webnovel

JEJAK WAKTU

Margaret gadis muda keturunan Indo-Belanda. Pulang ke Indonesia karena pesan terakhir dari neneknya. Pesan neneknya menuntunnya ke sebuah mansion tua milik leluhurnya. Dia menemukan buku harian dari seorang wanita bernama sama dengan dirinya, yang ditulis 200 tahun silam. Kisah dalam buku harian itu begitu tragis. Hatinya terasa sakit. Tanpa sadar air matanya bercucuran. Saat air mata itu jatuh mengenai buku harian itu, tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit luar biasa dan kemudian dia jatuh pingsan. Saat terbangun dia masih berada di ruangan yang sama tapi dalam suasana yang sangat berbeda....... Ini bukan dunia yang dikenalnya.

Nice_D · General
Not enough ratings
96 Chs

BAB 1 MARGARET VAN JURRIEN

Semuanya seperti mimpi. Aku masih berpikir bahwa aku belum sepenuhnya terbangun. Gadis itu membimbingku untuk bangun. Aku menatap sekitar. Baju yang kukenakan bukan milikku. Aku menunduk. Tanganku lebih kecil daripada yang kuingat.

Kepalaku masih sakit, tapi aku terus mencoba berdiri dan berjalan menuju meja rias. Aku benar-benar penasaran dengan diriku. Aku melihat dikaca. Masih tetap aku. Tapi lebih muda. Seperti wajahku saat di high school. Aku melihat sekitar dengan bingung.

"Noni" suara gadis itu terdengar sedih. "Maafkan saya. Saya tidak bisa menjaga noni dengan baik."

Gadis itu bersimpuh dihadapanku seperti seorang abdi.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya lelaki bertubuh gempal dengan kumis dan jambang memenuhi wajahnya. "Kau memang bodoh!" ucapnya seraya menendang gadis kecil dihadapanku.

Itu hanyalah gadis kecil. Bahkan tendangan yang tidak berartipun akan menyakitinya. Gadis itu tersungkur. Tubuhnya gemetar ketakutan. Ditelangkupkan kedua telapak tangannya memohon ampun.

Aku benar-benar bingung dengan situasi ini.

"Aku..." Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku hanya tidak suka melihat gadis kecil itu diperlakukan seperti itu.

"Paman!" panggilku pada lelaki itu.

"Paman?" tanyanya keheranan, lalu berjalan mendekatiku. "Margaret ini aku. Ayahmu."

Ayah yang kuingat bukanlah seperti ini. Ayah adalah seorang akuntan dengan wajah selalu bersih dan rapi. Tubuhnya tidak sebesar dia. Siapa lelaki yang mengaku sebagai ayahku?

Aku menatapnya bingung. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Margaret.. " wajahnya melihatku dengan putus asa.

Dia kembali berpaling pada gadis kecil yang tadi ditendangnya. Gadis itu kini dalam posisi bersujud meminta ampun. Tubuhnya gemetar. Dia mungkin sangat ketakutan.

"Verdomde meid!" umpatnya sambil sekali lagi menendangnya.

Aku dapat melihat darah dipipinya. Gadis itu begitu kecil. Mungkin umurnya masih sekitar dua belas tahunan. Aku masih tidak dapat mencerna situasi dihadapanku.

"Tunggu, Papa!" seruku sebelum dia sekali lagi mengayunkan kakinya ke tubuh mungil itu. "Aku baik-baik saja, Papa."

"Benarkah?" ujarnya seraya mendekatiku dengan wajah lega. "Aku benar-benar khawatir. " sambungnya. "Tapi kau!" ucapnya sambil menunjuk gadis kecil itu "...tetap harus dihukum!"

Orang yang kupanggil papa mendekatiku. Menelangkupkan telapak tangannya di wajahku. Seakan sedang memeriksaku, dia melihatku dengan seksama.

"Aku baik-baik saja." kataku lagi, "Jangan hukum dia. Aku membutuhkan dia disini. Menemaniku."

Aku tidak tahu kepada siapa aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Dan sepertinya kesempatan satu-satunya adalah gadis itu. Sepertinya dia bisa kupercaya.

"Dokter Hoog akan datang sebentar lagi." jelasnya kepadaku

Aku hanya mengangguk dan berharap dia segera keluar dari kamar ini.

"Aku ingin istirahat, Papa."

"Tentu... tentu.. kau butuh istirahat. "Baiklah, aku akan keluar dulu."

Akhirnya pria itu keluar. Gadis itu berjalan tertatih-tatih mengikutinya dibelakang. Sebelum menutup pintu, aku memanggilnya.

"Tunggu! Kamu temani aku!" seruku kepadanya.

Wajahnya tampak bingung, kemudian menganguk dan masuk kembali kedalam kamar dan menutup pintu dibelakangnya.

"Kemarilah" panggilku.

Dengan patuh dia berjalan mendekatiku. Aku berdiri dan berjalan kearah jendela besar. Kamar itu berada di lantai dua. Dapat kulihat pemandangan yang terpampang diluar rumah ini. Ini seperti rumah yang sama. Tapi pemandangan luarnya sangat berbeda.

Gadis itu berjalan dengan hati-hati kearahku. Ada gurat kekhawatiran di wajahnya. Pipinya membiru karena bekas tendangan pria itu. Aku tahu bahwa ada bagian tubuhnya lain yang lebih sakit. Jalannya masih terpincang-pincang.

"Apa yang aku akan tanyakan kepadamu, simpan baik-baik untukmu sendiri. Mengerti?"

Dia hanya mengangguk.

"Baiklah. Siapa namamu?"

Matanya terbelalak mendengar pertanyaanku. Mulutnya terbuka tanpa ada suara apapun.

"Noni lupa dengan Dhayu?" tanyanya dengan wajah akan menangis.

Ah, jadi namanya Dhayu. Aku menutup mataku sejenak. Aku bingung bagaimana menjelaskan situasi yang masih kucoba untuk pahami ini kepadanya.

Kutarik nafas dalam-dalam sebelum kembali bertanya kepadanya. Kupegang kedua pundaknya yang mungil. Kuamati wajahnya. Gadis itu sebenarnya cukup cantik. Dia masih kebingungan.

"Dhayu, bisakah kau menceritakan kembali apa yang terjadi kepadaku? Sepertinya kepalaku agak sakit, jadi aku tidak bisa mengingatnya." Aku berusaha menjelaskan dengan nada suara sedatar mungkin, agar dia tidak panik.

"Noni... " tangisnya. Kedua telapak tangannya menutupi mulutnya untuk menahan tangisnya.

"Ayolah... aku baik-baik saja. Hanya tidak ingat apa yang terjadi. Aku akan coba ingat pelan-pelan. Bantu aku." ujarku. "Dan kau tidak perlu memberitahu papa soal ini."

Sesaat dia tampak bingung, kemudian dia mengangguk.

Dhayu menceritakan kecelakaan yang baru saja kualami. Tapi dia kembali menangis saat aku bertanya siapa namaku.

Aku lebih terkejut lagi setelah mendengar nama yang disebutkan.

Margaret van Jurrien, nama itu yang ada dalam buku harian yang kubaca dikamarku beberapa waktu yang lalu. Kepalaku menjadi sangat sakit. Aku orang yang selalu berpikir rasional dan logis. Hal-hal yang terjadi saat ini benar-benar diluar nalar. Bagaimana mungkin dia menjadi gadis yang ada dalam buku harian yang berusia lebih dari 200 tahun itu.

Istirahat. Kepalaku terlalu sakit untuk terus berpikir. Rasanya hampir pingsan. Aku meminta Dhatu untuk datang kembali nanti.

Hari sudah petang saat Dhayu mengetuk pintu pelan-pelan. Entah sudah berapa lama dia mengetuk pintu itu. Dan memanggilku dengan lirih.

"Noni, Dokter Hoog ada disini. Apa Noni sudah bangun?"

"Masuklah."

Aku melihat seorang pria paruh baya berkumis tebal dengan kacamata bertengger rendah di hidungnya yang besar.

"Hai gadis kecil." sapanya ramah. Sepertinya pria ini cukup mengenalku.

Aku hanya tersenyum.

"Coba katakan padaku, bagian mana yang masih terasa sakit?" tanyanya sambil membuka tas kulit yang dibawanya.

Aku menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja." jawabku.

"Benarkah? Lalu kenapa Hermann begitu panik?" tanyanya lagi sambil tersenyum kepadaku.

"Dia yang sakit." ujarku menunjuk Dhayu. "Tadi papa menendangnya."

Dhatu melihatku dengan kebingungan, begitu juga Dokter Hoog. Lalu dia tertawa lebar.

"Kau masih saja bercanda." ujarnya disela-sela tawanya

Aku tidak bercanda. Dhatu memang sakit. Dia pasti terluka. Tapi pria itu tidak mau memeriksanya. Dia kembali melihatku dengan seksama. Mencari-cari bagian mana yang mungkin salah dengan tubuhku.

"Berapa lama dia tenggelam?" tanyanya kepada Dhayu.

"Lama. Cukup lama. Saya baru berhasil menemukan penjaga yang bisa berenang setelah saya kembali kesini." jawab Dhayu menjelaskan. "Saya tidak bisa berenang. Teriakan saya membuat orang-orang datang. Tapi karena tidak ada yang menolong, saya pulang kesini." kata-katanya semakin lirih, seakan dia sedang mengakui sebuah dosa.

"Jadi penjaga itu yang menolongnya?" tanya Dokter Hoog lagi, sambil memeriksa paru-paruku dan memintaku untuk menarik nafas panjang.

"Tidak. Saat saya kembali, noni sudah ditolong."

"Oh, ya? Lalu siapa yang menolongnya?"

"Ada pemuda yang basah kuyup didekatnya. Tapi noni ada dipangkuan beberapa wanita."

Dokter menatap Dhayu dengan pandangan bertanya.

"Saya hanya mengira pemuda itu yang menolongnya, karena dia yang basah. Tapi Noni ada dipangkuan ibu-ibu, masih belum sadar."

"Siapa itu yang menolongnya?"

"Saya tidak pernah tahu. Saya belum pernah melihatnya disini."

Banyak hal yang belum kupahami. Aku masih yakin bahwa aku adalah Margaret Rutger bukan van Jurrien. Usiaku dua puluh tahun, sedang gadis van Jurrien ini baru enam belas tahun. Dhayu benar-benar berusia dua belas tahun. Dia tampak dewasa dan bertanggung jawab. Dia abdi yang baik. Tidak ada seorangpun yang curiga kepadaku. Pasti karena Dhayu belum berkata apa-apa soal aku 'hilang ingatan'. Dhatu memberitahuku banyak hal termasuk kebiasaanku.

Seseorang yang kupanggil Papa, jarang tampak di rumah itu. Kabarnya dia punya nyai di tempat lain. Aku juga membaca bagaimana gadis van Jurrien ini bisa berada di Batavia. Rupanya dia melarikan diri dari pertunangan yang sudah diatur untuknya di Eropa. Benar-benar gadis nakal, pikirku geli. Ibu gadis ini sudah meninggal. Dan Papanya memiliki istri yang ditinggal di Belanda.

Tuan van Jurrien adalah seorang pejabat VOC. Dia sering harus keluar dari Batavia untuk ke daerah-daerah. Tidak banyak yang dilakukan gadis van Jurrien ini disini. Dia hanya bermain-main dengan Dhatu. Bahkan dia belum memiliki lingkaran teman di Batavia. Dia baru tiga bulan disini. Tidak banyak yang kupelajari selain dari buku harian gadis van Jurrien dan Dhayu.

Hari ke enam

Papa kembali ke rumah bersama orang-orang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Lalu papa mendekatiku.

"Apa kau mau ikut di pesta? Minggu depan akan ada pesta besar di lodji." dia menatapku dengan bersemangat. "Biasanya gadis-gadis menyukai pesta. " sambungnya canggung, saat aku hanya melihatnya dengan datar.

"Baiklah." jawabku ringan.

"Kau bantu dia bersiap." perintahnya kepada Dhatu. "Apa kamu perlu bantuan Nyai Sinah?" tanyanya kemudian.

"Iya meniir." jawab Dhayu.

Siapa itu Nyai... ah entahlah. Aku selalu sulit mengingat nama.

"Aku bisa menyiapkan sendiri." selaku. "Cukup Dhayu saja yang membantuku."

Papa melihatku kebingungan, lalu berkata, "Baiklah kalau begitu." dia tidak memaksa. Sepertinya gadis ini cukup dimanjakan ayahnya. "Katakan saja apa yang kau butuhkan."

Tidak ada gaun yang sesuai dengan seleraku. Semua terlalu berenda. Terlalu ramai. Tapi mode memang seperti itu kata mereka. Aku hampir tidak pernah memakai rok dalam hidupku, sebelumnya. Tapi kali ini, seluruh almari pakaian hanya berisi gaun dan tentunya penuh renda-renda dan pita-pita.

Dhayu membantuku memakai gaunku yang baru saja sampai. Warnanya adalah warna kesukaanku. Biru terang. Dengan pita berwarna senada. Bentuk pakaian tak tak pernah kupikirkan untuk kugunakan. Aku bahkan biasa memakai celana panjang saat pesta. Gaun ini mirip gaun-gaun princess di film-film disney.

Dhayu menbawa seorang wanita paruh baya untuk menyanggul rambutku dan mendandani wajahku.

Aku masih setuju saat rambutku disanggul tinggi dengan aksesoris yang rumit. Dengan segera memberi make up ke wajahku. Aku merasa seperti boneka mainan. Dhatu membawa sepatu bertumit dengan pita diujungnya. Lalu memasangkan ke kakiku.

Perfect!

Seru mereka.

Aku melihat ke cermin dan terbelalak. Mereka mengatakan sempurna? Yang kulihat aku mirip hantu jepang. Bedak yang terlalu putih dengan perona pipi yang sangat merah.

Mengerikan!

Aku meminta mereka berdua keluar dari kamarku dan dengan segera kuhapus make up itu.

Flawless, mungkin tidak dikenal diera ini. Tapi untuk seseorang yang jarang berdandan sepertiku, itu yang terbaik.

Saat aku keluar dari kamarku Dhayu dan wanita itu masih berdiri didepan kamarku. Giliran mereka yang tampak terkejut.

"Noni! Make up anda?" Dhayu tampak dengan apa yang aku lakukan dengan wajahku.

"Aku suka yang seperti ini." kataku sebelum wanita itu berkomentar apapun.

Wanita itu sama-sama orang Jawa seperti Dhayu. Tapi dia memakai rok sepertiku. Sedang Dhayu selalu memakai kain yang dililit yang dia sebut sebagai jarit dan atasan yang warnanya selalu kusam.

"Dhayu kau ganti baju juga. Kau ikut aku."

"Noni itu tidak boleh. Dhayu tidak boleh ikut di pesta."

Aku tetap memaksa. Dengan tetap menggunakan pakaiannya aku menyeretnya masuk ke dalam kereta. Sebelumnya dia bilang akan berdiri di belakang kereta.

Apa itu masuk akal? pikirku.

Tentu saja aku akhirnya menyeretnya masuk kedalam kereta bersamaku.

Lampu-lampu diatur dengan indah. Lodji itu tampak hebat, karena bangunan yang lain terlalu gelap. Ramai sekali.

Sial! Aku tidak terlalu menyukai keramaian seperti ini. Papa sudah lebih dulu sampai dan menungguku. Dia segera memapahku turun dari kereta. Dia terkejut melihat Dhayu ada didalam kereta bersamaku.

"Aku membawanya. Aku khawatir nanti aku butuh dia disini." Aku segera memberikan penjelasan sebelum Papa bertanya. Tapi kelihatan bahwa dia tidak senang Dhayu ada didalam kereta bersamaku.

"Dia tidak boleh masuk." Papa van Jurrien segera memberitahuku.

Ingin aku menolaknya. Aku tidak nyaman dengan orang asing. Dan Papa van Jurrien juga masih asing bagiku.

"Dhayu jangan kemana-mana." ujarku memgingatkannya.

Didalam ruangan banyak berisi orang-orang baik pribumi maupun yang sepertiku. Mereka yang diundang dalam pesta semacam ini tentunya bukan pribumi sembarangan. Mereka pasti yang disebut Dhayu sebagai para pyai atau keturunan raja.

Papa memperkenalkanku kepada teman-temannya. Kepada gadis-gadis Belanda yang seusiaku. Papa tentu berharap aku segera memiliki teman disini.

Setahuku perjalanan dari Eropa ke Batavia memakan waktu hampir sepuluh bulan. Aku tidak habis pikir, bagaimana gadis van Jurrien ini bisa bertahan dengan perjalanan selama itu.

"Lihatlah para perwira muda itu." ujar Papa sambil menaikkan dagunya memberi isyarat menunjuk suatu tempat dimana ada beberapa lelaki muda berkumpul. "Kali ini tidak ada yang memaksamu. Kamu pilih saja sesuai yang kamu inginkan."

Apa maksudnya? Apa aku disuruh memilih calon suami? Oh, tidak! Bukankah aku masih terlalu muda untuk menikah?

"Hai!" tiba-tiba seorang gadis menyapaku. Rambutnya sewarna rambut jagung. Dia sepertinya mengenalku.

Aku memandangnya dengan bingung. Aku benar-benar tidak mengenalnya. Siapa dia? Dan dimana aku mengenalnya?

Dia melihat kebingungan dimataku. Senyumnya langsung hilang dari wajahnya.

"Kau lupa denganku? Benarkah?"

Apa yang harus aku jelaskan?

"Aahh... aku terjatuh beberapa waktu lalu. Dan kepalaku terbentur. Jadi ada hal-hal yang terlupakan."

Matanya membulat menatapku dan mulutnya melengkung membentuk huruf O.

"Maukah kau membantuku mengingatnya? Aku minta maaf."

Wajahnya menunjukkan keprihatinan, "Tentu.. tentu saja. Apakah kamu sekarang baik-baik saja?"

Aku mengangguk-angguk.

Gadis itu bernama Pauliene. Tubuhnya berisi. Wajahnya bulat dan cantik. Wajahnya kemerahan.

Batavia sangat panas, tentu saja kita semua yang terbiasa hidup di Eropa selalu merasa gerah dengan suhu tropis.

Kita bersama diatas kapal. Dia bersama keluarganya ke Batavia. Ayahnya adalah pejabat Kerajaan Inggris. Aku baru tahu bahwa gadis van Jurrien ini tidak berangkat dari Belanda, melainkan dari London, Inggris.

Dia bercerita tentang perjalanannya dan bagaimana mereka setiap pagi selalu mengintip para kelasi muda.

"Apa kau benar-benar lupa?" tanyanya lagi

Aku sekali lagi hanya mengangguk.

"Aku tadi bertemu dengan salah satu dari mereka. Dia ada disini." ceritanya dengan penuh semangat. "Itu... itu" tunjuknya ke salah satu sudut dimana berdiri beberapa pria muda. Tidak ada yang menarik diantara mereka. Bahkan, Hansen mantanku masih lebih menarik daripada mereka.

Selanjutnya dia bercerita tentang berbagai hal yang aku sulit untuk pahami. Dia bahkan tidak peduli aku hanya menanggapinya dengan diam.

"Ah.. ayahku memanggilku. Aku pergi dulu, ya? " ujarnya sebelum melesat pergi

Aku berjalan berkeliling sendiri. Beberapa gadis memandangiku dengan tatapan aneh. Ada pria-pria muda yang mencoba mengajakku bicara, tapi aku terlalu malas untuk merespon mereka.

Aku terus berjalan sambil membawa minumanku melewati kelompok pria berpakaian pribumi. Tampak salah seorang dari mereka sedang berbicara dengan dua orang berpakaian prajurit kumpeni.

Aku bisa melihat seorang pria muda dibelakang pria itu memandangiku.

Apa dia juga mengenalku?

Sesaat aku memandangnya. Tubuhnya cukup tinggi untuk kaum inlanders (begitulah Papa menyebut mereka). Hidungnya bertengger sempurna. Bibirnya tipis dan tatapan matanya begitu tajam. Keseluruhan wajahnya sangat tampan.

Aku tidak dapat memahami makna tatapannya. Aku bahkan mencari-cari apakah ada yang salah denganku.

Aku segera berbalik menuju ke tempat makanan ringan.

Tiba-tiba suara seseorang memanggil mengejutkanku, "Goede nacht, Noni."

Aku segera berbalik dan melihat pria tampan itu berdiri tepat dihadapanku. Aku menelan ludahku karena gugup. Sosok itu begitu dominan. Pengucapan bahasanya sangat baik. Kelihatannya dia fasih berbahasa Belanda.

"Apakah anda sudah sehat?"

Aku tidak memahami pertanyaannya. Untuk apa dia ingin mengetahui tentang kesehatanku. Memangnya siapa dia?

"vergeef me, apakah saya mengenal anda?"

"Mungkin tidak." jawabnya ringan. "Saya hanya tahu anda berada di dalam air cukup lama." lanjutnya sambil tersenyum mengejek.

Aku ingat kata Dhayu seorang pemuda pribumi yang telah menolongku.

Apakah pria ini?

"Apakah anda yang menolong saya?" tanyaku