webnovel

Honkai Impact: Deviation of Imagination (Indonesia)

Di luar Laut Quanta yang penuh kekacauan, di luar Pohon Imajiner yang sistematis, Eksistensi dari luar muncul membawa kekuatan dari makhluk transenden yang asing. Dan keberadaan anomali ini, akan membawa dunia di bawah genggamannya! --- Modifikasi Konten pada [15/4/23] --- [Disclaimer!]: Picture Belong to Artist. Honkai Impact Belong to Hoyoverse!

Skartha · Video Games
Not enough ratings
31 Chs

VII. 'Raiden Mei': My Time Has Come

Berbeda dari Raiden Mei dinaungi oleh kesendirian dan berkubang dalam kegelapan diskriminasi, Kiana Kaslana adalah tipe yang lebih populer dengan kepribadiannya yang bersemangat.

Namun, Kiana Kaslana, tidak mengikuti rute gadis populer dan malah memilih untuk berteman dengan gadis kesepian, Raiden Mei, yang tidak lagi kesepian.

"Selamat pagi, Mei-senpai!" Kiana dengan bersemangat memeluk Mei dari belakangnya.

"Kiana-chan." Mei tentu saja terkejut berkat itu, tapi dia tetap tersenyum padanya. "Selamat pagi juga untukmu."

Itu adalah hal yang bagus, tapi Mei sudah tidak ingin terlalu banyak teman lagi. Dia sudah puas dengan Elias yang tenang dan Kiana yang bersemangat disekitarnya. Itu sudah cukup baginya.

"Selamat pagi, Kiana, Mei." Elias mendatangi kedua gadis muda itu. Mei tersenyum kepadanya, dan balik menyapanya. "Selamat pagi, Elias."

"Selamat pagi!" Kiana menjawab dengan semangat yang khas. Seperti biasanya, dia sangat energik.

Mei memandang keduanya dengan penuh kasih di dalam matanya. Mereka berdua adalah teman-temannya yang berharga, dia benar-benar beruntung mendapatkan teman seperti mereka berdua…

"Apakah kamu baik-baik saja, Mei-senpai?" Kiana bertanya dengan khawatir.

"Aku baik-baik saja, Kiana-chan. Aku cuma sedikit berpikir."

Mendengar jawaban Mei, Kiana memasang wajah cemberut, "Kenapa Mei-senpai jadi mirip Elias sekarang? Dia jadi banyak berpikir…"

"Eh?" Mei jadi linglung. Kenapa orang berpikir di mirip-miripkan?

Mungkin karena dia belajar bersamaku… sementara Elias menjawab dari dalam batinnya. Semenjak Mei belajar di bawahnya untuk mendapatkan bekal masuk universitas pilihan nanti setelah lulus kelas tiga, dia mengembangkan kebiasaan merenung berpikir sambil berdiri seperti Elias.

Walaupun mereka masih kelas dua sekarang, tapi Mei sangat bersemangat untuk belajar banyak pengetahuan baru. Jadi dia belajar bersama Elias, diajari olehnya.

"Bagaimana kau menyadarinya, Kiana?" Elias bertanya kepada gadis itu—yang saat ini memiliki ekspresi senyum sombong.

"Hehe, tentu saja karena aku jenius. Dan karena itu Mei-senpai, aku bisa dengan mudah melihatnya."

"Jadi begitu." Jadi kebiasaan bisa tersalurkan ke orang lain, yang sering berinteraksi dan sudah beradaptasi dengan orang itu. Mei dengan tenang berpikir.

Kiana tentu saja menyadari dia melakukan itu lagi, tapi bukan dia yang menyadarkannya—Elias adalah orang yang melakukannya kali ini. Dia menepuk bahu Mei. "Baiklah Mei, berhenti berpikir seperti itu di jalan. Akan berbahaya kalau nabrak nanti."

"Benar. Maaf." Mei mengangguk, menyadari keadaannya yang terlalu fokus pada pikirannya.

Kehidupan sehari-hari yang damai seperti ini harus dinikmati selagi bisa. Tidak perlu mendapatkan yang berlebihan, di masa depan, Elias akan melalui masalah yang lebih besar—bahkan ada kemungkinan jika dia bertemu dengan Higher Being di dunia ini yang ingin mengusirnya ataupun membunuhnya dari dunia ini.

Jika tujuannya tidak berlawanan dengan ideologi Elias, dia akan membuat aliansi dengan makhluk itu. Dan berbicara soal ideologi, Elias teringat dengan Stigmata.

Project Stigma. Tidak perlu dijelaskan, namanya sudah menjelaskan segalanya. Di dunia ini, para pejuang memiliki sebuah tanda di tubuh mereka bernama Stigmata, entah itu artifisial ataupun alami.

Jadi apa artinya?

Dunia ini adalah "pohon" yang punya insting untuk menghancurkan peradaban. Dan di pohon itu, ada seorang manusia yang bukan sepenuhnya manusia sedang mengawasi.

Orang itu berasal dari peradaban kuno generik yang memiliki teknologi lebih maju daripada zaman ini. Seperti biasa, peradaban itu hancur karena Honkai, dan sebelum sepenuhnya dihancurkan, mereka membuat beberapa proyek untuk mempertahankan peradaban masa kini dari kehancuran yang sama.

Salah satunya adalah Stigma. Elias, yang memiliki pengetahuan tentang masa depan dunia ini mengetahui suatu fakta—sekitar setidaknya dua tahun kemudian (jika badai yang sayapnya sebabkan tidak terlalu kuat), dunia akan mengalami Mugen Tsukuyomi versi teknologi.

Untuk itu, Squad V dan aliansi tiga organisasi besar harus mengalahkan Kevin dan mengambil kekuatan Finality agar mereka bisa menyegel Honkai dan membangunkan orang-orang dari mimpi mereka.

Elias merasa ingin tertawa ketika dia mengingatnya. Ini benar-benar mirip dengan skenario anime ninja tertentu! Bahkan kepergian Mei yang memasuki Jormungandr mirip seperti pria emo tertentu dengan masalah keluarga…

'Tunggu— kalau dipikir-pikir lagi… perang terakhir ini juga perang saudara, kan? Mengingat dua karakter punya beberapa hubungan kekerabatan…' Elias mengerutkan dahinya, dia menemukan kemiripan lain lagi…

Jadi apakah masa depan gadis dengan Alter Ego itu akan sama seperti masalah dari anak sang protagonis anime ninja?

Elias diam dengan tenang membayangkan seorang gadis yang memiliki rambut pendek dengan rona biru sedang berhadapan dan bersiap untuk bertarung dengan gadis berambut perak. Dan latarnya berada di sebuah daerah yang porak-poranda.

"Elias Hyde!"

Perhatian Elias dengan cepat menuju ke arah sang guru yang menatapnya dengan tidak sedap. "Karena kamu termasuk salah satu murid teladan di kelas ini, silahkan maju dan jawab pertanyaan ini," kata guru paruh baya itu, menunjuk pada pertanyaan di papan tulis.

Kejadian klise lainnya… tapi tidak apa-apa. Dia selalu ingin melakukan hal ini juga, dia terlalu tua untuk memasuki akademi sihir sebagai murid, dan malah menjadi guru—tapi tanpa kejadian itu, dia tidak akan menemukan murid kesayangannya. Elias bangkit dari bangkunya dan bergerak ke depan.

Ketika dia berada dihadapan papan tulis, dia membaca soal itu dengan cermat. Bahkan murid terbijak dan terjenius pun bisa salah jika dia ceroboh.

Tangannya dengan cepat menulis jawaban di papan tulisnya. Untuk mendapatkan kejadian klise yang diinginkan, Elias harus serius. Tidak lama kemudian, Elias meletakkan kapur dan menghadap guru itu.

"Sudah Pak, boleh saya kembali?"

Guru itu mengangguk setelah melihat pekerjaan Elias. "Kerja bagus. Silahkan kembali."

Ini mengecewakan. Dia tidak mendapatkan kejadian yang diharapkan, tapi tidak apa-apa, dia sudah puas setelah mengerjakan beberapa soal. Guru itu kemudian melanjutkan penjelasannya pada pelajaran itu. Ngomong-ngomong, ini adalah salah satu pelajaran yang sangat dia kuasai mengingat sebagai penyihir, kau harus menguasai setiap perhitungan dan penalaran untuk menciptakan sihir sendiri.

Manusia menggunakan kecerdasan mereka untuk mendapatkan hasil maksimal dengan usaha minimal. Elias tidak berbeda, dia menghafal semua pelajaran yang merupakan percabangan dari sains untuk menciptakan setiap fenomena alam yang dia kenali. Dari fusi bintang, hingga singularitas lubang hitam.

Untuk memahami semua itu, di masa lalu Elias memerlukan sihir pikiran, Occlumens. Yang bisa memberikannya kemampuan untuk mengakses Mindscape dan menciptakan ruang pikiran yang bisa dilebarkan ke dunia luar.

Begitulah cara Elias memahami semua pengetahuan yang bersarang di dalam kepalanya. Dia bukan jenius yang sebenarnya, semua pengetahuannya berasal dari usaha, jadi dia harus menggunakan lebih banyak kerja keras bahkan setelah memahaminya—untuk membiasakan dirinya.

Elias selalu melakukan apa yang orang bijak tertentu selalu katakan, "99 persen usaha dan 1 persen bakat." Jika tidak, dia tidak akan menjadi dewa dengan usaha dan bakatnya sebagai penyihir.

Dia selalu melakukannya. "Demi kebaikan yang lebih besar untuk diri sendiri." Elias menggumamkan kata-kata motivasi yang dia ingat pernah menjadi favoritnya saat masih di Bumi asalnya.

Tapi setelah mengatakan itu, entah kenapa dia mendapatkan getaran seperti orang kuat yang punya pikiran jahat dan berpura-pura baik untuk mencapai tujuan itu, seperti Sosuke Aizen. 'Aku tidak boleh membiarkan Kiana mendengar kata-kata itu atau dia akan melakukan sesuatu yang berbahaya kepadaku.'

Untuk pencegahan, Elias menciptakan penghalang suara ditubuhnya.

Elias memandang Mei yang berwajah netral. Laki-laki itu menyentuh bahunya, mengejutkan gadis itu, membuatnya melihat sang pelaku.

"Apakah kamu baik-baik saja, Mei?" Elias bertanya dengan khawatir. Mei diganggu lagi, tapi kali ini bukan oleh tiga sekawan dan duo laki-laki yang sama di masa lalu—mereka orang yang sama sekali berbeda.

'… Bahkan jika Kiana sudah berada di sini dan aku menjadi tambahan di dalam tim, dia masih didiskriminasi secara terang-terangan oleh siswa lainnya.'

Mei mengangguk, tapi dia masih memiliki ekspresi seperti sesuatu yang rumit telah terjadi, "Ya… aku baik-baik saja…."

"Katakan saja, aku mungkin bisa membantumu." Elias membalas, tapi Mei sedikit ragu untuk mengatakannya, walaupun dia masih mengatakannya. "Aku mendengar suara jahat di dalam kepalaku, dia menyuruhku membalas semua perbuatan orang-orang ini… Elias-kun, apakah aku sudah gila?"

Jadi ada kemungkinan dunia memberitahu Elias untuk membangkitkan Ratu Petir. Yah, keberuntungannya yang luar biasa benar-benar sangat membantunya dalam hal ini.

Namun, kemungkinan dewa Honkai memintanya melakukan hal itu sangatlah kecil, dan ini lebih seperti salah Elias… 'Sebaiknya aku tidak memanipulasi energi Honkai saat di dekat Mei atau Kiana.'

Dia membubarkan energi Honkai disekitarnya dan menggunakan daya hidupnya sendiri yang tidak terbatas untuk menghasilkan energi sihir.

Tapi dia tidak bisa mengecewakan harapan gadis di hadapannya. 'Tapi bagaimana kalau aku mempengaruhi mentalnya? Apakah dia akan berhasil bangkit?'

Ide konyol untuk memanfaatkan kekecewaan Mei untuk membangkitkan kepribadian keduanya muncul di dalam kepalanya. Ini beresiko tapi patut dicoba.

'Aku pernah memanipulasi pikiran orang di masa lalu, walaupun tidak gagal, tapi hasilnya kurang memuaskan, jadi akan kutolak ide ini.'

Pokoknya, yang terpenting sekarang adalah. "Mei, kita akan membicarakannya lagi nanti, setelah jam pulang. Apakah kamu punya memar atau apapun?"

"Aku baik-baik saja." Mei kali ini memiliki ekspresi yang lebih tenang, ekspresinya melembut, "Terima kasih sudah mempercayaiku Elias-kun."

"Tenang saja Mei." Elias menjawab dengan serius, "Yakinlah. Aku akan selalu membantumu selama kamu menginginkannya."

"Aku mengerti." Gadis itu memandang laki-laki itu dengan lega.

Walaupun mengatakan bahwa dia akan melakukannya, Elias tidak yakin dengan metodenya. Energi Honkai berbeda dari energi sihir, walaupun mereka punya karakteristik yang hampir sama seperti menjadi beracun ketika terlalu banyak.

'Kalau begitu, gunakan saja konversi energi.'

Menggunakan energi sihir, lalu mengubahnya menjadi energi Honkai untuk Gem of Conquest makan. Dengan keadaan itu, kepribadiannya yang lain mungkin akan muncul—ya, selain lonjakan emosi yang cukup kuat seperti protagonis ninja oranye tertentu, dia bisa diberikan lonjakan energi Honkai untuk membangkitkannya.

Atau menggunakan manipulasi pada pikirannya, untuk membuat emosinya tidak stabil dan ditambah dengan Mei yang diberi makan energi Honkai, akan menciptakan Herrscher.

Jika gagal, Mei akan terluka parah dan bahkan mungkin mati karena energi Honkai, dan dia mungkin akan mengalami masalah kepribadian di metode kedua karena manipulasi pikiran. Bisa saja keduanya menyatu menjadi satu…

Elias tidak tahu apakah ini akan menarik pengamat dari "dedaunan" yang ada di "pohon", tapi dia berharap pria itu tidak sembarangan ikut campur. Tapi Elias rasa, kemungkinan pria itu ikut campur sangat kecil mengingat tujuannya adalah untuk umat manusia.

Tanpa terasa, waktu sudah berjalan cukup banyak, bel jam terakhir sudah berbunyi. "Mei-senpai! Elias! Ayo pulang." Kiana dengan bersemangat mengajak keduanya.

"Baiklah, ayo." Elias berkata, membuat Mei kebingungan. Namun, dia saat itu merasakan ponselnya berdering. Dia menemukan pesan dari Elias—pemuda itu akan datang ke rumahnya.

Mei mengedipkan matanya, dia membacanya sekali lagi. Elias akan datang ke rumahnya. Semburat merah muncul dari pipinya yang putih. Mei tersipu memikirkan seorang laki-laki berada di kamarnya… apalagi laki-laki itu adalah…

"Hmm? Mei-senpai kenapa?" Kiana bertanya dengan kebingungan pada dirinya sendiri melihat Mei yang berjalan sambil menunduk.