webnovel

01. The Contract

Karen Wilson berdiri di depan ruang ICU. Matanya menatap lurus ke depan melewati kaca tebal yang memisahkan antara ruang rawat dan pengunjung.

Dari posisinya ia melihat seorang laki-laki tua terbaring tidak bergerak dengan alat bantu medis hampir di seluruh tubuh. Kedua matanya tertutup dan suara detak jantung dari mesin di samping tempat tidur menunjukkan kalau kondisinya tidak terlalu baik.

Apakah laki-laki tua itu benar-benar akan meninggal kali ini? Gagasan itu menyelinap masuk di kepalanya.

"Karen, Bu Direktur mencarimu."

Menoleh ke samping, ia melihat wanita berusia sekitar akhir empat puluhan dengan wajah lelah dan rambut sedikit berantakan menundukkan kepala kepadanya.

Anna Lucas adalah asisten ayahnya dan sudah bekerja selama hampir dua puluh tahun. Dari yang Karen tahu pekerjaan wanita itu sangat baik dan selalu bisa diandalkan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan ayah ataupun ibu tirinya. Mereka berdua sering bertemu, namun hanya sebatas urusan pekerjaan.

Karen menganggukan kepala dan mengikuti Anna melewati lorong panjang sampai kemudian berhenti di depan ruang kerja yang berbeda dengan yang lain.

Anna mengetuk pintu sekali dan suara yang tidak asing itu terdengar dari dalam memintanya untuk masuk. Karen memegang kenop pintu dan berkata, "Kusarankan kau untuk pulang malam ini. Tidak akan ada yang berubah meskipun kau menunggu disini."

"Tapi, Bu Direktur.." Suara Anna terdengar ragu.

"Aku akan bicara dengannya." Karen mendorong pintu sampai terbuka dan menutup pintu segera tanpa menunggu jawaban Anna.

Dengan penerangan yang sangat terbatas, Karen bisa melihat meja dan kursi kerja yang mengarah ke pintu masuk serta Jubah dokter berwarna putih tergantung di dekat sana.

Ruangan itu kecil dan sempit. Sebagian besar rak dipenuhi dengan buku-buku dan lemari penyimpanan di sisi yang lain.

Karen tidak tahu bagaimana caranya wanita itu bisa berhasil meminjam ruang kerja pribadi dokter untuk keperluan lain. Ia tidak tahu dan tidak peduli.

Ia duduk di sofa di tengah ruangan dan suasana kembali hening.

"Kondisi ayahmu semakin memburuk." kata wanita tua yang berdiri menghadap ke jendela membelakangi sofa. "Dan Gracia membawa kabur uang perusahaan delapan miliar."

Mata Karen melebar lalu wanita itu berbalik dan duduk di sofa di depannya.

"Sudah dua minggu dan kami masih belum berhasil menemukannya." Suara wanita itu terdengar lemah tapi matanya menatap Karen serius. "Perusahaan harus membayar pinalti untuk proyek yang tertunda dan proyek yang baru tidak bisa dijalankan karena tidak ada biaya."

Kalau dipikir-pikir terakhir kali ia melihat Gracia Wilson, kakak tirinya di kantor adalah ketika rapat seluruh divisi yang dilakukan satu bulan yang lalu. Dan setelah itu ia tidak pernah sekalipun melihat sosoknya di kantor, padahal biasanya gadis itu akan melewati meja kerjanya ketika akan menuju ke ruang wakil direktur.

"Dengan kondisi jantung ayahmu seperti sekarang, dokter tidak bisa memastikan kapan dia akan sadar dan apakah dia akan melewati masa kritis atau tidak."

Karen melihat rasa takut di kedua mata itu dan tangan yang terus bergerak dengan cemas. Sepertinya keadaan ini berhasil mengguncang wanita yang selalu terlihat tenang dan berkelas itu menjadi seekor semut yang tidak berdaya.

"Lalu?" tanya Karen tidak peduli lalu menyandarkan tubuh ke belakang.

"Aku ingin kau mengambil alih perusahaan. Aku ingin kau mengembalikan keadaan perusahaan seperti semula."

Karen tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia tertawa hambar, "Setelah semua masalah yang ditimbulkan oleh putrimu, sekarang kau memintaku untuk bertanggung jawab? Dan menurutmu, aku mau melakukannya?"

"Ini adalah perusahaan ayahmu. Dan dia adalah kakakmu. Tidak bisakah kau berkorban sedikit?"

Kedua mata Karen menatap tajam ke arah ibu tirinya, "Sejak kapan aku pernah memanggil orang itu ayahku? Dan sejak kapan pula aku mengakui gadis itu kakakku?"

Julia Tio merasa napasnya tercekat dan suaranya tidak bisa keluar. Tentu saja mereka semua tahu bagaimana sebenarnya hubungan antara Karen dengan tiga orang itu. Selama dua puluh dua tahun, ia tidak pernah menjadi bagian dari keluarga itu. Dia adalah dia dan hanya seorang diri.

Ibu tirinya menghela napas dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Ia meletakkan amplop di atas meja dan mendorongnya tepat ke depan Karen.

Ketika melihat cap fakultas kedokteran Harvard di ujung kanan atas, ia segera meraih amplop dan membukanya cepat. Jantungnya berdetak cepat sambil membaca kata-kata yang ditulis dalam bahasa inggris formal di kertas sampai habis.

"Aku akan membiarkanmu pergi. Tapi, kau hanya punya waktu enam bulan untuk membereskan semua masalah di perusahaan."

Karen mengangkat wajah. Seperti mengerti maksud wanita itu, ia berkata, "Jadi, kali ini kau akan membiarkanku pergi ke Amerika kalau aku berhasil mengembalikan perusahaan dalam waktu enam bulan?"

"Kau bisa pergi ke Amerika dan menerima beasiswa itu, aku tidak akan menghalangimu lagi."

Karen terdiam. Akhirnya, katanya dalam hati.

***

"Masih belum ada kabar?" tanya Karen kepada Anna yang berdiri di depan meja kerjanya.

Sekarang ia menempati ruang direktur dan bekerja bersama dengan Anna untuk mencari investor yang mau meminjamkan mereka uang delapan miliyar.

Setelah tiga minggu, ia menyadari itu adalah yang mustahil. Ditambah ternyata keadaan keuangan perusahaan lebih buruk dari perkiraannya.

Karen menggigit kuku jarinya sambil berpikir keras. "Apakah tidak ada investor lain yang bisa kita hubungi?"

Anna menggelengkan kepala, "Mencari perusahaan yang mau meminjamkan uang sebanyak itu sangat sulit."

"Bagaimana dengan investor di luar negeri?" Kali ini Anna menundukkan kepala, terlihat lebih putus asa dari tadi.

Sudah hampir satu bulan dan itu berarti ia masih memiliki waktu lima bulan sesuai dengan perjanjiannya dengan Julia. Kalau situasi terus seperti ini, bukan hanya ia tidak bisa pergi ke Amerika, tapi ia juga bisa terseret ke masalah lain yang muncul di perusahaan.

Anna meletakkan sesuatu di atas meja Karen, "Ini adalah undangan makan malam dari International Design Award minggu depan di Budapest, Hungaria. Apa yang harus aku lakukan?"

Karen hampir lupa, satu bulan yang lalu tim desain interior mereka memenangi perlombaan internasional yang selalu diadakan satu tahun sekali oleh IDA dan semua orang di dalam tim sibuk membahas tentang siapa yang akan pergi ke Budapest.

Tapi, sejak Karen pindah ke ruangan direktur dan sibuk dengan masalah yang sekarang, ia tidak pernah lagi mendengar tentang hal itu.

Karen memegang undangan yang terlihat berkelas dengan warna merah gelap di tangannya dan ponsel Anna berdering. Karen mendengar Anna yang berbicara di telepon dengan suara pelan kemudian telepon dimatikan. "Direktur." panggil Anna, "Kita mendapat jawaban dari Royal Dome. Mereka setuju untuk meminjamkan kita uang."

Karen menegakkan tubuh dan menatap Anna tidak percaya.

"Mereka ingin bertemu malam ini untuk membahas tentang kerjasama yang kita tawarkan." Anna melirik jam di tangan. "Kita harus berangkat sekarang."

Karen menghela napas lega dan tersenyum lebar. Sepertinya bintang keberuntungan berada di pihaknya kali ini.

***

Tiga puluh menit kemudian, Karen sudah tiba di restoran mewah sesuai dengan instruksi Anna. Setelah menyebutkan namanya, Karen langsung dibawa oleh staf ke salah satu meja di samping jendela. Seorang pelayan kemudian menghampirinya dan menuangkan air putih ke gelas di atas meja lalu pergi meninggalkannya sendiri.

Suasana di restoran malam itu tidak terlalu ramai dan suara musik piano dari pengeras suara terdengar samar. Ketika ia melihat ke sekelilingnya Karen menangkap ekspresi puas di wajah orang-orang yang sedang menikmati makanan yang disajikan oleh pelayan.

Sepertinya semua orang yang ada di restoran itu bersenang-senang menikmati malam yang indah, kecuali dirinya.

Karen baru akan mengeluarkan ponsel dari tas ketika mendengar suara kursi ditarik. Ia mengangkat wajah dan menatap laki-laki muda yang duduk di depannya.

"Karen Wilson?" sapa laki-laki itu.

Ia ragu sesaat lalu berkata, "Ya. Anda dari Royal Dome?"

Laki-laki itu tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Karen selama beberapa saat, kemudian mengulurkan tangan. "Steven Tanzil."

Karen membalas uluran tangan itu. "Karen Wilson, W Studio." Memperkenalkan dirinya dengan formal kemudian menarik tangannya. "Senang bisa bertemu dengan anda malam ini."

"Kau bisa memanggilku Steven." kata laki-laki itu pendek.

Pada saat itu entah kenapa Karen merasa seperti pernah melihat laki-laki itu. Tapi dimana? Apakah di majalah? TV?

Berusaha menahan rasa penasarannya, Karen melanjutkan. "Selamat malam Steven, terima kasih karena sudah datang. Akan sangat menyenangkan sekali kalau kita bisa bekerja sama." kata Karen langsung.

Steven tersenyum hambar. "Delapan miliyar bukan angka yang kecil."

Karen menelan ludah dengan susah payah dan tersenyum, "Ya. Oleh karena itu kami ingin menawarkan kontrak kerja sama dengan Royal Dome."

"Aku yakin kau tahu dengan jelas pihak mana yang lebih dirugikan bila kita melakukan kerja sama dengan kondisi seperti sekarang." balas Steven dengan suara yang sama sekali tidak ramah.

Karen memutar otak berpikir, "Tentu saja aku sangat mengerti. Oleh karena itu kami akan sangat berterima kasih kepada anda ..."

"Apakah aku perlu mengajarimu bagaimana caranya berbisnis?"

Karen tersentak dan berusaha mengontrol ekspresi di wajahnya, "Apa yang kau inginkan?"

Laki-laki itu diam seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, "Kau membutuhkan uangku dan aku membutuhkanmu. Bagaimana kalau aku mengusulkan kita untuk menikah?"

Karen yakin telinganya tidak berfungsi dengan baik saat itu, karena ia mendengar kata "menikah" keluar dari mulut Steven dengan santai seperti sedang membeli wortel di pasar.

Bisa membaca ekspresi wajah Karen yang bingung, Steven melanjutkan. "Aku membutuhkanmu untuk mendapatkan kontrak bisnis yang sangat besar."

Alis Karen berkerut samar, masih tidak mengerti.

"International Design Award. Setahuku W Studio memenangkan penghargaan itu selama tiga tahun berturut-turut. Dan minggu depan kalian akan ke Budapest untuk menghadiri acara makan malam."

Karen berusaha mencerna kata-kata Steven, "Aku bisa mengajak anda untuk ikut ke acara tersebut."

"Aku ingin menghadiri acara itu dengan status sebagai suamimu."

Alis Karen terangkat bingung, "Kenapa?"

Steven mendorong tubuhnya ke depan, "Karena dengan begitu sudah cukup menjelaskan kalau kau adalah milikku."

Karen tidak harus harus tertawa atau menangis. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Steven terdengar seperti sebuah lelucon baginya.

"Aku tidak akan memaksa, aku hanya memberikan pilihan. Aku akan membantu W Studio, tapi kau harus menikah denganku."

Kepalanya tiba-tiba terasa berat dan sekelilingnya berubah hening. Laki-laki itu tentu sudah gila kalau menyangka ia akan setuju. Ia memang sangat putus asa, tapi tidak seputus asa itu dengan mengorbankan dirinya sendiri.

Karen baru hendak berdiri dari kursi dan pergi ketika Anna muncul di belakangnya kemudian berbisik ke telinga Karen. Kali ini kata-kata Anna berhasil membuat sekujur tubuhnya berubah dingin dan matanya melebar. Bank sudah bersiap menyita aset perusahaan serta beberapa aset pribadi milik ayahnya, karena pinjaman yang sudah jatuh tempo dan tidak bisa dibayarkan.

Seperti belum cukup membuatnya tertekan, ponselnya tiba-tiba berbunyi menandakan pesan masuk. Karen membaca pesan dari Julia yang mengatakan kalau kondisi ayahnya sudah melewati masa kritis dan mereka membutuhkan biaya untuk operasi besok.

Apa-apaan ini? Kenapa semua masalah berputar di sekitarnya. Tiba-tiba kepalanya tidak bisa berpikir.

Melihat tidak ada reaksi dari Karen, Anna yang berdiri di sampingnya berbicara dengan suara pelan, "Apa yang harus kita lakukan Direktur?"

Karen menarik napas dengan susah payah dan menatap serius laki-laki di depannya. Ia sudah berusaha dan semua usahanya sia-sia. Kali ini ia tidak memiliki jalan keluar lain. "Kau ingin mendapatkan kerja sama dengan Antonio Kuffmann?"

Kali ini Steven bergeming dan menatap Karen takjub.

"Kalau aku berhasil membantumu mendapatkan kerjasama dengan Antonio, apa yang akan kau lakukan?" balas Karen.

Steven tersenyum kecil, "Kau yakin bisa membantuku mendapatkan kerja sama itu?"

Karen menarik napas pelan, "Lima bulan, beri waktu aku lima bulan dan aku akan membantumu mendapatkan kontrak kerja sama dengannya."

Senyum Steven semakin lebar, "Kau sangat percaya diri."

"Apakah kau akan memberikan delapan miliyar itu dengan cuma-cuma?" tanya Karen.

Steven meluruskan tubuhnya, "Baik. Aku setuju." kata Steven yakin, "Kalau begitu kapan kau punya waktu? Kita harus segera mendaftarkan pernikahan sebelum ke Budapest."

"Besok siang." Jawab Karen tanpa berpikir,

"Dan kapan kau akan mentransfer uangnya?"

"Besok. Setelah kita mendaftarkan pernikahan, uang tersebut akan langsung masuk ke rekening W Studio."

Karen tidak yakin ini ide bagus. Tapi, ia hanya berharap pada akhirnya tidak akan menyesali keputusan malam itu.