webnovel

Destruction Wave Aura

Edward van Einzswerg, kami sudah lama menunggumu," kata seseorang yang sudah pasti pahlawan. Aku bisa merasakan mana-nya yang berbeda dari yang lainnya.

"Oh? Ada keperluan apa kalian semua denganku? Sampai-sampai mengikat pelayanku dengan sihir. Bisakah aku mendapatkan alasan yang cukup?" Mori bisa dijadikan sebagai alasan penyerangan dariku.

"Hah? Ada apa denganmu? Tentu saja, kau tahu sendiri, kan? Alasanku menemuimu."

"Quickly Slash."

Aku mengayunkan pedang yang dilapisi mana. Lalu menyelimuti tubuhku dengan aura. Mana yang biru dan aura yang merah. Aku suka bagaimana tubuhku terlapisi cahaya ini.

Padahal aku sudah yakin sekali mengayunkan serangan sekuat tenagaku. Dengan kecepatan ekstrem yang membuat mereka semua mundur ke belakang, menyiapkan kuda-kuda dengan wajah bodoh yang menganga. Kecuali si pahlawan yang satu ini.

Dengan mudahnya di memegang bilah pedangku sambil tersenyum. Seolah seranganku bukan apa-apa.

"Oi, oi, sejak kapan kau selemah ini? Jangan bilang hanya karena melawan Aulia dan beberapa keroco naga hening apalah itu, kau terluka parah."

Apa orang ini pernah melawan Edward sebelumnya? Siapa peduli. Karena kesulitan menarik pedangku kembali, aku melayangkan tendangan lutut ke perutnya sekuat dan secepat yang kubisa.

Namun tidak ada yang berubah. Apa-apaan dengan tubuh kokohnya ini? Aku mulai ingat siapa dia. Ada seseorang di angkatanku dulu yang badannya terlalu besar untuk disebut anak sekolahan. Rony, pahlawan yang menguatkan tubuhnya sampai ke tingkat berlian kata orang.

Setelah genggaman pedangnya sedikit renggang, aku menarik pedangku dan mundur beberapa langkah. Lawanku adalah pahlawan yang juga seniman bela diri terkenal. Rony si Iron Body. Besi terlalu lemah untuk menggambarkan tubuhnya. Yang membuatku heran tubuhnya jauh lebih proporsional dibandingkan terakhir aku melihatnya.

"Kupikir kau ada sedikit perkembangan, meski sedikit. Ada apa, Edward? Kau jadi lemah? Apa kau benar-benar Edward? Mana Soul Power-mu itu?"

Soul Power, mungkin itu kekuatan khas dari Edward. Sampai saat ini aku tidak pernah benar-benar menelitinya. Sama sekali tidak ada pengetahuan dalam jiwa ini. Aku juga hanya fokus membiasakan diri dengan tubuh Edward.

"Hah! Aku tidak perlu repot-repot menggunakan jiwa atau semacamnya hanya untuk melawanmu." Mari kita provokasi dia dulu.

"Apa kau bilang, bocah ingusan? Kau bahkan tidak bisa menang dengan jiwamu dulu, dan sekarang malah berani tidak ingin memakai jiwa. Terserahlah, aku akan menghajarmu saat ini juga."

Sekarang, aku harus serius. Beberapa orang di belakangnya tampak seperti tidak akan ikut campur. Aku punya kesempatan.

Kugenggam erat pedangku dengan tangan kanan. Lalu menggunakan aura merahku dengan pada seluruh tubuh. Aku sudah kebablasan memakai sihir pada pedang tadi. Sekarang aku hanya memakai aura. Memadatkan aura yang berkobar di pedang dan tubuhku. Tubuhku jauh lebih ringan, lebih ringan dari segenggam kapas.

Aku berlari ke arahnya dan melayangkan pedangku, atau begitulah pikirnya. Di tengah-tengah per sekian detik sebelum tangannya menggenggam bilah pedangku lagi, aku mengubah arah pedang, dari tebasan menjadi tusukan. Dan melemparkannya ke arah bahu kirinya. Otomatis dia menahan ujungnya dengan tangan kanan. Sementara aku bergerak ke sisi kiri, mencoba mendaratkan tendangan, tapi urung. Karena tangan kirinya segera mendekat. Aku bergerak dari atas tangannya, menggulingkan tubuhku di udara. Lalu meraih gagang pedangku.

Tiga serangan. Aku akan mengalahkannya dengan tiga serangan. Dengan cepat aku kembali mengaliri pedang dengan aura yang sempat terputus tadi, menusuk bahu dan telapak tangannya yang menahan ujung pedang.

"Fatal Stab." Satu serangan. Pedangnya mengelupas daging di telapak tangannya dan menembus bahu kirinya. Ini adalah skill yang kukembangkan sendiri. Melancarkan tusukan yang jauh lebih berat dari gravitasi, begitulah kataku.

"Quickly Slash." Dua serangan. Terlalu sedikit jika hanya tusukan. Ini adalah skill yang mempercepat tebasan yang tak terhitung jumlahnya, tapi bagaimana kalau hanya satu tebasan. Aku hanya memakai satu tebasan yang lebih cepat dari kecepatan cahaya, tapi kekuatannya setara dengan banyak tebasan. Meski tidak terlalu panjang luka yang dihasilkan, tapi setidaknya berhasi memotong tubuh kerasnya segaris lurus ke arah dada.

Dan yang terakhir, serangan penutup. Aku memegang pedang dengan kedua tanganku. Ini skill terbaru yang kukembangkan. Sebuah gerakan memotong secara berputar.

"Twisted Slice."

Memutar pedang yang tertancap di dadanya. Tetap saja dia bisa melayangkan pukulan telak padaku. Hanya sepersekian detik saat aku berhasil melayangkan serangan terakhir. Sebuah pukulan yang menghantamku beberapa meter jauhnya. Dan membuatku memuntahkan darah.

Pukulan yang tepat di dada. Napasku tersengal. Aliran aura-ku jadi kacau dibuatnya. Sungguh serangan yang mematikan. Jika dia berhasil memberikan dua atau tiga pukulan lagi, sudah pasti aku yang kalah.

"Kau mungkin berhasil memberi luka yang cukup serius meski aku memakai armor kulit naga. Tapi hanya sampai di sini, Edward," katanya dengan tersenyum seolah dia yang telah menang.

Aku berdiri kembali dan tertawa terbahak-bahak. Sambil menghapus darah di mulutku. "Lihatlah dulu dadamu itu. Apa yang tertinggal di dalamnya?"

Dia melihat dadanya di sebelah kiri. Armor kulit naganya yang berwarna merah mencolok memang sedikit retak akibat seranganku. Tapi jauh di dalamnya ada aura yang tertinggal. Yang bergerak memutar mengikuti luka dari serangan ketiga tadi. Dan perlahan meretakkan tulangnya, lalu merusak dagingnya. Terus menyebar dan tambah lebar.

"Aku menyebutnya, Destruction Wave Aura, yang mengikis dadamu itu."

"Bajingan kau, Edward. Haha! Aaarrrggghhh! Argh!"

Dadanya hancur, tapi yang mengejutkan adalah jantungnya tetap utuh meski tidak baik-baik saja. Karena telah diselimuti oleh aura-ku. Ada seorang penyembuh di belakangnya, wanita yang tampak seperti biarawati.

Biarawati itu segera merapalkan mantra dan menyembuhkan lukanya, tapi tidak berhasil. Beberapa orang yang lainnya meneriakkan namanya dan memandang ke arahku.

"Edward! Aku akan membunuhmu!" kata mereka berteriak sambil berlari. Mereka tidak sekuat Rony, jadi mudah saja menghabisi mereka. Luka di dadaku juga mulai sembuh.

"Berhenti kalian, anak bodoh! Meski dia terluka, kalian tidak akan bisa melawannya. Ini juga sudah jadi konsekuensi permintaanku dulu."

Permintaan? Apa maksudnya?

Mori segera menghancurkan sihir yang mengekangnya. Dan berlari ke arahku.

"Tuan, ini berlebihan. Meski Anda berduel serius dengan Tuan Rony, dia bisa mati kalau begini."

Eh? Kenapa Mori malah khawatir dengan orang yang mengekangnya. Tunggu dulu, kalau dipikir-pikir, kenapa yang lainnya tadi tidak ikut bertempur. Juga kenapa aku tidak merasa niat membunuh darinya, ya.

"Bukankah dia rekanmu? Ini sudah berlebihan, kan?" Vania ikut menambahkan.

Rekan? Apa si Rony ini rekannya Edward. Yah, bisa gawat kalau begini. Baiklah, mari kita ubah tujuan awal.

Aku berjalan mendekati Rony yang tergeletak. Kepalanya di pangkuan si biarawati yang sedari tadi menangis.

"Aku bisa menyembuhkan ini. Yah, kalau kau mau. Karena kau pasti akan mati sebentar lagi, tapi setidaknya aku bisa menghentikan aura yang berkecamuk itu."

"Kalau begitu, saya mohon kemurahan hati Anda, Tuan Edward. Saya tahu suami saya ini memang bodoh, tapi tolong maafkan dia dan selamatkan dia," punya si biarawati.

Bagaimana bisa Rony yang seperti gorila ini dulu menikahi biarawati yang cantik.

"Tidak, aku akan malu kalau begitu. Ini sudah janji kita dulu. Aku juga lelah jadi pahlawan. Mati di tanganmu adalah hal yang baik bagiku."

Oh, ya? Aku yakin ada alasan di balik itu. "Rony, jadilah sekutuku. Maka aku akan menyelamatkan nyawamu dan menguatkan kemampuan yang kaumiliki."

"Omong kosong apa lagi ini? Kau tahu, mati perlahan itu menyakitkan. Jadi, aku mohon padamu, hancurkan jantungku dengan mana-mu."

Dia benar-benar mau mati, ya. Aku masih kesulitan mencari informasi mengenai Earth Divission. Kepalanya pasti bisa dimanfaatkan. Dan aku perlu mengetahui alasannya bertarung denganku.

Ada kemungkinan karena janji atau semacamnya antara dia dengan Edward di masa lalu. Yang paling memungkinkan adalah Earth Divission itu sendiri. Mori juga tidak tampak seperti disandera.

"Ada alasan mengapa banyak pihak saat ini mengincarku. Bukan begitu? Di kepalamu pasti ada yang tidak kau ketahui tentangku. Jadi, ini bukan omong kosong. Aku bisa membuatmu kembali seperti semula. Bahkan jadi lebih kuat."

Dia terenyak beberapa saat. Setelah hening di antara kami, kecuali Isak tangis, dia kembali membuka mulut.

"Aku tidak ingin meninggalkan istriku. Apa pun itu, aku mohon padamu, Edward van Einzswerg!"