webnovel

02. Budapest, Hungaria

Gadis itu masih belum datang, gerutu Steven dalam hati.

Ia melirik jam di tangannya. Pukul satu lewat lima belas menit. Apakah gadis itu berubah pikiran?

Kalau benar, itu berarti Steven dalam masalah sekarang. Satu langkah lagi ia sudah hampir berhasil bertemu dengan Antonio Kuffmann, salah satu arsitek terkenal di seluruh wilayah Eropa Tengah.

Steven yakin dengan cara memanfaatkan popularitas Karen Wilson, ia bisa berkenalan dengan Antonio atau mungkin arsitek berbakat lainnya. Oleh karena itu ia sangat membutuhkan gadis itu.

Ya. Hanya itu alasannya, Steven berusaha meyakinkan dirinya.

"Kau yakin dia akan datang?" tanya laki-laki yang duduk di sampingnya di kursi ruang tunggu sambil memainkan ponsel di tangan.

Steven tidak menjawab. Mata hitamnya hanya menatap lurus ke pintu masuk menunggu sosok itu muncul disana.

"Sudah dua jam lewat lima belas menit. Kau yakin dia tidak kabur, kan?" tanya laki-laki itu lagi dengan nada sambil lalu dan suara musik monoton dari ponselnya terdengar samar di telinga Steven.

Gary Tanzil adalah adik kandungnya, meskipun usia mereka hanya berjarak beberapa tahun, tapi kepribadian mereka berbanding terbalik. Steven yang serius dan pendiam berbeda dengan Gary yang suka membuat lelucon dan berbicara blak-blakan.

Terkadang ia bingung apa yang ada di pikiran adiknya itu, tapi setidaknya dengan kemampuannya tim pemasaran di Royal Dome memiliki reputasi yang cukup baik.

"Kalau aku jadi dia, aku akan ..." sebelum kata-kata itu selesai diucapkan, tatapan tajam dari Steven langsung membuat mulut Gary tertutup rapat. Ia tidak perlu memutar kepalanya untuk melihat tatapan mematikan kakaknya itu. Jadi ia memutuskan untuk mengangkat sebelah tangan lalu membentuk garis lurus di depan mulut menandakan kalau ia akan diam dan tidak akan berkomentar lagi.

"Bos." panggil laki-laki dengan napas pendek berhenti di depannya, "Kita harus berangkat lima menit lagi. Rapat akan segera dimulai."

Gary mengangkat wajah dan melihat Mario Grasby, asisten Steven yang selalu berada di samping kakaknya hampir dua puluh empat jam sehari berdiri dengan ekspresi khawatir dan keringat membasahi wajahnya.

Gary tertawa kecil membayangkan bagaimana laki-laki berusia dua puluhan itu membereskan kekacauan yang baru saja dibuat oleh kakaknya karena seorang wanita.

"Empat puluh lima menit lagi." kata Steven pendek.

Mario belum bergerak dari posisinya berusaha mencerna kata-kata Steven.

Gary tidak tahan lagi dan tertawa keras. "Maksud bosmu adalah ia akan menunggu calon istrinya disini sampai pukul dua siang. Jadi, undur semua pekerjaannya karena dia tidak peduli dengan hal itu sama sekali."

Steven memejamkan mata dan menghela napas pelan, tapi tidak membantah. Ia membiarkan Gary menjelaskan maksudnya kepada Mario meskipun dengan kata-kata yang tidak sama persis dengan apa yang sebenarnya ia maksud. Adiknya itu memang suka melebih-lebihkan sesuatu setiap kali berbicara dengan orang lain.

Mario tidak langsung bereaksi, ia menunggu respon dari Steven. Ketika ia merasa laki-laki itu tidak akan memberikan jawaban apapun, Mario akhirnya pergi sambil mengeluarkan ponsel dari saku jas kemudian sibuk menelepon orang-orang.

Gary yang masih duduk di samping Steven kembali fokus dengan ponsel di tangannya sambil sesekali berdiri untuk merenggangkan tubuh kemudian duduk kembali di kursi kayu yang keras.

Berbeda dengan adiknya, Steven sejak tadi tidak bergerak sama sekali dari posisinya. Laki-laki itu terlihat tenang dari luar dan tidak bersuara. Tapi, tidak ada yang tahu kalau sebenarnya di kepalanya, ia sibuk membuat rencana lain bila gadis itu benar-benar tidak datang.

Apakah ia harus menaikkan jumlah uang yang akan dipinjamkannya kepada Karen Wilson?

Atau ia harus setuju dengan ide gadis itu dimana mereka akan menghadiri acara di Budapest sebagai temannya? Atau ...

Otaknya terus berputar memikirkan segala macam cara yang bisa digunakan untuk membujuk gadis itu, meskipun beberapa diantaranya lebih mirip seperti ancaman.

Sementara Steven larut dalam pikirannya sendiri, suara Gary tiba-tiba menyadarkannya dan ia menoleh ke samping.

"Kurasa dia memang sudah cukup putus asa sampai setuju dengan ide gilamu." gumam Gary mengangkat wajah dari ponsel dan menatap lurus ke arah pintu masuk di ujung lorong dengan ekspresi tidak percaya.

Steven mengikuti arah tatapan adiknya dan sebuah senyum kemenangan muncul di bibirnya. Semua ide-ide yang muncul di kepalanya tadi langsung menghilang tidak berbekas seiring dengan langkah kaki Karen Wilson yang mendekat dan berhenti tepat di depannya.

"Maaf, aku terlambat." kata gadis itu sambil melepaskan kacamata hitam yang dipakainya.

Steven berdiri dari tempat duduknya dan melihat kedua mata gadis itu yang agak merah kemudian wajahnya terlihat lebih pucat dibandingkan kemarin.

Sepertinya Karen Wilson belum tidur sama sekali. Tidak ingin membuat gadis itu berubah pikiran, Steven mengarahkan jarinya ke samping dan berkata. "Ini adalah adikku, Gary Tanzil. Dia yang akan menjadi saksi dari pihakku."

Karen mengalihkan tatapannya ke laki-laki muda dengan kemeja putih panjang yang terlihat santai sambil tersenyum lebar mengangkat sebelah tangan menyapanya. "Hai. Aku tidak menyangka suatu hari, aku akan memanggilmu kakak ipar."

Karen menyipitkan mata dan alisnya berkerut samar. Laki-laki bernama Gary ini terlihat tidak asing. Dan namanya seperti sudah sangat sering didengar oleh Karen. Tapi, sama seperti Steven dimana ia melihat laki-laki ini?

"Apakah kita pernah bertemu?" tanya Karen tiba-tiba dan membuat Gary menoleh ke arah Steven sekilas kemudian kembali ke Karen.

"Hmm.. Mungkin kita pernah tidak sengaja bertemu di jalan?" jawab Gary asal.

Karen tidak yakin dengan jawaban laki-laki itu. "Lalu, apa maksudmu dengan kata-kata tadi? Tidak menyangka kalau suatu hari kau akan memanggilku kakak ipar?"

Gary berdeham, lalu berkata, "Sebenarnya dulu kita pernah satu SMA. Dan ketika kelas sepuluh kita pernah satu kelas."

Sekilas ingatan tentang tujuh tahun lalu itu muncul kembali di kepalanya dan ekspresi di wajah Karen langsung berubah ketika menemukan kesamaan wajah laki-laki di depannya ini dengan orang itu. "Ah.."

"Kau ingat?" tanya Gary dengan wajah berseri-seri.

"Ya, Gary Tanzil. Aku ingat." balas Karen.

Laki-laki itu tersenyum puas kemudian melirik Steven dengan tatapan yang hanya bisa dimengerti oleh kedua orang itu

"Jadi, kita masuk sekarang?" sela Steven mengalihkan perhatian Karen kembali kepadanya.

Tanpa menunggu jawaban gadis itu, ia berjalan ke salah satu ruangan dan mengambil posisi duduk di depan petugas.

Karen mengikutinya dan duduk di kursi kosong di sebelah Steven. Petugas memberi salam kepada mereka berdua, kemudian meminta beberapa berkas yang harus dikumpulkan.

Gary meletakkan berkas milik Steven di atas meja dan Anna yang berdiri di belakangnya melakukan hal yang sama. Setelah memastikan data yang dibutuhkan sudah lengkap, petugas kemudian mengeluarkan dua buku kecil berwarna merah dan hijau masing-masing di depan Steven dan Karen.

"Selamat. Kalian sekarang adalah sepasang suami istri." kata petugas wanita di depan mereka sambil tersenyum lebar kemudian mengucapkan selamat ke arah Steven dan Karen bergantian.

Steven mengeluarkan sebuah kotak dari saku jasnya dan mengambil salah satu cincin dari dalam kotak kemudian melingkarkannya ke jari manis tangan kanan Karen.

Karen terdiam sesaat menatap cincin yang sekarang sudah melingkar di jarinya. Kemudian ia mengambil cincin lain dari kotak dan mendorong benda itu masuk ke jari manis Steven. "Aku harap kau menepati janjimu. Suamiku." Mata mereka bertemu dan Karen bisa melihat alis Steven yang terangkat.

Sebenarnya sejak tadi, Karen dan Anna sudah berada di mobil yang diparkir di seberang gedung. Hanya saja ia membutuhkan waktu yang lama untuk membulatkan tekad turun dari mobil. Rasanya tidak hanya mata dan tubuhnya yang berat, tapi hatinya terasa lebih berat.

Ketika ia sudah yakin kalau Steven tidak akan menunggunya selama itu disana, tiba-tiba matanya langsung melihat laki-laki itu di ujung lorong dari pintu masuk. Pada saat itu Karen sadar kalau tidak bisa mundur lagi.

"Aku akan kembali ke kantor." kata Steven ketika mereka semua berjalan ke arah pintu keluar gedung.

Karen berhenti melangkah dan menoleh, "Aku harus ke rumah sakit sekarang."

Steven mengangguk, "Kalau begitu kita bertemu di bandara nanti malam?"

"Oke." jawab Karen singkat.

Steven berjalan melewatinya menuju pintu keluar di mana mobil sudah menunggu dengan seorang laki-laki membuka pintu penumpang.

Gary tersenyum lebar dengan wajah berseri-seri ke arah Karen kemudian mengikuti Steven masuk ke mobil.

Karen menatap mobil itu sejenak dengan perasaan campur aduk.

"Sepertinya dia anak yang baik." komentar Anna ketika mobil sudah menghilang.

Karen mendengus, "Mendengarmu berkata seperti itu, aku baru ingat kalau usiamu hampir dua kali umur kami."

Anna tertawa kecil, "Maksudmu aku sudah tua?"

Anna yang memiliki tubuh dan wajah yang kecil terlihat lebih muda daripada usianya. Wanita itu selalu memakai baju berwarna gelap dan celana kerja hitam panjang yang membuatnya tidak terlalu menjadi pusat perhatian.

Karen tidak tahu banyak tentang Anna, tapi selama satu bulan terakhir ini ia mulai menyadari banyak hal tentang wanita itu. Salah satunya kemampuan analisa Anna yang sangat baik bahkan lebih baik dibandingkan dirinya, tidak salah ayahnya mempertahankan wanita itu di sampingnya di perusahaan.

"Jadi," kata Karen melanjutkan kata-kata Anna sebelumnya, "Aku bisa dengan tenang membiarkannya pergi kemana pun tanpa perlu takut kalau suatu hari dia akan membawa pulang gadis lain yang lebih muda dan cantik dibandingkanku ke rumah?" tanya Karen asal.

"Kalau pertanyaanmu adalah apakah dia tipe yang setia kepada pasangannya atau tidak. Hal itu tergantung siapa pasangannya." jawab Anna sambil mengangkat bahu.

"Tapi, menurutku dia seseorang yang akan memberikanmu cinta yang tidak pernah bisa kau bayangkan. Membuat siapa pun gadis yang dipilihnya menjadi orang yang paling bahagia di dunia, rela mengorbankan apa pun dan mencintai pasangannya lebih dari dirinya sendiri."

Karen mendengus tidak percaya, "Sepertinya mulai sekarang aku harus memanggilmu Madam Anna."

Wanita itu tersenyum, "Tapi, tipe laki-laki seperti itu yang paling sulit untuk diatasi." Ekspresinya berubah serius, "Karena sekali mereka kecewa, maka tidak ada cara untuk mengembalikan kepercayaan itu. Seperti kata pepatah, ketika hatimu hancur tidak akan ada cara untuk membuatnya utuh kembali."

Karen terdiam tidak berkomentar. Kalau apa yang dikatakan Anna benar, sepertinya ia adalah orang yang akan mematahkan hati Steven Tanzil. Jadi, sebelum hal itu benar-benar terjadi ia akan tetap berdiri di posisinya seperti sekarang tanpa berusaha mendekat ke arahnya.

***

Suara ponsel yang menandakan pesan masuk membuat Karen terjaga. Masih dengan mata terpejam, sebelah tangannya terangkat ke meja di samping tempat tidur berusaha mencari benda itu.

Masih dalam keadaan setengah sadar ia membaca pesan singkat dari Anna yang mengabarkan bahwa ayahnya sudah bangun.

Tiga hari sudah berlalu sejak ayahnya menjalani operasi di rumah sakit dan ternyata pada akhirnya laki-laki tua itu berhasil melewati masa kritisnya.

Melihat jam di layar ponsel, Karen menegakkan tubuh dan turun dari tempat tidur. Dengan langkah terseret ia masuk ke kamar mandi dan bergantian pakaian lalu keluar untuk sarapan.

Ketika masuk ke ruang makan, Mario Grasby terlihat sibuk mengatur beberapa menu di atas meja. Sepertinya tugas laki-laki itu selama dua hari mereka di Budapest bukan hanya sebagai asisten Steven, tapi juga pesuruh untuk membuat kopi dan membeli makanan.

"Selamat pagi." sapa Karen dan membuat laki-laki itu mengangkat wajah dari kantong belanjaan di tangannya.

"Selamat pagi, Bos." balas Mario dengan suara bersemangat dan senyum lebar. "Apakah tidur anda nyenyak?"

Karen tersenyum kecil dan mengangguk pelan. "Bagaimana denganmu?"

Mario menggosok kedua tangan di depan wajah dan menghembuskan udara hangat dari mulut. "Cuaca pagi ini dingin sekali. Aku pasti mati beku bila berada di luar sana lebih dari tiga puluh menit."

Karen menoleh ke arah jendela besar di ruang tengah dan melihat salju turun.

"Menurut perkiraan cuaca malam ini suhu akan mencapai minus satu derajat. Anda harus mengenakan pakaian yang tebal ketika keluar nanti." kata Mario mengingatkan.

Malam ini Karen dan Steven akan menghadiri International Design Award di Miskolc, kota yang berada sedikit di atas Budapest.

Acara ini sangat penting karena ia harus berhasil memperkenalkan Antonio Kuffmann kepada Steven Tanzil. Meskipun ia tidak yakin akan berhasil membujuk Antonio untuk bekerja sama dengan Royal Dome, setidaknya ia sudah membuka jalan untuk Steven dan apa yang terjadi berikutnya tergantung keberuntungan laki-laki itu.

"Anda mau sarapan apa?" tanya Mario sambil membuka kantong plastik dengan berbagai warna dari toko yang berbeda. "Ada Quiche, Bundás kenyér, Eggs Benedict, Vegan palacsinta, Avocado toast, Bacon, Salami, Mortadella, .."

"Kenapa kau membeli banyak sekali makanan untuk sarapan?"

Mario mengarahkan jari ke belakang dengan percaya diri, "Bos yang menyuruhku membeli semuanya. Katanya paling sedikit aku harus membeli sepuluh jenis makanan untuk sarapan."

Karen memiringkan kepala bertanya-tanya, "Alasannya?"

"Karena Bos bilang tidak ingin istrinya sampai kelaparan." Mario menjawab dengan nada suara kagum, "Aku tidak tahu kalo bos ternyata laki-laki yang romantis."

Ia menatap ke arah pintu dimana Mario mengarahkan jarinya. Sejak mereka sampai di Budapest, ia belum melihat Steven keluar dari ruangan itu sama sekali.

"Apakah dia sangat sibuk?" tanya Karen kepada Mario yang sudah menggigit sandwich dari salah satu kotak.

Mario berpikir sejenak sebelum menjawab, "Sejak dua hari lalu, aku hanya sempat tidur sekitar empat jam. Dan ketika aku tidur dan bangun, bos masih duduk di tempat yang sama dan sibuk dengan laptopnya. Sekarang sudah menjelang akhir tahun, jadi keadaan di kantor memang lebih sibuk dari biasanya."

"Tapi, sampai tidak punya waktu untuk makan?" balas Karen dengan alis terangkat.

Mario membuka mulut untuk menjawab, tapi tiba-tiba senyum di bibirnya mengembang dan matanya berkilat-kilat. "Bagaimana kalau anda mengantarkan sarapan ini untuk Bos sementara aku membuat kopi?"