webnovel

Hanya Dia!

Tentu saja, Mia tidak berani menggunakan metode yang disarankan Eri, dia merasa hatinya gemetar bahkan memikirkan tentang bayangan seperti itu…. Bayangan kejadian seperti itu sangat "indah" sehingga orang tidak akan berani melihatnya secara langsung.

"Aku seharusnya tidak mengajakmu keluar dan membahasnya!" Mia menatap jengkel pada Eri.

Eri tersenyum, namun kali ini dia tersenyum menenangkan. "Oke, tidak usah dipikirkan…. Sudah ada aku di sini yang menemanimu di saat susah dan senang. Sungguh sahabat yang hebat, 'kan, menemanimu menangis dan mabuk bahkan tiga ribu kali sekalipun!" kata Eri dengan setia.

Mia merasa agak tertekan. Sebenarnya, dia tahu Eri mencoba menghiburnya…. Dalam situasi seperti ini, dia hanya bisa mencernanya satu per satu.

Setelah makan, Eri dan Mia berjalan-jalan, dan kemudian Mia kembali ke Taman Dewata.

Mia menemukan sebuah buku di ruang kerja Petra dan berbaring di tempat tidur untuk membacanya, tetapi dia tidak membalik halaman yang dilihatnya untuk waktu yang lama. Hubungan antara Petra dan Wira masih saja bersarang dalam pikirannya….

Sambil menghela napas panjang, Mia menutup buku itu dan mengambil ponselnya. Entah apa yang dia pikirkannya ketika menelepon Petra, tapi dia tahu dadanya terasa sangat sesak sehingga dia ingin melegakannya.

"Kenapa?" ​​sebuah suara acuh tak acuh datang dari sisi lain, seperti suara cello yang dimainkan perlahan di malam yang gelap. Kedengarannya sangat indah sehingga bisa membuat orang lain melupakan tahun-tahun yang sudah lalu.

"Ra…." panggil Mia dengan gusar.

"Hm?" Petra mengangkat alisnya sedikit, dan bibirnya tersenyum tipis. "Kenapa?"

Dia memegang ponsel di satu tangan, dan tangan lainnya dengan perlahan memutar gelas anggur. Dia memperhatikan anggur merah di dalam gelasnya perlahan mengalir ke dasar gelas kaca tersebut, tidak meninggalkan jejak.

Mia menundukkan pandangan, dan diam-diam mengerutkan bibirnya, ingin menguji apa yang akan terjadi jika Petra tahu bahwa dia mengetahui hubungannya dengan Wira. Meski begitu, dia tidak tahu dari mana harus memulai.

Petra seperti reinkarnasi dari seekor rubah yang licik, meninggalkan sisa-sisa rasa pasrah.

Setelah memikirkannya sejenak, Mia masih merasa putus asa dan tidak berniat untuk menguji lebih jauh, namun dia berkata dengan lembut, "Aku kangen…."

Pandangan mata Petra semakin dalam, dan senyuman di bibir tipisnya tanpa sadar mencapai dasar matanya. "Aku sedang sedih, kamu mau datang?"

"Aku harus pergi kerja besok, aku tidak bisa datang…." Mia berkata dengan malas, "Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku rindukan sekarang, jadi aku tidak akan mengganggu kehidupan malammu." Dia berniat mengakhiri pembicaraan.

Senyum di sudut mulut Petra semakin dalam, yang dalam sekejap mencapai matanya. "Wira juga ada di sini. Kemarilah kalau kamu tidak mengantuk."

Glek.

Mia hampir tersedak air liurnya. Dia bahkan tidak mau datang kalaupun Wira tidak ada, apalagi ketika dia ada?!

"Haha, tidak akan…." Mia tersenyum dengan sangat palsu. "Um… Aku mau tidur, Ra…. Muah!" Ketika kata-kata itu meluncur dari mulutnya, dan dia membuat suara mencium ke ponselnya sebelum dengan cepat menutupnya, tidak memberi Petra kesempatan untuk berbicara sama sekali.

Sedikit mengerutkan dahi, Petra agak kesal dan takjub, dan senang rasanya memiliki sedikit keintiman dengan istri tersayangnya yang berusia lima tahun lebih muda darinya ini.

"Bibi?" tanya Wira pelan.

"Ya," Petra berkata dengan jujur.

Wira menaikkan alis dan bertanya, "Mau kemari?"

"Tidak..." jawab Petra dengan santai.

"Sayang sekali. Kukira aku masih sempat bertemu Nyonya Petra yang dirumorkan orang-orang!" Wira menggoda dan tidak melanjutkan topik pembicaraan itu.

Malam itu, dia dan Aryo pergi ke rumah profesor mereka di dekat Universitas Atmajaya. Setelah makan malam, mungkin dia merasa depresi dan mengajak Petra keluar untuk minum.

Dia juga menyinggung beberapa patah kata tentang bibinya itu…. Tapi jelas, Petra tidak ingin membicarakan lebih banyak.

Dia pikir Petra kelihatannya tidak terlalu memperhatikan istrinya ini, tetapi sepertinya tidak demikian ketika mereka baru saja berbicara di telepon tadi…. Sejak kapan orang seperti Petra ini pernah bersikap ramah kepada orang lain? Sifatnya sudah terpatri di wajahnya, dan wajahnya itu sudah lama mendingin.

Namun, dia bukan orang yang kelewat penasaran. Dia tidak peduli apa hubungan antara bibiny dan Petra ini…. Biarkan saja hubungan mereka mengalir. Saat waktunya bertemu nanti, dia selalu ingin melihatnya, dan dia tidak mencemaskannya.

Pada hari berikutnya, cuaca di Jakarta kembali mendung, dan udara dipenuhi kelembapan, yang jelas menandakan akan hujan.

Karena Andini tidak berhasil menetapkan rancangan awal Firma Hukum Wira selama dua hari berturut-turut, Pak Tahir hanya mengatakan sepatah kata, dan Mia hanya bisa gigit jari….

Dia menandatangani kontrak dengan kantor Wira, dan dia memiliki hak untuk menunjuk seseorang dari departemen desain Berlian untuk membuat rancangan kantor firma hukum itu. Jika Berlian tidak dapat melakukannya sesuai kontrak... itu jelas namanya cari mati di depan pengacara atau kuasa hukum.

"Oke, saya akan kesana sekarang," kata Mia dengan tenang.

Pak Tahir mengangguk. "Ajak Andini pergi bersamamu. Kebetulan dia memiliki proyek serupa yang ditugaskan padanya baru-baru ini."

Mia mengangguk, menjernihkan pikirannya, dan pergi ke tempat yang disepakati firma hukum itu.

Firma hukum Wira dan Aryo yang baru dibuka terletak di sebuah toko pinggir jalan dekat kawasan bisnis CBD di dekat jalan tol dalam kota. Papan namanya pun belum dipasang. Tetapi katanya, beberapa orang telah datang kepadanya untuk mengajukan tuntutan hukum, dan kasusnya telah menumpuk.

Mia memarkir mobil di tempat parkir dan melongok melalui jendela mobil…. Dia mengalami demam panggung.

Bayangkan semua orang ada di Jakarta sekarang, dan tidak mungkin menghindarinya. Cepat atau lambat, rintangan ini akan berlalu.

Ketika keluar dari mobil, Mia mendengarkan keluhan Andini selama dua hari terakhir, dan sudut mulutnya berkedut…. Apapun persiapan psikologis yang telah dia lakukan, ketika dia berdiri di firma hukum itu, dia merasa semuanya sia-sia.

Aryo tidak menyangka Mia datang begitu cepat…. Setelah dua setengah tahun, wanita di depannya bahkan lebih cantik daripada dulu.

Dia telah kehilangan aura pelajarnya yang masih hijau, dan kini dia tampak sedikit lebih profesional dalam balutan kemeja putih dan rok…. Ini tidak ada hubungannya dengan pesona dewasa. Penampilannya memancarkan aura tertutup yang hanya dimiliki oleh Mia.

"Sudah lama sekali tidak bertemu…." Aryo memulai berbicara, mulutnya membentuk senyuman. Dia sendiri tidak paham apakah itu senyum tak acuh atau senyum hangat.

Mia tersenyum, namun kata-katanya jelas terdengar dingin, "Lama tidak bertemu…."

"Mia, kalian saling kenal?" Andini sedikit kaget, tapi langsung berpikir, "Oh, kalian berdua dari Universitas Atmajaya."

Sudut-sudut mulut Mia berkedut, dan kemudian dia bertanya, "Pak Wira tidak ada?"

Sudut mulut Aryo berkedut. Dia tidak tahu mengapa Mia menjauh dan meminta untuk putus dengan Wira, tapi sekarang, mereka bertemu lagi…. "Pak Wira" terdengar terlalu aneh dan jauh.

"Wira sedang mencari berkas di ruangan sebelah…." Aryo berkata, "Mau lihat struktur bangunannya dulu, lalu nanti kuantar ke sana?"

"Oke!" Mia menjawab, dan kemudian mengikuti Aryo untuk melihat-lihat bangunan dua lantai seluas kurang lebih 27 meter persegi itu.

"Mari kita bicarakan rencana desainnya...." Mia tersenyum dengan profesional.

Aryo mengangguk, dan membawa Mia dan Andini ke ruangannya.

Tetapi ketika mereka tiba, Wira sedang sibuk, dan Aryo hanya bisa membawa keduanya ke ruang duduk terlebih dahulu.

Akan tetapi, dari jam sepuluh hingga hampir jam dua belas siang, Wira masih sibuk... Andini sudah tidak bisa duduk diam, tetapi Mia minum teh dengan tenang, dan sesekali mengobrol dengan Aryo, dan kemudian kembali diam.

Aryo sedikit malu ketika ponselnya berdering. Dia mengambilnya dan melihat bahwa itu dari Wira. Setelah berkata "Maaf," dia berjalan ke tepi dan mengangkatnya.

"Bawa dia masuk ke ruanganku," suara Wira begitu tenang sehingga emosinya tak terbaca, namun tetap menunjukkan sikap tak acuh. "Hanya dia!"