webnovel

JEJAK WAKTU

Margaret gadis muda keturunan Indo-Belanda. Pulang ke Indonesia karena pesan terakhir dari neneknya. Pesan neneknya menuntunnya ke sebuah mansion tua milik leluhurnya. Dia menemukan buku harian dari seorang wanita bernama sama dengan dirinya, yang ditulis 200 tahun silam. Kisah dalam buku harian itu begitu tragis. Hatinya terasa sakit. Tanpa sadar air matanya bercucuran. Saat air mata itu jatuh mengenai buku harian itu, tiba-tiba dia merasa kepalanya sakit luar biasa dan kemudian dia jatuh pingsan. Saat terbangun dia masih berada di ruangan yang sama tapi dalam suasana yang sangat berbeda....... Ini bukan dunia yang dikenalnya.

Nice_D · General
Not enough ratings
96 Chs

BAB 2 SEBERKAS RASA

"Bisa dikatakan begitu." jawabnya.

Nadanya begitu sombong.

"Kalau begitu saya ucapkan terimakasih." ujarku sambil menundukkan badanku kepadanya memberi hormat.

"Syukurlah anda sudah sehat." lalu dia segera berbalik dan pergi begitu saja.

What!!!

Bahkan dia tidak menanggapiku yang mencoba bersikap sopan kepadanya. Dia memang tampan. Tapi sikapnya memuakkan.

Dia pasti pria kaya yang biasa dikejar-kejar para gadis. Jika ini era modern aku yakin dia sudah cukup modal untuk menjadi foto model atau artis.

Aku cukup kesal.

Tapi mulutku tidak sepakat dengan emosiku, malah justru memanggilnya

"Tunggu!"

Dia berhenti berjalan dan berbalik memandangku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Pikiranku tiba-tiba kosong.

Dia menungguku. Wajahnya datar. Tidak ada senyuman, tidak pula tampak kesal.

"Ya?" setelah dia menunggu beberapa lama dan aku masih terdiam.

"Namaku Margaret. Margaret van Jurrien!"

Sial! Kenapa pula aku yang justru memperkenalkan diri. Ingin rasanya menampar mulutku sendiri.

Ada sedikit senyum di sudut bibirnya.

"Akan kuingat." balasnya. Hanya itu dan dia kembali berjalan kembali ke kelompoknya.

Setelah itu Papa menemukanku dan segera memperkenalkan kepada beberapa orang yang lain, hingga akhirnya sampai pada kelompok inlanders. Salah seorang pria diperkenalkan sebagai pangeran dari Surakarta. Dan pria itu diperkenalkan sebagai Raden Mas Arya bla.. bla.. bla.. sulit sekali mengingat nama panjangnya.

"Miss van Jurrien." sapanya sopan sambil menundukkan kepalanya. Tidak ada sikap sombong seperti yang sebelumnya diperlihatkan kepadaku.

Obrolan papa dengan orang-orang di pesta sama sekali tidak aku pahami. Hanya sesekali dia bertanya, apakah ada pria yang menurutku menarik? Dan aku menjawab dengan gelengan kepala. Tidak ada yang menarik, kecuali pria itu. Tapi aku tentu saja tidak akan mengatakan hal itu kepada Papa. Bisa saja Papa muntah darah karena marah.

Aku tidak terlalu menikmati pesta. Aku segera mencari pintu untuk kabur.

Aku menatap langit malam dari sebuah teras yang ditata apik dengan bunga-bunga. Langit lebih jernih dari yang pernah kuingat. Bintang-bintang bersinar lebih terang. Langit bulan Juli di Batavia tampak begitu jernih.

"Apakah menyenangkan menikmati sesuatu sendirian seperti ini?" tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku.

"Oh, Tuan Raden.. ah, maaf saya tidak tahu bagaimana harus memanggil anda." ucapku tergagap

"Aryo, itu saja, Nona van Jurrien." katanya sambil tersenyum. Wajahnya semakin tampak indah dalam pantulan cahaya malam. Otot rahangnya tampak kokoh, dengan sedikit lesung di pipinya. Aku segera mengalihkan pandanganku, khawatir dia akan menyadari bahwa aku kagum dengan ketampanannya.

"Kau tahu, langit disini lebih jernih. Disini tidak banyak polusi. 200 tahun lagi langit tidak akan seindah ini." kataku menghilangkan kecanggungan.

Dia terkekeh, "Apakah kita bisa hidup selama itu?"

Ah, ya.. ya. Tentu saja. Mana ada manusia yang berusia 200 tahun.

"Aku hanya menebak saja. Suatu saat teknologi akan berkembang. Akan banyak perubahan. Kita akan berjalan semakin cepat..." aku berhenti berbicara. Kupikir aku sudah terlalu banyak bicara. Tidak sepertiku biasanya. Untuk apa aku menjelaskan hal itu kepada pria ini?

Dia memperhatikanku dengan wajah penasaran

"Anda tidak seperti wanita-wanita Eropa yang lain." Dia berkata sambil menjejajarkan tubuhnya berdiri disampingku. Kepalanya tengadah menatap langit malam. "Aku dengar Eropa sedang tidak dalam keadaan baik."

Aku harus mengingatnya. Tahun 1797. Apa yang terjadi di Belanda. Mengapa aku berada di Inggris?

"Iya." jawabku singkat pada akhirnya. "Karenanya aku menyusul papa." lanjutku.

Dia menoleh sebentar kearahku lalu kembali menengadahkan wajahnya ke langit.

"Andai saja bumi ini setenang langit. Tidak ada orang-orang yang haus kekuasaan dan kekayaan... " kata-katanya hilang begitu saja seakan sedang berbicara dengan diri sendiri.

Aku melihat kearahnya. Pandangannya meredup seakan mengatakan sesuatu yang menyedihkan. "Seandainya bangsa anda lebih menghargai kami." sambungnya.

Kemudian dia menoleh kepadaku. Wajah kami terlalu dekat. Dia segera mundur dengan canggung dan mengalihkan pandangannya.

Aku beberapa kali menelan ludahku sendiri. Walau sekilas, aku dapat melihat, matanya indah sekali, hitam dan dalam.

Untuk beberapa lama kita saling diam. Rasanya canggung sekali. Akhirnya aku mencoba untuk berbicara.

"Mis... "

"Non... "

Kita justru berbicara secara bersamaan dan langsung terdiam bersama-sama sebelum menyelesaikan kata-kata kita.

"Tuan dulu silahkan..." ujarku mempersilahkan.

"Tidak apa." katanya, "Tidak ada yang penting."

Senyum itu kembali muncul di sudut bibirnya, walau sekejap saja.

"Baiklah." kataku dan tersenyum untuk membalas senyumannya. "Menurutku disini sangat indah. Tijgersgracht mengingatkanku pada Venesia. Lihatlah.... "ujarku menunjuk ke deretan rumah mewah di tepian sungai. "Dan itu... perahu-perahu kecil yang indah." aku bercerita dengan senang.

Seingatku, aku jarang banyak bicara dengan orang lain. Hal itu hanya aku lakukan dengan nenekku saja. Kali ini berbicara dengan pria ini di tempat yang asing ini cukup membuatku nyaman. Terkadang dia hanya diam. Tapi terkadang dia giliran bercerita tentang sesuatu. Ada saatnya kami berdua benar-benar diam. Tapi aku tetap merasa nyaman.

"Miss van Jurrien, mungkin anda belum melihat sisi lain dari kota ini. Ada bagian kota ini yang penuh dengan kekumuhan. Tidak ada keindahan seperti disini." ujarnya sambil menatap mataku. Pandangannya redup seakan penuh luka.

Aku melihatnya dengan senyum lebar, "Itu berarti kapan-kapan tuan harus mengantar saya untuk melihat-lihat kota ini."

Dia menggelengkan kepala, "Tidak... saya juga seorang tamu disini. Bulan depan saya harus kembali ke Surakarta."

"Oh begitu."

"Sudah berapa lama Miss van Jurrien tiba di Batavia?"

"Emm.. sekitar dua bulan yang lalu. Karenanya aku belum banyak mengenal orang-orang disini." keluhku.

"Iya. Saya sering berkunjung kesini dan baru saat Noni jatuh ke sungai itulah saya bertemu dengan anda." katanya.

Aku tertawa, "Lupakan hal memalukan itu." kataku. "Batavia... aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa aku akan sampai disini."

Aku bahkan tidak pernah membayangkan aku dapat melihat kota Jakarta dalam bentuk lampaunya. Dan yang sekarang menjadi permasalahan terberatku adalah bagaimana agar aku dapat kembali ke duniaku. Ini sangat tidak masuk akal. Aku benar-benar yakin bahwa aku bukanlah gadis van Jurrien. Gadis ini adalah nenek buyutku. Bagaimana mungkin aku berada disini. Bahkan nama belakang nenekku sudah bukan lagi van Jurrien. "Apa tuan tahu, bahwa Batavia sendiri sebenarnya adalah nama salah satu suku kuno pada zaman Kekaisaran Romawi."

Dia menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tapi saya pernah membaca tentang Kekaisaran Romawi." Sambungnya, "Berapa lama perjalanan Noni?"

Aku hampir saja mengatakan sekitar lima belas sampai enam belas jam.

"Delapan bulan an, mungkin. Kapal kami cukup bagus. Jadi perjalanan bisa lebih cepat."

Seandainya terusan Suez sudah dibuka bahkan perjalan hanya akan memakan waktu beberapa minggu.

Kami saling berbagi cerita yang kita pahami. Dia adalah orang pribumi, tetapi pemikirannya sangat terbuka. Dia teman bicara yang menyenangkan.

Ini sudah larut. Saya permisi dulu." katanya.

"Eemm aku sepertinya juga akan pulang. Aku tidak terlalu menyukai pesta."

"Senang berkenalan dengan Noni." ujarnya sambil menganggukkan kepalanya.

Aku berpikir bahwa pria itu akan menjabat tanganku, lalu mencium punggung tanganku, seperti yang biasa dilakukan pria-pria didalam film-film. Tapi ternyata dia hanya membungkukkan badannya. Kita masuk kembali ke ruangan besar itu dan kemudian berpisah. Aku melihat dia langsung menuju ke pintu keluar dan dibelakangnya diikuti dua orang pria yang berpakaian serupa dengannya.

Setelah menemui Papa, aku segera keluar. Kulihat Dhayu didekat pintu keluar. Dan segera bangun menyambutku. Wajahnya tampak senang sekali. Padahal jika itu aku, harus menunggu sekian jam tanpa melakukan apapun, aku akan mati karena bosan. Tidak ada game, tidak ada internet... Saat inipun aku sudah sering merasa bosan. Aku terbiasa dengan google map dan translate. Sekarang benar-benar harus mengandalkan intuisiku.

Aku tidak melihat pria itu lagi, mungkin dia sudah pergi. Aku sangat berharap kita akan bertemu kembali.

"Noni!" sapa Dhayu senang. Giginya yang berderet rapi ditunjukkan kepadaku. "Apa Noni tahu, banyak pemuda yang membicarakan Noni. Mereka bilang Noni paling cantik. Wah, sepertinya noni akan segera menikah."

"Apa-apaan kamu?!" cercaku. "Memangnya aku akan langsung mau?"

"Apa tidak ada yang Noni suka?"

Aku menggeleng. Ingin aku katakan bahwa ada yang kusuka, seorang ningrat Jawa. Tapi kalimat itu tidak pernah keluar dari mulutku.

Malam itu aku memimpikannya. Sesuatu yang tidak pernah kuharapkan. Aku bahkan baru mengenalnya hari ini, tapi entah kenapa ada perasaan yang sulit kupahami. Aku merasa seakan-akan sudah lama mengenalnya. Ada rasa dekat dan akrab yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Hari berikutnya, aku benar-benar ingin mengelilingi kota ini. Dhayu menolaknya. Dia memberitahuku bahwa itu tidak aman. Apalagi aku hanya ingin pergi berdua bersamanya. Dia masih merasa trauma saat aku terpeleset di sungai Tji Liwung tempo hari.

Aku kesal sekali. Tidak ada pakaian yang cocok untuk kupakai berkeliaran. Aku ingin meminjam celana milik Suto, seorang budak pria. Tapi masih terlalu besar dan Dhayu selalu mengatakan 'tidak pantas' berulang kali.

Suatu sore aku putuskan untuk kabur dari rumah. Saat itu Papa sedang di luar kota, dan akan kembali minggu depannya.

Aku melewati beberapa budak yang sedang membersihkan halaman. Penjaga sedang bermain kartu di pos mereka. Aku segera melesat. Aku hanya berpikir bahwa aku akan kembali sebelum gelap.

Suasana sore sangat indah. Bahkan lebih indah dari saat pertama aku turun dari pesawat.

Orang-orang memandangiku sepanjang jalan.

Apakah aku tampak seaneh itu?

Kota kecil ini berada dalam sebuah benteng. Aku mendengar bahwa terjadi wabah malaria di kota ini. Banyak orang-orang yang mulai membuat rumah diluar benteng. Aku melewati pasar. Lalu beberapa bangunan semacam perkantoran. Banyak pria-pria berlalu lalang. Sekali lagi mereka memandangiku. Beberapa orang bahkan mengikutiku.

Sampai aku melihat pria itu lagi, keluar dari dokarnya. Pakaiannya masih seperti sebelumnya, kain batik berwarna terang dililitkan dibagian bawah dan baju atasan berwarna lebih gelap. Dia tidak melihatku. Ada seorang pria paruh baya bertubuh gemuk dengan rambut penuh uban menyambutnya. Lalu pria itu kembali akan menaiki dokarnya.

Aku terus berjalan mendekatinya. Dia melihatku. Aku tersenyum.

Dia menatapku penuh tanda tanya.

"Hai!" sapaku.

Pria paruh baya itu memandangiku dengan heran.

"Miss van Jurrien? Apa yang anda lakukan disini? Apakah anda sendirian?"

Aku mengangguk dengan penuh semangat. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya.

"Bagaimana anda bisa sampai sini?" tanyanya lagi

"Wandelen"

"Berjalan kaki?" tanyanya tidak percaya, "Anda benar-benar gadis... "

Dia menggelengkan kepalanya.

"Apakah Raden juga mengenalnya?" tanya pria gendut itu kepadanya.

"Ya, kami berkenalan di pesta tempo hari." jawabnya kepada pria itu

Aku tersenyum kepada mereka.

"Goede middag, mevrouw!" pria gendut itu mencium punggung tanganku.

Aku terkejut dan segera menarik tanganku.

"Noni akan kemana?" tanya Aryo.

Aku menggelengkan kepala lagi. "Tidak kemana-mana."

Wajahnya berubah dingin. Dan tampak kesal.

"Saya akan mengantar anda kembali. Mari.. " Sebelum aku bisa menolaknya, dia sudah mempersilahkan aku untuk naik di dokarnya. Dia membantuku untuk naik. Ini pertama kali aku bersentuhan dengannya. Tidak seperti wanita yang lain yang suka memakai sarung tangan, aku tidak pernah memakainya. Batavia bukan Eropa yang dingin. Sarung tangan hanya akan membuat tanganku berkeringat dan lengket.

Saat tangannya menyentuhku, ada perasaan aneh yang menjalari tubuhku. Aku yakin wajahku menjadi memerah. Aku segera memalingkan wajahku agar tidak dilihatnya.

Aku memaki diriku sendiri. Ini bukanlah pertama kalinya aku bersentuhan dengan pria. Aku pernah dua kali berpacaran. Tapi bersentuhan dengan pria ini memberikan sensasi yang sangat berbeda.

Setelah berbasa-basi dengan pria gendut itu, dia segera naik ke dalam dokar itu.

Dia memandangku dengan wajah dingin. Tidak ada senyum di wajahnya. Dia membuatku merasa canggung. Aku melihat kebawah, agar tidak bertemu dengan tatapannya yang menakutkan.

Kenapa dia marah kepadaku?

Ini belum terlalu malam. Bukankah itu tidak masalah?

Kita duduk diam untuk beberapa saat. Lalu dia berkata dengan seakan menahan marah, "Hanya wanita publik yang berjalan-jalan sendiri di tempat semacam itu." (#wanita publik=PSK)

Apakah tadi yang kudatangi adalah 'red district'? Apakah disini juga ada tempat semacam itu?

"Aku tidak tahu." jawabku tidak peduli.

"Pantas saja waktu itu noni ada didalam air. Noni benar-benar suka mencari bahaya." ejeknya sambil tersenyum sinis.

"Apa anda menyesal sudah menyelamatkan saya?" tanyaku mencibir.

Dia melihatku dengan kebingungan, lalu menjawab dengan suara yang pelan dan lembut, "Tidak, saya tidak menyesal."

Pandangannya menjadi lembut. Membuatku salah tingkah. Aku yakin wajahku menjadi memerah lagi.

Dia akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia hanya menggelengkan kepalanya.

"Saya belum pernah bertemu gadis seperti anda."

"Saya juga tidak pernah bertemu pria seperti anda, Tuan."

Dia tertawa. Tangannya menepuk pelan kepalaku seakan aku adalah anak kecil yang bandel.

Aku memberengut melihatnya.

"Tahukah anda, bahwa anda sangat cantik?" tanyanya kepadaku sambil menatapku dengan lembut.

Aku menelan ludahku dengan gugup. Apakah ini sebuah pernyataan? Jantungku berdegub kencang. Sampai-sampai khawatir dia akan mendengarnya.

"Anda harus lebih berhati-hati, Noni." katanya lagi. "Tidak banyak wanita Belanda disini. Pasti banyak pria yang menyukai anda."

"Apakah tuan juga menyukai saya?"

Dia tampak sangat terkejut dengan pertanyaanku dan memandangku dengan diam untuk beberapa saat.

"Setiap pria menyukai wanita cantik." katanya kemudian sambil mengalihkan pandangannya keluar jendela dokar kita.

"Itu tidak menjawab pertanyaanku." kataku bersikeras.

Dia melihatku lagi dan menjawab dengan lirih, "Noni bukan seseorang yang bisa saya sukai."

Kenapa? Kenapa harus bisa dan tidak bisa?

"waarom niet?" tanyaku

Dia hanya menggelengkan kepalanya dan menepuk dahiku pelan. Dia tersenyum. Senyuman yang indah. Akankah aku bisa melihat senyuman itu lagi?

"Nah, ini sudah sampai. Saya hanya bisa mengantar sampai disini."

"Baiklah. Terimakasih. "