webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horror
Not enough ratings
16 Chs

Bab 11.

"Aku benci kalian berdua," ujarku sinis, berusaha melepaskan dari cengkeraman Dika dan Riko.

Riko memberikan cengiran, terlihat bersalah.

"Maaf, Al, sebentar lagi kami lepaskan, kok."

Memang itu intinya?

Aku tak menjawab dan melihat Dika yang menyeretku di sisi sebelah kanan sambil bersiul senang.

Beberapa menit yang lalu, aku yang menghalangi pintu rumah agar mereka tidak masuk.

Tanpa terduga, Dika dan Riko menabrakku berbarengan, dan entah tangan siapa, menutup mulutku agar aku tidak berteriak.

Aku tidak bisa menoleh kebelakang, tapi salah satu dari mereka berdua pasti ada yang membuka pintu masuk yang tak terkunci.

Dan mereka berdua dengan kompaknya menyeretku masuk ke dalam rumahku sendiri. Seperti adegan penculikan.

Konyol sekali aku diculik di rumah sendiri.

"Oi, Dika, kapan Aldi mau dilepasin?"

"Ah," Dika yang tampaknya fokus dengan jalan menuju ruang tamu, menoleh ke arah Riko dan aku, kemudian dia tersenyum. "Kita lepaskan begitu sudah sampai kamar tempat dimana Melisa menghilang."

Badanku langsung kaku.

"A... Apa? Dika kamu pasti bercanda."

Sekuat tenaga aku memberontak dari belitan mereka yang melingkari kedua lenganku.

"Ini beresiko, Dika," bisik Riko agak ragu. "Gimana kalau kejadian kedua terulang? Penasaran kamu seharusnya enggak membawa bahaya kan?"

"Lepas! Lepasin! Aku pukul kalian semua! Lihat saja!" Teriakku sembari mulai menendang kaki Dika dan Riko. Namun, mereka berdua berhasil mengelak.

Dengan marah kutatap Riko.

"Kamu saudaraku kan? Lepasin tangan aku, Riko. Kamu tahu itu berbahaya!"

Namun, Dika dan Riko tidak mendengarkan aku.

Brengsek!

Pasti dari Riko, Dika tahu kamar lamaku. Dari ruang TV, Dika menyeretku berbelok ke kiri dan Riko mengikuti sembari tetap memegangi agar aku tidak bisa kabur.

Pengkhianat ini si Riko!

"Kamu dikasih apa sampai nurut sama orang luar begitu?" pancingku. "Jadi, itu keputusan kamu, Riko. Lebih memilih pertemanan daripada tabu di daerah kita?"

Riko tersentak, tapi tidak menjawab. Sedari awal aku mengajak bicara Riko, dia sama sekali tidak memandangku.

"Kamu sialan, Riko," desisku, kesal. "Sudah tahu itu tabu, tapi kamu masih mau melanggarnya."

Baik Dika maupun Riko tidak menjawab perkataanku. Mereka berdua terus saja menyeretku menuju kamar lama yang sudah tidak kugunakan lagi sejak menghilangnya Melisa.

Aku sudah memberontak dan berusaha bertahan untuk tidak dibawa ke ruangan yang membuatku bermimpi buruk itu. Sekuat tenaga yang kubisa.

Tapi tak berhasil.

Sembari menahan dengan satu tangan, Riko mengulurkan tangan untuk membuka kamar lama tersebut. Sementara, Dika menahan aku agar tidak bisa kabur.

Mereka berdua benar-benar sialan!

Ketika pintu berhasil terbuka. Tanpa banyak bicara Dika mendorongku masuk ke dalam, hingga aku nyaris menabrak tembok kamar lamaku itu.

Mereka berdua masuk setelah aku, dan kemudian menutup pintu.

Dika dan Riko melihat sekeliling, dan menatapku. Wajah mereka berdua datar.

"Kita ngelakuin ini, supaya kamu enggak terbawa ketakutan yang telah berlalu," jelas Dika dengan nada bijak, terlalu munafik menurutku hingga membuatku muak.

"Enggak perlu. Kalian enggak melanggar tabu saja, aku sudah bersyukur."

"Yah..." Dika menghela nafas dan menunduk. "Tapi, aku penasaran. Jadi, kalian temanin aku ya?" Dika mendongak menatapku, kemudian senyum dingin di bibirnya tersungging dengan jelas.

Perasaan merinding itu membuncah menjalari sekujur tubuhku.

Tidak mungkin... Dika tidak mungkin sebodoh itu ...

"Tolong! Ayah, tolong kebakaran!" Teriak Dika.

Dika mulai permainan 'minta tolong' yang terkenal tabu di daerahku!

"Panas, Ayah! Aduuh! Tolong!"

"Berhenti, Dika!" Sentakku. "Jangan Tolol!"

Aku berlari menuju Dika, tapi ditahan oleh Riko yang berdiri di samping Dika.

Kutatap Riko yang seolah membela Dika.

"Maaf," ujar Riko kepadaku, dia tidak berani menatap mataku. "Aku juga ingin tahu apa legenda itu benar atau hanya sekedar 'ketakutan' saja."

"Kenapa harus di rumahku, Riko?" Ratapku. "Kenapa harus aku? Kita saudara, Riko. Aku yang selalu kamu cari kalau kamu ketakutan, aku yang kamu cari kalau kamu sedih. Kenapa, Riko?"

"Tolong, Ayah! Panas sekali! Tolong keluarkan dari sini!"

"Diam kamu, Dika!"

Aku berusaha berkelit dari Riko agar bisa memukul Dika yang terus saja berteriak.

Badanku sudah bebas dari cengkeraman tangan Riko, dan langsung bergegas ke Dika yang berdiri di depan pintu.

Booom!

Ada suara keras yang tiba-tiba datang dan mengagetkan kami.

Srek... Srek... Srek...

Tak lama, bunyi kaki yang diseret menuju kamar lama semakin dekat. Diiringi bau daging hangus yang membuat kami susah bernapas.

Hufft... Hufft...

Suara tarikan nafas yang besar, seolah orang yang berada di luar pintu kamarku, sedang sesak nafas.

Bau daging hangus itu semakin dekat.

Tok... Tok...

Ketukan pelan terdengar di depan pintu kamar lamaku.

Hufft... Hufft...

Diiringi tarikan napas yang berat.

Pintu kamar lama yang berisikan aku, Dika dan Riko. Tak ada orang lain di rumah ini, selain kami bertiga.

Berarti...

Orang yang dibalik pintu itu...

Wajah Dika dan Riko berubah pucat.

"Ayah?" panggil Dika pelan.

"Heeeemmmm," erangan kasar menjawab perkataan Dika. "Hufft...Hufft..." suara nafas berat itu kembali terdengar.

Tok... Tok... Tok...

Dika terkesiap, dan tak bersuara lagi. Keringat dingin keluar dari badannya.

Tok... Tok... Tok...

Bau daging hangus itu semakin kuat, seakan menyelimuti ruangan yang aku, Dika, dan Riko tempati.

Tidak ada satu pun dari kami yang bersuara.

Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan berirama pelan, kembali terdengar.

Riko terbatuk keras, tidak kuat mencium bau tidak enak yang menyengat.

"Apa kubilang!" Teriakku, "Kenapa kalian susah sekali dibilang? Kalau sudah seperti ini, kalian mau bagaimana?"

Tok... Tok... Brak!

Ketukan di pintu itu berubah menjadi dobrakan pintu.

"Hemmm..." erangan kasar itu berubah menjadi geraman keras. "Hemmmmm!!"

Selain bau daging hangus yang mulai menyelimuti ruangan, entah kenapa panas secara perlahan mulai masuk ke dalam tempat kami.

Dika yang paling dekat pintu, dan ketika mahluk itu berusaha memaksa masuk pintu, Dika secara refleks menempelkan badannya ke pintu, untuk menghalangi mahluk itu berhasil mendobrak pintu.

"Panas!" Teriak Dika sembari memegangi lengan kirinya yang terasa terbakar.

Dan memang lengan kiri Dika melepuh, seakan lengannya menempel ke tempat yang panas.

"Hemmmmm!" Geraman itu semakin keras. "Hufft... Hufft..."

"Bagaimana ini?" Riko berbisik dan menatap Dika yang kembali berusaha menahan mahluk itu masuk ke dalam ruangan tempat kami berada.

Karena jika mahluk yang bukan manusia itu berhasil masuk, kami semua tidak akan selamat.

Sama seperti Melisa dan kelima temannya.

"Kalian benar-benar bodoh!" Teriakku. "Lihat akibatnya sekarang!"

"Bisa tidak kau mengomel dan lakukan sesuatu, membantuku menahan pintu misalnya," kata Dika, menahan emosi.

"Hemmmmm... Hemmmmm!" Suara geraman keras itu kembali terdengar diiringi dobrakan keras pintu.

Bersambung...