webnovel

Tidak Ada Lagi Kesedihan

Andini merasa suasananya agak aneh. Setelah Aryo menyampaikan kata-kata Wira, Mia tidak bergerak. Jemarinya hanya terus mengusap cangkirnya dengan lembut. Matanya tertuju pada teh di dalamnya, seolah dia tidak mendengar kata-kata Aryo, namun sebenarnya dia hanya sedang berpikir.

Suasananya agak kaku. Aryo tidak berkata apa-apa untuk memecahnya, dan Andini tidak tahu apa yang dipikirkan Mia, jadi dia hanya bisa menarik-narik tepian pakaiannya pelan dan menatap Mia....

Mia mendongakkan kepalanya, menyembunyikan semua emosi di matanya. "Oke." Dia tersenyum kecil dan bangkit dari kursi, mengisyaratkan kepada Andini agar menunggunya di sana.

Andini mengangguk dan menatapnya lega.

Aryo membawa Mia keluar dari ruang rapat dan berjalan menuju ruangan Wira. Sambil berjalan, dia berkata, "Mia, kalau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja, ya?"

"Oke." Mia tersenyum. "Bagaimanapun juga, kepuasan klien selalu menjadi prinsip Berlian."

"...." Aryo tersenyum canggung, lalu diam-diam menghela napas lega. Dia lantas mengetuk pintu ruangan Wira tanpa mengatakan apa-apa.

"Masuk."

Suara Wira datang dari dalam, dan Aryo memberi isyarat kepada Mia untuk masuk. "Ini sudah siang. Aku akan mengajak rekanmu makan siang dulu."

Mia merasa sangat tertekan. Sebagai teman Wira, Aryo jelas tahu bahwa mereka berdua tidak akan mungkin menyelesaikan pembicaraan sampai beberapa waktu ke depan.... Dia tidak mungkin membiarkan Andini kelaparan.

Pada saat itu, Mia merasa dia seharusnya tidak mengiyakan permintaan Pak Tahir untuk membawa Andini ke sini. Dia paham betul bahwa, kalau orang itu memaksanya untuk datang, dengan sendirinya orang itu tidak akan memberinya kesempatan untuk menolak.

"Oke, terima kasih," kata Mia pelan.

Aryo tersenyum tanpa mengatakan apa-apa, hanya memberi isyarat kepada Mia untuk masuk. Dia kemudian berbalik dan berjalan kembali menuju ruang rapat.

Mia tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Semua perasaannya bercampur aduk.... Saat dia membuka pintu, hatinya terasa lebih berat.

Wira berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan kedua tangan di dalam saku celananya…. Dia tidak mengerti apakah itu kebetulan atau bukan, tapi pohon yang menghadap ke luar adalah pohon ara.

Saat ini, masa berbunga pohon ara telah lewat, dan pohon yang penuh daun itu hanya meninggalkan kesan menyedihkan setelah bunganya layu.

Saat mendorong pintunya terbuka, Mia sudah berencana membuka pembicaraan, atau bagaimana jika Wira bersikap kaku, dan bagaimana membuatnya diam dan tidak terus bertengkar dengannya…. Namun, yang tidak dia sangka adalah, Wira sedang memandangi pohon ara dari dalam rumah.

"Dalam bahasa bunga, bunga ara berarti awal dari cinta," suara Wira yang bak suara biola perlahan-lahan terdengar. "Pohon ara jenis ini selalu tampak luar biasa. Aku jadi ingin memandanginya kalau sedang mekar."

Mia terdiam. Dia berdiri dengan tenang, memandangi punggung pria itu yang tampak kesepian. Hatinya terasa sakit.

Wira perlahan berbalik, wajah tampannya tenang, tapi mata yang sedalam lautan itu tampak seperti angin badai, mencoba untuk menerobos Mia.

Dia melangkah perlahan, selangkah demi selangkah tanpa terburu-buru.

Tanpa disadarinya, Mia melangkah mundur, tapi di belakangnya ada pintu.... Dia tidak bisa kabur.

"Sehari sebelum kita berpisah, aku menunggumu di bawah pohon ara. Kamu bilang kamu akan menungguku." Suara Wira tenang dan sedih. "Kita sudah berpamitan di bandara saat itu, tapi apa yang terjadi setelahnya? Hanya satu kalimat, 'Ayo putus', lalu tidak ada kabar." Dia mencibir, "Mia, kamu benar-benar kejam!"

Mia mengerjapkan matanya, tangannya terkepal. Sudut-sudut mulutnya ditarik membentuk senyuman. "Pak Wira, saya hari ini datang untuk membicarakan rencana desain Firma Hukum Dwipa...." Dia menelan air liurnya diam-diam, berusaha keras untuk menahan keberaniannya yang terancam menciut ketika Wira menatapnya. "Saya kira kita bisa membicarakan masalah pribadi nanti."

"Oh?" Wira menaikkan alisnya, lalu menunduk. "Pekerjaan, kalau begitu…. Bagaimana dengan ketulusanmu?"

"Eh?!" Mia tiba-tiba gugup.

Wira mengangkat pandangannya. "Saya menunjukmu untuk menjadi perancang utama, tapi kamu tidak muncul sampai hari ketiga. Bagaimana dengan ketulusanmu dalam proyek ini?"

Mia tahu Wira sengaja mempermalukannya, tapi dia hanya bisa menahan diri. "Bagaimana maksud Pak Wira tentang ketulusan?" Dia sedikit mendongakkan pandangan dan bertemu dengan tatapan Wira yang tenang. "Dalam rencana awal Berlian mengirimkan seorang perancang, bukan asisten perancang. Saya kira itu sudah sangat tulus."

Pandangan keduanya bertemu dan terpaku, tampak tenang, namun pada kenyataannya, mereka bergumul dalam kegelapan yang bergejolak, atau malah sudah ada yang kalah dalam pergolakan itu.

"Benarkah?" tanya Wira pelan, matanya dipenuhi kesan sinis.

Tiba-tiba Wira meremas bahu Mia, wajahnya dengan cepat mendekat, dan kemudian dia menekan bibirnya yang lembut dan melumat bibir Mia....

Mia meronta dan mengerahkan akal sehatnya untuk melawan, tetapi tatapan tajam Wira terasa seperti gelombang ombak yang mengamuk pada saat itu.

Ciuman Wira saat itu berbeda dari ciuman penuh kegilaan dan kerinduan di Bar Purnama, yang sebagian besar berisi emosi yang tertekan dalam amarah….

Entah siapa yang melepaskan bibirnya duluan, dan engah napas yang menyesakkan menyebar di bibir keduanya.

Mata Mia memerah. Dia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Saat Wira mencoba menyelipkan lidahnya melalui gigi-gigi Mia, Mia tiba-tiba memberontak.

Wira mendengus, dan terdorong oleh Mia.

Terdengar suara pluk seperti sesuatu yang jatuh, dan semua terjadi begitu cepat hingga keduanya belum sempat bereaksi. Mereka hanya bisa bertindak berdasarkan insting masing-masing.

Mia menatap Wira dengan mata memerah. Tubuhnya gemetar, dan tangannya yang tremor bahkan mati rasa dan terasa menyakitkan…. Jika dia bahkan tidak bisa mengendalikan ciuman itu, namanya dia hanya datang untuk mempermalukan dirinya sendiri hari ini.

Kenapa! Kenapa, kenapa!

"Wira, kau sendiri yang membuatku merendahkanmu!" Mia mengertakkan gigi dan berkata dengan gemetar, kemudian berbalik membuka pintu dan menghambur keluar…. Namun tepat ketika dirinya berbalik, air matanya tidak bisa lagi dikendalikan dan mengalir deras.

Pipi kiri Wira terasa sakit membara, tapi rasa sakit itu tidak sesakit hatinya.

Dia terobsesi, dia jatuh cinta pada Mia.... Ketika Mia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, dengan panik dia bergegas pergi ke bandara. Dia tidak sadar dia terus memanggil-manggil nama Mia dengan kalut. Itulah satu-satunya alasan dirinya kembali lebih cepat dari luar negeri: karena dia masih merindukan Mia!

Udara terasa sesak dengan kesedihan ketika Mia berlari keluar dari ruangannya....

"Mia...."

Aryo berteriak dari belakang Mia. Dia baru saja akan pergi makan siang dengan Andini dan melihat Mia berlari keluar sambil menangis. Kedua orang itu berdiri terpaku di tempat yang sama. Baru beberapa menit berlalu. Bagaimana bisa semuanya menjadi seperti ini?

Mia lupa bahwa Andini masih di sana. Dia bahkan lupa membawa mobilnya, dan dia menangis dan terus berlari… sampai dia mencapai sebuah gang kecil dan meletakkan tangannya di atas lututnya, meringkuk dan menangis keras.

"Huhuhu.…" Mia tidak sadar kalau dia menangis seperti itu. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia sangat sedih sekarang, dan tak ada lagi kesedihan yang dapat mengalahkan ini.

Pria yang dulunya selembut batu permata, yang selalu tersenyum padanya dan berkata, "Mia, kamu mau aku bersikap bagaimana denganmu?" Pria yang baru saja menghinanya dengan tindakan seperti itu....

Tamparan itu menerjang rasa malu dan hatinya. Dia melarikan diri, bahkan tidak berani berhenti sedetik pun, karena takut semua kerapuhannya akan terlihat di wajahnya.

Ponselnya berdering tepat pada saat itu. Mia menangis dan mengeluarkan ponselnya. Melihat bahwa itu adalah Andini, dia tidak menjawabnya. Dia hanya mengirim pesan: "Aku duluan. Kamu tunggu saja dulu di sana, oke?"

Sebelum jawaban dari Andini tiba, ponselnya berdering lagi, kali ini menunjukkan penelepon bernama P.

Mia langsung menolaknya. Entah kenapa, tapi telepon dari Petra terasa bagaikan anak panah…. Dia tidak sadar, tapi dia menangis dan pandangannya kabur berkat air mata. Dia akhirnya berjongkok, memeluk lututnya dan menangis sesenggukan sendirian di gang itu.