webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Horror
Not enough ratings
16 Chs

Bab 10

Untuk sejenak, ibu tidak menjawab. Namun, tak lama kembali bersuara pelan menjawab perkataan ayah.

"Aldi enggak masak. Dia udah bilang tadi. Enggak mungkin Aldi berbohong," tukas ibu. "Bagaimana ini, Yah? Kenapa bau hangus itu muncul lagi?" Tanya ibu dengan nada gelisah, beliau masih bersuara pelan.

"Tenang, Bu."

Aku tak mendengar gumaman dari dapur. Dan juga aku tak berani mendatangi orang tuaku, lalu menceritakan apa yang terjadi pada waktu siang saat mereka tidak ada. Karena aku juga mencium bau daging hangus dan perasaan mencekam, juga dingin yang menjalar di sekujur tubuh.

Ini bukan hanya ilusi. Karena aku tahu Riko juga mengalaminya, ketika kami sama-sama menatap lorong menuju kamar tidur lamaku, tempat dimana Melisa dan teman-temannya menghilang.

Anehnya, hanya Dika saja yang tidak merasakan perasaan ganjil itu.

Tak berapa lama, ayah dan ibu keluar dari dapur, wajah mereka berdua terlihat tertekan. Tapi, ketika kami bertemu pandang. Ayah dan ibu memberikan senyuman kepadaku, seakan tidak ada yang membuat mereka tertekan.

"Kita makan di luar, yuk." Ajak ibu, terlihat jelas kalau memberikan senyum terpaksa kepadaku. Beliau tampak tertekan, tapi tidak ingin memperlihatkan kepadaku. "Kebetulan Ibu mau makan pecel ayam yang pedas. Kamu mau makan apa?"

Aku menoleh ke arah ayah dan mendapati beliau juga sedang menatapku dengan pandangan serius.

Untuk beberapa saat, aku tidak berbicara. Kemudian, memutuskan untuk jujur.

Kedua orang tuaku, tidak ingin membuatku takut. Bahkan jika ibu yang tidak bisa berbohong, sampai menyembunyikan agar aku tidak ketakutan.

Dan aku juga tidak mengatakan apa yang terjadi pada siang hari, karena aku tidak mau ayah dan ibu terbangun di malam hari dan merasa bersalah kepadaku. Padahal, itu bukan salah ayah dan ibu.

Jadi, di waktu yang singkat, aku memutuskan untuk jujur.

"Ada masalah tentang bau hangus itu kan, Bu?" tanyaku memulai percakapan.

Ibu langsung menatap ayah dengan pandangan bingung juga takut.

Ayah melirik sekilas kepada ibu kemudian memandangku.

"Kenapa kamu menyimpulkan hal itu, Aldi?" tanya ayah kalem.

Aku tidak bisa melihat emosi apa yang ada di dalamnya, sama seperti sebelumnya ketika aku cemas dan ibu khawatir saat tanpa sengaja terlibat dalam kasus hilangnya Melisa, sepupuku. Ayah terlihat tenang dalam menghadapi masalah mendadak seperti sekarang, mengenai bau hangus itu datang kembali.

"Karena..." aku berhenti sejenak dan menelan ludah. Entah kenapa aku merasa tidak enak.

Namun, aku sudah bertekad untuk tidak menyembunyikan.

"Itu yang aku dan Riko rasakan tadi siang."

Ayah dan ibu terkesiap kaget.

"Maaf, Aldi enggak cerita." Ujarku sembari menundukkan kepala. Ibu membelai pelan kepalaku, tanpa banyak bicara, aku mengerti ibu tidak marah kepadaku.

"Kenapa?" tanya ayah setelah menenangkan diri. "Kenapa kamu tidak berbicara sebelumnya?"

"Itu..."

Kutatap wajah ayah dan ibu yang sabar dan dipenuhi gurat halus. Wajah kedua orang tuaku terlihat khawatir.

"Aku tidak mau, ayah dan ibu tidak bisa tidur di malam hari, seperti waktu itu."

Hari dimana Melisa menghilang dan tidak pernah kembali. Kehilangan Melisa diiringi bau daging hangus yang menyebar di seluruh ruangan rumahku hingga menjelang malam. Tidak hanya aku, ayah dan ibu juga nyaris tidak bisa tidur nyenyak selama sebulan. Kedua orang tuaku mencemaskanku dan berusaha melindungiku dari gunjingan tetangga yang menyalahkanku karena dianggap membuat saudara sepupuku dan teman-temannya menghilang.

Aku tidak mau melihat kedua orang tuaku seperti itu lagi. Ayah dan ibu tidak berbicara, tapi aku bisa melihatnya.

"Aldi," ujar ibu pelan, sembari memelukku.

Ayah tak berbicara banyak, hanya duduk di samping dan menepuk pundakku pelan.

Kutatap mata ayah yang sedang memperhatikan aku. Beliau tersenyum tipis.

"Tenang, Aldi, semua akan baik-baik saja." Kata ayah.

***

Pagi menjelang, seperti biasa, ayah dan ibu berangkat bekerja. Dan baru kusadari tatapan mereka ketika ayah dan ibu sudah duduk di mobil. Mata mereka terlihat cemas dan gelisah yang hampir tidak bisa ditutupi.

"Jangan pergi kemana-mana, Aldi," pesan ibu tegas. "Kalaupun nanti kamu diajak pergi sama Riko atau yang lainnya, tolak saja! Bilang ibu tidak mengizinkan."

Ayah menoleh ke ibu dengan pandangan aneh.

"Aldi sudah besar. Sudah 17 tahun, aneh kalau alasan menolak pergi, ibu enggak mengizinkan."

Ibu mendengus dan memalingkan wajah.

Ayah menggelengkan kepala dan memandangku yang berdiri di samping mobil, ayah sudah duduk di kursi kemudi.

"Apa yang ibu kamu pinta, tolong kerjakan. Jangan pergi kemana-mana. Kami khawatir. Kamu mengerti kan, Al?"

"Ya, Ayah."

Setelah mengucapkan beberapa kata lagi untukku, ayah dan ibu pergi. Meninggalkan aku sendiri di rumah.

***

Aku baru teringat, kalau sepertinya Riko mengajakku pergi berenang. Tapi, mengingat betapa serius dan cemasnya ayah dan ibu, aku hanya bisa membatalkan.

Lagipula, aku sudah diwanti-wanti agar tidak pergi kemana-mana hari ini.

Meski tidak berbicara atau menghubungiku bahwa Riko dan Dika akan pergi ke rumah. Aku sudah punya firasat mereka berdua pasti akan ke sini.

Ternyata dugaanku bisa tepat juga.

Jam 8 pagi, satu jam setelah kedua orang tuaku berangkat kerja, Riko dan Dika datang ke rumah. Ketika aku membuka pintu, mereka berdua memberikan senyuman lebar kepadaku.

"Hai!" Sapa Dika, sembari tersenyum kecil.

"Kita ganggu enggak?" tanya Riko.

"Kalau aku jujur jawabnya, kamu marah enggak?" tanyaku balik.

Riko memperhatikan raut wajahku. Dan menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, jangan jujur."

Aku tersenyum mengejek ke arah Riko.

"Kita boleh masuk kan?" selak Dika.

Aku tak menjawab pertanyaan dari Dika. Sebaliknya, aku balik menatap dingin Dika.

Sedari awal, jika boleh jujur, aku tidak menyukai Dika.

Bukan karena dia terlalu ingin tahu. Wajar bagi manusia jika punya rasa ingin tahu. Hanya...

Aku berusaha keras mencari jawaban kenapa aku sebal dan tak ingin berteman ke Dika, hanya saja, aku tak menemukan jawaban yang tepat untuk membenci Dika.

Pokoknya, benci.

Dan, aku tak berniat menjadi temannya.

Maka dari itu, aku merasa dikhianati karena Riko yang biasanya dekat denganku, berubah menjadi di pihak Dika.

Oke, aku tahu itu kekanak-kanakkan. Tapi bagaimana lagi?

"Al, Dika nanya tuh. Kenapa enggak jawab?" tanya Riko.

"Diam."

Aku memelototi Riko.

"Enggak usah khawatir, Riko, aku belum tuli. Memang aku enggak mau dia masuk ke dalam rumah."

"Aldi!" Sentak Riko, tidak terima. "Kamu kenapa sih? Lagi sensi nih ceritanya?"

Aku melipat kedua tanganku di depan dada.

"Terserah mau ngomong apa. Hari ini, aku enggak berniat membuka pintu untuk tamu."

Riko melirik ke arah Dika. Mereka berdua saling bertatapan.

"Rencana B?"

"Enggak ada pilihan," desah Dika, dengan muka menyesal. "Padahal aku enggak suka kekerasan."

Bersambung...