun Nenek Lastri cukup hangat dan ramah, dia masih belum terbiasa dengan mereka. Danispun juga teman yang cukup baik. Walaupun tidak banyak bicara, Danis selalu berusaha menyediakan semua kebutuhan Margaret. Bahkan dia selalu menawarkan kepadanya untuk mengantarnya kemanapun yang dia inginkan, disela-sela kesibukannya.

"Aku ingin bekerja." kata Margaret suatu hari.

Sudah seminggu dia berada di rumah itu. Dan tidak ada hal yang dia lakukan, selain menemani Nennek Lastri dan mendengar cerita-ceritanya. Paman Pieter hanya datang satu kali. Tidak banyak yang dia katakan. Dia hanya bertanya hal-hal terkait dengan dokumen imigrasi. Dan Margaret sudah mengurus semua dokumen tersebut dengan bantuan Danis.

"Apakah nenek Lastri yang sebelumnya tinggal di Magelang? tanyanya kepada Danis.

"Iya. Baru sebulan yang lalu dia bersedia kubawa kesini." jawabnya. "Dia mau kubawa kesini, setelah aku bilang kalau kamu akan kesini." sambungnya. "Oh, ya. Hari ini aku akan membawamu ke Witte Huis. Kamu bisa saja tinggal disini. Tapi itu adalah rumahmu. Jika kamu tidak kerasan disana, kamu bisa kembali kesini. Ada pembantu yang dipekerjakan uncle Pieter disana."

Rumah itu cukup berbeda dengan rumah di lingkungan sekitarnya. Rumah dengan desain kolonial yang tampak lama itu menjulang didepan Margaret. Dia tidak terlalu menyukai rumah itu, karena terkesan kuno dan suram.

Seorang wanita paruh baya menyambut mereka dan mengatakan bahwa karmar utama sudah disiapkan. Danis menjelaskan bahwa mulai sekarang Margaret adalah majikannya. Dia tampak senang.

"Saya sudah siapkan makan malam, untuk nona-nona." katanya ramah.

Dua hari Margaret mengeksplor rumah barunya. Sesekali dia bertanya kepada pamannya, apakah dia diperbolehkan untuk menata ulang rumahnya.

Margaret mensortir barang-barang yang tidak diperlukan untuk dibuang.

Dia menemukan nakas antik yang menurutnya sangat cantik di gudang atas. Walaupun peliturnya sudah kusam dan mengelupas di beberapa bagian. Dia sangat menyukainya.

Margaret membersihkan nakas itu dan mengangkatnya ke kamarnya.

'Ah, ternyata sangat berat' keluhnya dalam hati.

Nakas itu terdiri satu laci besar dan dua laci kecil dibawahnya. Laci besar dan satu laci kecil tidak terkunci. Sedangkan sebuah laci kecil yang lain terkunci.

"Ah, sial." umpatnya.

Lalau dia mengambil sebuah obeng untuk mengungkit kunci laci itu. Dia benar-benar penasaran dengan isi laci itu. Dua yang lain adalah laci kosong.

'Dan kenapa yang ini harus dikunci?' batinnya.

Setelah beberapa kali berupaya dia masih belum berhasil membuka laci tersebut.

Dia teringat kunci yang ada dikalung neneknya, yang dibawanya dari Belanda. Dia selalu berpikir bahwa itu adalah liontin berbentuk kunci kuno yang cantik dengan permata hijau di pangkalnya.

Lubang kunci itu hampir sama besarnya dengan liontin itu.

Diambilnya liontin itu dari tasnya dan dicobanya. Awalnya sangat sulit. Karena sepertinya lubang kunci itu cukup kotor dan sudah berkarat. Tapi setelah dicoba beberapa kali, anak kunci tersebut benar-benar sesuai dengan lubang kunci itu.

'TAK!'

Akhirnya laci itu berhasil dibukanya. Dia melongok kedalam untuk melihat isi laci itu. Ada semua buku. Warnanya sampulnya sudah memudar. Entar berapa lama buku itu ada disana. Diambilnya pelan-pelan dan ditiupnya debu yang ada diatas buku itu.

Dengan sangat hati-hati dibukanya buku itu. Ada tulisan tangan yang tampak kuno

'Margaret van Jurrien' itu adalah nama yang tertulis dibalik sampul.

Dibukanya kertas-kertas rapuh yang menguning tersebut. Sebagian tulisannya sulit untuk dibaca karena tintanya memudar, tapi masih cukup banyak yang dapat dibacanya.

'Ini adalah buku harian seorang gadis yang namanya mirip dengannya.' Mungkin ini adalah nenek buyutnya.

Margaret bersandar di ranjangnya sambil membaca buku itu. Dihalaman terakhir ada sebuah pesan

"Sampaikan kepadanya bahwa aku mencintainya. Sampaikan bahwa aku tahu dia juga mencintaiku."

Tulisan itu hanya pesan biasa tapi seketika hati Margaret bergemuruh. Ada rasa sakit di dadanya. Tanpa dapat dia bendung, air matanya jatuh menetes. Dia menangis. Dia bukan tipikal orang yang sentimentil. Tapi sekarang dia menangis tanpa dia tahu penyebabnya. Hatinya sakit. Buku harian itu berisi kisah yang menyedihkan. Air matanya menetes membasahi buku itu.

Tiba-tiba kepalanya menjadi sangat sakit. buku itu terjatuh bersamaan dengan robohnya tubuh Margaret.

"Noni...noni.." suara itu membangunkannya. Kepalanya masih terasa sakit. Dibukanya pelan-pelan matanya. Ranjangnya berbeda. Tapi kamar ini masih sama seseorang berdiri dengan wajah cemas disampingnya. Seorang gadis muda dengan rambut digelung. Dia tidak mengenalnya. Lalau dibelakanganya muncul seorang pria dengan kumis tebal mengenakan pakaian yang aneh. Apakah mereka akan mengikuti karnaval?

"Kau sudah sadar?" tanyanya

Margaret kebingungan. Siapa mereka? Aku ada dimana?

Tapi tidak satupun pertanyaan keluar dari mulutnya.

Dia hanya dapat menjawab "Ya."