webnovel

Istri Kecil Presdir

Keluarga Grissham memiliki 2 penerus. Hanya saja, lahir dari wanita yang berbeda. Gavin Grissham, penerus pertama dan tentu saja dari Istri pertama, seharusnya menjadi kebanggaan. Namun semua itu hanyalah sebuah mimpi. Davin Grissham terlahir tidak sempurna sehingga hanya tubuhnya saja yang berkembang pesat tapi otaknya memiliki IQ rendah dan membuat Gavin bersikap seperti anak yang berumur 5 tahun. Siapa yang sudi menikah dengan pria tidak normal? Sedangkan, menikah adalah syarat utama dari Tuan Grissham untuk mendapatkan hak waris. Guinnevere, Putri angkat Tuan Grissham harus menelan kepahitan itu karena dipaksa menggantikan Agatha menikah dengan Tuan muda Gavin. Bisakah Guin menerima Tuan muda Gavin?

Sabrina_Angelitta · Teen
Not enough ratings
304 Chs

12. Kediaman Keluarga Grissham

"Selamat datang, Tuan dan Nyonya muda!" sapa kepala pelayan.

Pelayan yang berjumlah belasan berbaris menyambut kedatangan Guin. Guin canggung karena tidak terbiasa diperlakukan seperti itu.

"Sudah sampai, sayang!" sapa Nyonya Calista sembari mengecup pipi Guin.

"Ah!" pekik Guin lirih sembari matanya terbelak karena Gavin ikut mencium pipinya. Pipi kanan yang di kecup Gavin sedangkan pipi kiri di kecup oleh Nyonya Calista. Moment penting dan langka itu di abadikan oleh Ralio dan beberapa pelayan setia Nyonya Calista.

"Mommy, cium Guin," ucap Gavin sembari tertawa riang.

"Gavin istirahat ya. Guin Mommy pinjam dulu sebentar."

"Siap, Mommy!"

Nyonya Calista membawa Guin ke taman belakang. Sepertinya Nyonya Calista mendapatkan info dari Ralio kalau Guin sudah tiba sehingga di taman belakang sudah tersedia 2 cangkir teh dan beberapa makanan ringan.

"Duduk, Guin!" pinta Nyonya Calista.

"Iya, Mom."

"Boleh Mommy bertanya?"

"Iya, tentu saja boleh," gugupnya.

"Ke mana Keluargamu di hari pernikahan? Kenapa mereka tidak akan datang? Padahal kau anaknya tapi seperti di anggap orang luar."

Deg... Deg... Deg...

'Apa Keluarga Grissham tidak tahu kalau aku bukan Putri kandung Ayah? Apa Ayah menipu lagi?' batin Guin gugup.

"Katakan saja. Kau tidak perlu gugup," lanjut Nyonya Calista.

"Mom, saya... Emmmmm saya..."

"Kita Keluarga bukan orang lain. Kau tidak perlu gugup seperti ini."

"Apa saya akan diceraikan kalau saya bukan Putri Keluarga Garmond yang asli?" keringat dingin mulai bercucuran. Guin merasakan ketakutannya karena kebahagian yang saat ini sedang menumbuhkan harapan baru, bukan miliknya, melainkan milik Agatha.

"Asal kau tidak menyakiti Putraku, aku akan membiarkan kau hidup di sampingnya."

Guin tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan. Rasanya seperti sedang mencari celah dari jalan yang buntu. Dari tatapan Nyonya Calista, tidak seperti Mertua pada umumnya yang menatap dengan tajam. Tatapan Nyonya Calista begitu lembut.

"Mom, aku..."

"Kau bukan Putrinya?"

Debaran jantung Guin semakin menjadi-jadi dan siap meledak. Guin tidak tahu caranya menenangkan diri sendiri disaat genting. Dia hanya menggenggam erat tangannya sendiri untuk mengurangi rasa gugup yang menyerangnya.

"Apa tebakanku benar, Guin?" tanya Nyonya Calista.

"Mom, aku tidak ada maksud untuk berbohong tapi aku..."

"Apa kau terpaksa menikahi Putraku? Apa kau menyesal karena Gavin bukan pria dewasa pada umumnya?"

"Awalnya aku menolak tapi hanya Gavin yang menerimaku dengan senyum lebar saat aku terbuang," buliran airmata mulai menyapa kulit pipi Guin.

"Guin, aku sebagai seorang Ibu menyadari kekurangan Gavin tapi dia sangat berarti untukku."

"Mom, aku menyukai Gavin," ucap Guin dengan lantang.

Nyonya Calista menoleh ke arah Guin lalu memberikannya senyum hangat tapi kehangatan ini bukan untuk orang yang sekedar akrab, tapi kehangatan untuk Ibu pada Putrinya. Nyonya Calista memeluk Guin cukup lama dan Guin membalas pelukan itu.

"Guin, sukai Putraku sebesar dia menyukaimu."

***

"Tuan!" pekik Ralio saat Gavin berdiri tepat dibelakangnya.

"Berisik!" balas Gavin.

"Apa yang Tuan butuhkan?" tanya Ralio.

"Emmmmm, kira-kira apa?"

Ralio semakin linglung dibuatnya. Hampir saja Ralio menabrak Gavin dan akibatnya fatal jika itu terjadi, yaitu pemecatan.

"Gavin!" panggil Guin yang sudah kembali.

'Hmmm, Tuan ingin bicara apa ya?' batin Ralio.

"Guin!" sahut Gavin.

"Gavin mau tidur siang?" tanya Guin.

"Aku mau belajar."

"Belajar apa?"

"Jadi Suami untuk Guin," jawabnya spontan.

"Hah?"

"Pffffffff... Huahahaha..."

Ralio tertawa tanpa bisa lagi untuk menahannya. Guin melirik dan memberi tatapan peringatan supaya Ralio menghentikan tawanya yang membuat Gavin tertunduk murung.

"Hei, kenapa sedih?" tanya Guin berpura-pura tidak tahu penyebabnya.

"Dia!" Gavin menunjuk ke arah Ralio.

"Tuan Ralio, kau..."

"Panggil Ralio. Tidak boleh Tuan," protes Gavin sebelum Guin melanjutkan ucapannya.

Ekspresi Ralio yang biasanya datar, kali ini berbeda karena keluguan Gavin membuatnya tertawa. Ekspresinya sudah kembali seperti semula setelah Guin memberikannya lirikan maut.

"Iya-iya, aku panggil dia Ralio," ucap Guin mengalah.

"Ralio, apa barang-barangnya sudah di kamar?" tanya Guin.

"Sudah, Nyonya muda. Pelayan juga sudah menatanya dengan rapi. Nyonya dan Tuan muda hanya tinggal istirahat," jawab Ralio sopan.

Guin menarik tangan Gavin dan Gavin mengikuti langkahnya. Rasa lelah yang di rasakan Guin membuatnya ingin segera berbaring untuk membuat tubuhnya lebih netral.

Kejadian demi kejadian harus dicerna baik oleh otak Guin sehingga memporsir tubuhnya yang lemah. Guin tidak tahu, kehidupan seperti apa yang akan dijalaninya dimasa depan. Guin hanya tahu, sekarang Guin tidak lagi terjerat dengan kehidupan masalalu yang mengerikan.

Harapan yang terlalu besar, terkadang membuat Guin takut kalau harapan yang tidak sesuai kenyataan akan membuatnya terluka, terjatuh, dan semua itu sangat menakutkan jika dibayangkan.

Guin berfikir, apa seharusnya dia tidak memiliki harapan? Harapan sederhana seorang Guinnevere, anak yang terbuang, dipungut hanya untuk ditindas, dan saat ini dibuang lagi lalu diterima oleh Keluarga yang lain. Harapan sederhana itu terkadang tertelan kembali oleh pahitnya kenyataan yang seperti empedu.

Bahagia, hidup normal, tenang dan tidak tertekan. Harapan itu sederhana, bukan? Harapan sederhana yang dimiliki oleh setiap makhluk yang bernafas. Tapi kenyataan terkadang seperti tengah mempermainkan.

"Guin, tunggu!" ucap Gavin.

"Kenapa?"

"Kita mau ke mana?"

"Ke kamar, istirahat," jawab Guin.

"Guin!" Gavin menyentuh pipi Guin. Posisi mereka bisa dikatakan sebagai pasangan mesra, tapi tersadar dengan dari kenyataan, semua itu hanya kebetulan.

"Gavin, ada apa?"

"Panggil aku, Suami!"

***

Perusahaan milik Tuan Garmond sudah stabil setelah mendapat dukungan dari Tuan Grissham. Sayangnya, semua itu hanyalah awal perjuangannya dalam dunia bisnis.

Tuan Garmond memiliki kesalahan besar dengan menukar Guin untuk menikahi Gavin dan bukan Putrinya, Agatha. Hal itu bisa dikatakan adalah sebuah penghinaan.

"Dalam satu bulan, buat Garmond berlutu padaku dan memohon ampunan," ucap Tuan Grissham dengan tegas.

"Baik, Tuan!"

***

Nafas yang tenang, wajah yang cantik, tidur dengan posis miring memeluk tubuh Gavin, itulah Guin. Terlalu lelah sampai tidak sadar dia sudah melewati jam makan siang. Hanya saja, Guin beruntung masuk ke dalam Keluarga Grissham dengan status Istri Gavin.

Tidak ada amarah, tidak ada keributan, mungkin saja karena Nyonya Amber dan Aland sedang berada di kantor hingga rumah terasa damai tanpa hawa panas.

"Eh, Gavin sudah bangun?" tanya Guin.

"Aku lapar," jawab Gavin.

"Kenapa tidak makan?"

"Mau Guin. Di suapai Guin," manjanya.

'Apa dia selamanya akan tergantung padaku?' batin Guin.

"Kalau begitu, aku akan siapkan makanan untuk Gavin."

"Guin!"

"Iya, ada apa?" tanya Guin karena Gavin menyekal tangannya.

"Ini sakit," ucap Gavin manja sembari mengelus pipi kanannya.

"Oh, coba aku lihat."

Guin mendekat dan melihat pipi Gavin dengan teliti. Tidak bengkak, tidak terluka, tidak memar apalagi berdarah.

"Tidak ada luka," ucap Guin heran.

"Kalau dicium Guin pasti sakitnya hilang!"