webnovel

History Of Melofranist

Untuk sementara sejak tulisan ini dibuat, saya kemungkinan besar akan jarang update karena banyak sekali hal yang harus dilakukan. ### Ada sebuah Dunia bernama Melofranist. Melofranist adalah Dunia yang diciptakan oleh Pencipta Solares, dan sejarahnya berhasil kita rekam dalam bentuk sebuah kisah. Kisah ini, tidak menceritakan tentang sebuah perjalanan hidup seorang tokoh. Melainkan, menceritakan tentang perjalanan sebuah Dunia – dari terbentuk sampai hancur. Kisah yang luar biasa panjang, yang terdiri dari berbagai kacamata sudut pandang tokoh-tokoh. Setiap Akhir, merupakan sebuah Awal yang baru. Begitupun sebaliknya. Walaupun Melofranist Runtuh, tetapi itu juga merupakan Awal dari Cerita Baru. Begitu juga dengan Melofranist yang terbentuk dari sebuah akhir Cerita Lama. ### Note: Dalam Sipnosis paragraf pertama, disebutkan kata "kita". Ya, itu tidak salah. Karena mereka adalah yang bertugas merekam segala sejarah dari berbagai Dunia milik Pencipta yang tak terhitung jumlahnya, kedalam bentuk cerita yang bisa dinikmati. Dengan kata lain, membuat sebuah pelajaran sejarah menjadi sebuah cerita yang menyenangkan untuk dilihat. Dan Melofranist, adalah salah satu kisah dari sebuah Dunia di antara Dunia seluruh Dunia yang ada di Alam Semesta. Melofranist, merupakan satu dari Dunia-dunia di Alam Semesta yang setiap volumenya akan memiliki tema dan genrenya tersendiri – tidak terfokus pada satu tema atau genre. UPDATE Update: Diusahakan 1 Ch/Minggu Isi: Sekitar 3-4k words/Chapter Mohon dimengerti, karena saya harus mengerjakan segalanya sendirian, termasuk editing. PERINGATAN Plot Armor disini tipis untuk setiap Character. Lagipula, ini adalah kisah sebuah Dunia, bukan Tokoh. Intinya, yang suka Happy Ending dan Cerita yang Ringan mending mikir dulu. Novel ini memiliki banyak Ending untuk setiap Characternya - entah baik atau buruk. Kemudian, dalam Novel ini, akan mengandung banyak sekali detail, konsep, filosofi, dan beberapa adegan yang agaknya sadis atau kurang senonoh. Karena itulah, dimohon pengertiannya untuk para pembaca dalam membaca. Catatan Author: Saya seorang Penulis baru, dan ini karya pertama saya. Saya tahu bahwa Novel ini terlalu besar untuk saya kerjakan dengan skill saya. Tetapi saya akan terus berusaha dan memperbaiki Novel ini – tak peduli apa, saya tak akan pernah "Drop" Novel ini. Rencananya, akan ada puluhan Volume untuk Novel ini. Lagipula, Novel ini bercerita tentang sejarah panjang dari sebuah Dunia bernama Melofranist. Dan, jika ada kesalahan, bisa tolong di komen ya… Sekian, Terima Kasih dan Selamat Membaca.

Melofranist · Fantasy
Not enough ratings
14 Chs

Chapter 11 - Jangan Menangis (2)

==Pov Urcas==

Aku dan Elfie, kami berdua sekarang sedang berjalan keluar dari desa.

"Kita mau ke mana?" Tanya Elfie.

Kemana… kemana… sebenarnya kita bisa pergi ke Altar Dunia, tetapi akan aneh jadinya, jika aku tiba-tiba mengajaknya ke sana.

Mungkin… hmm.. mungkin kita bisa ke tempat yang indah?

Indah.. indah… indah…. Tidak-tidak-tidak-tidak..-, memangnya ini indah?!

Malam di hutan ini sangat dingin dan sepi, sehingga tempat ini terasa angker. Tidak ada yang indah!

"Kemana saja, terserah Elfie."

"Baiklah..."

Setelah itu, Elfie mulai berjalan lurus, ke arah tertentu.

Kami keluar dari desa, dan mulai memasuki area hutan.

*Swirl…

Seperti yang kuduga, kalau malam hari di Hutan Felven sangatlah dingin menusuk. Aku mengeluarkan mantel, dan menggunakannya.

Pemandangan Hutan Felven saat malam, cukup indah sekaligus horror.

Satu-satunya keindahan yang tampak, adalah keberadaan garis-garis cahaya biru-putih.

Itu tampak indah, saat garis-garis tipis cahaya biru-putih yang melewati dedaunan rimbun, dan menyinari tanah. Garis cahaya itu membentuk pilar cahaya, seperti menghubungkan tanah dengan langit.

Dan jika aku melihat ke atas, maka seringkali aku akan tersilaukan oleh cahaya rembulan dari sela-sela ranting pohon.

Sedangkan untuk sisanya, hanyalah sesuatu yang menakutkan.

Tidak ada suara apapun, selain suara hembusan angin, ranting dan dedaunan yang beradu.

Langkah kaki yang menginjak dedaunan gugur, terdengar sangat nyaring di malam yang sepi.

Setiap aku melihat ke kiri dan kanan, pikiran buruk seperti, "Apa yang ada di balik pepohonan gelap tersebut?" Atau, "Apakah kegelapan yang di sana akan kemari, dan menyelimuti kita?" Atau, "Apa yang menunggu di depan sana?"

Pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal, kupikirkan.

Kami berjalan… berjalan dalam diam. Walaupun Elfie memimpin di depan, tetapi dia terlihat tak gentar sedikitpun, saat melangkah maju ke hutan gelap yang tak ku tahu apa yang akan menanti kita di sana.

Tapi ya.. sepertinya Elfie hanya berpura-pura berani saja. Buktinya adalah pada tubuhnya yang bergetar hebat sepanjang waktu.

Elfie terdiam sebentar, dan saat aku ingin bertanya, "Ha-..Chi..", dia bersin dengan pelan. Suara bersinnya menggelegar, di tempat sepi seperti ini.

Setelah Elfie bersin, dia kembali berjalan seperti tidak terjadi apa-apa.

Sedangkan aku…?

'Kenapa aku bisa egois seperti ini!? Hingga aku melupakan Elfie yang bahkan hanya memakai pakaian lebih tipis daripada aku!' pikirku, merasa bersalah.

Kenapa aku tak memikirkannya sejak awal? Sejak tubuhnya mulai bergetar hebat karena dingin.

Elfie sendiri, menggunakan gaun tipis, yang hanya berfungsi sebagai penutup bagian dari tubuh yang wajib ditutupi – dada, perut, selangkangan, dan paha hingga lutut.

Selebihnya, dia praktis bugil dari terpaan angin dingin.

"Elfie..."

Elfie berhenti berjalan, tapi tak menengok ke arahku.

'Yah.. sepertinya dia marah padaku, kan? Karena aku tidak peka. Ya, dia pasti kesal, pasti kesal…', pikirku negatif.

"Ini Elfie, pakailah", kataku seraya memberikan sebuah jaket.

"Terima kasih..."

"Sama-sama..."

Elfie menerimanya, dan mencoba memakainya. Tetapi dia terlihat kebingungan saat sedang menggunakan.

"Apa perlu kubantu?"

"He-m..", Elfie mengangguk atas tawaranku.

Kemudian aku berjalan ke depannya, dan menurunkan tubuhku hingga pandanganku sejajar dengan dadanya.

Aku membantunya memakai jaket tersebut, dan mengaitkan resleting jaket.

Tetapi karena terlalu gelap, aku mulai menunduk, hingga kepalaku sejajar dengan perutnya.

Setelah pengait terpasang, aku mulai menarik resleting ke atas, sampai ke lehernya.

Selama melakukan itu, pandanganku tidak bisa berpindah dari dadanya. Dan karena itulah aku merasa sangat menyesal.

Kenapa aku menyesal?

Itu karena….

"Baiklah.. sudah selesai."

"Te-terima kasih-..."

Ya… itu karena aku tak bisa melihat ekspresinya saat mengucapkan "Terima kasih" dengan nada malu-malu.

Saat mengucapkan itu, dia segera melangkah ke depan dengan cepat – kembali memimpin di depan.

Dia berjalan cepat, meninggalkanku di belakang. Seperti dia, tak membiarkanku melihat wajahnya.

Aku tidak tahu seperti apa ekspresi wajahnya sekarang, tetapi itu pasti menyenangkan untuk dilihat.

Hanya saja, melihat dia selalu berjalan di depan, dan selalu berjalan lebih cepat saat aku mencoba menyusulnya. Dia pastilah sangat gugup, atau malu, atau mungkin saja.. marah, padaku?

Entahlah, tapi aku sangat yakin, kalau ekspresi wajahnya pasti menyenangkan bila bisa kulihat.

Tetapi sialnya, mataku terus terpaku pada dada dan perutnya yang tertiup angin, sehingga gaunnya sedikit memberi gambaran kasar lekuk tubuhnya – termasuk bagian berbentuk lingkaran menonjol di dada.

Ada apa dengan mataku…? Aku juga tidak tahu!

Ini benar-benar sebuah masalah serius, mengenai nafsuku yang meningkatkan drastis sejak di Melofranist. Sekali lagi, ini adalah masalah serius!

Aku sangat kesulitan untuk bisa fokus pada suatu hal, karena pandangan dan pikiranku terfokus ke hal lain.

Pertanyaan seperti, "Seperti apa bentuknya..?", "Apa warnanya?", "Mengapa itu bisa sangat besar?", "Mengapa itu sangat menggoda?", "Apa yang ada di balik gaun itu?" Semua pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalaku pada situasi tertentu – contohnya adalah seperti situasi barusan, dan saat memeriksa mulut Sewi untuk mengetahui pernapasannya.

Ahem… Sekarang kembali ke kenyataan. Aku merasa kalau semakin kita jauh dari desa, populasi lumut cahaya juga mulai berkurang. Jika terus begini, bisa-bisa kita akan terbutakan oleh kegelapan malam.

Setelah aku memikirkan solusi, akhirnya, aku memutuskan untuk membuat sebuah alat, yang bisa digunakan sebagai penerangan.

"Elfie, tunggu sebentar."

Elfie berhenti berjalan, tetapi tidak melihat, menjawab atau melihat ke arahku.

'Yah… sepertinya dia marah padaku ya..? Kalaupun dia malu atau gugup, setidaknya dia pasti akan menjawab, kan?' pikirku.

Kemudian, aku mulai mencari beberapa ranting dan beberapa lembar Lumut Cahaya.

Setelah terkumpul, aku mulai menempelkan lembaran lumut cahaya di serumpun ranting yang telah disatukan. Aku menggunakan sebuah tali plastik, yang kugunakan agar lumut cahaya bisa diikatkan ke ranting.

Dan jadilah, sebuah obor. Obor alami, yang dapat menerangi radius maksimal 2 meter dalam cahaya biru. Setidaknya, itu bisa membantu menerangi jalan di depan.

"Elfie, pegang ini", aku memberikannya pada Elfie.

"Ini… apa ini, Tuan?" Elfie mengambil obor buatanku dengan agak kasar. Dan, yah.. itu semakin membuatku yakin kalau dia marah padaku.

"Sebut saja obor."

Dan perjalanan berlanjut dengan Elfie yang terus mengamati obor buatanku.

Sampai-sampai, Elfie tersandung oleh sebuah akar pohon yang mencuat kecil.

"Aack..! Auuwww..… sakit…!"

Aku ada di belakang Elfie, dan jarakku sangat dekat. Tetapi aku tak bisa memegangnya, disaat dia tersandung jatuh.

Semua itu terjadi begitu cepat, hingga aku tak bisa merespon tepat waktu.

Saat Elfie sudah terjatuh, saat itulah aku reflek menangkap Elfie. Tetapi, itu sudah terlambat, dan aku hanya menangkap udara.

Elfie, dia terjatuh dengan seluruh tubuh menghantam tanah.

Baik wajah, dan seluruh bagian depan tubuhnya menjadi kotor oleh tanah. Itu pasti sakit sekali, karena seluruh tubuhnya merasakan dampak dari jatuh.

Saat ini, aku sedang berjongkok, dan berusaha membersihkan wajahnya dari kotoran yang menempel.

"Uuuh…." Elfie merintih sakit, dan wajah merahnya meringis – saking putihnya kulit Elfie, aku bisa tahu kalau wajahnya memerah, walaupun hanya bermodalkan cahaya dari obor lumut cahaya.

Elfie mengelus sakit dahinya, dan aku dengan spontan memutuskan untuk meniupnya dengan mulut.

*Fuh…~

Seketika, gerakan Elfie berhenti dan menatapku.

"A-apa yang Tuan lakukan..?!" Elfie menutupi dahinya dengan kedua tangan.

"Hah..? Apa?"

'Apa maksudnya..? Kenapa dia tiba-tiba berteriak begini?' pikirku tidak mengerti.

"Ah..! Tidak.. tidak jadi. Tidak apa-apa."

Setelah itu Elfie membersihkan tubuhnya sebentar, dan mulai berdiri.

"Terima kasih...", setelah mengatakan itu, Elfie segera lanjut berjalan di depan.

Ada apa dengannya? Kenapa dia tiba-tiba begini? Biasanya dia akan ceria, dan berbicara padaku agar suasana tidak menjadi canggung.

Tetapi sekarang, dia malah menjadi pendiam seperti ini. Dan situasi mulai terasa sangat canggung.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang, tetapi aku bisa tahu kalau mentalnya sangat labil.

Jika aku mengasumsikan, maka kemungkinan besar Elfie menjadi seperti ini adalah karena kejadian makan malam tadi.

Mungkin dia marah padaku, karena merasa dirinya direndahkan di depan semua orang.

Ya, aku merujuk pada pembicaraan tentang peraturan Elfie yang mengharuskan semua orang untuk hanya makan sehari sekali, dan tak boleh makan diluar dari jam makan malam.

Aku percaya, kalau dia sedang sedih, sekaligus marah padaku karena masalah itu.

Di sini, akulah yang salah. Tentu saja jika aku mengecualikan yang menjadi pokok permasalahannya, dan hanya melihat fakta bahwa diriku merendahkan dirinya di depan semua orang.

Dan yang kupikirkan sekarang, adalah bahwa akulah yang salah. Aku merasa bersalah, karena aku terlalu menyakiti perasaannya.

Elfie, dia hanya seorang anak yang tak tahu apa-apa, yang bahkan dia membuat keputusan tanpa sebab jelas. Tanpa tahu apakah itu benar atau salah, dia mungkin melakukannya sambil tersenyum.

Elfie tidaklah bermaksud untuk melakukan itu, tetapi semua orang menganggapnya salah, bahkan aku juga.

Walaupun memang benar, jika Elfie yang salah. Tetapi, aku juga harus memperhitungkan emosi Elfie yang masihlah labil.

Dia mungkin sadar, bahwa dirinya salah. Tapi dia tak siap menerima rasa sakit, saat seseorang memandangnya salah.

Tapi, yah… semua hanyalah asumsi. Aku tak boleh seratus persen mempercayainya, tanda bukti yang jelas.

Beberapa menit berlalu, dan suara air mulai terdengar.

Ini adalah suara air terjun yang tadi siang kudatangi.

Populasi lumut cahaya juga mulai bertambah, semakin dekat aku ke sumber air.

Selang 2 menit, akhirnya kita sampai pada sebuah air terjun.

Pemandangan di air terjun-.., yah… tidak seburuk yang kubayangkan.

Ada banyak lumut cahaya yang tumbuh subur di bebatuan pinggir sungai.

Cahaya bintang dan bulan juga dapat menyinari area sekitar tanpa terhalang pepohonan. Begitupun juga dengan sungai, yang bagaikan sebuah cermin yang merefleksikan langit malam.

Dibandingkan di desa atau hutan, di air terjun masih lebih baik.

Dan pastinya, mataku terasa agak sakit karena pencahayaan terang di malam hari seperti ini.

Pada malam hari, mata menjadi lebih sensitif terhadap cahaya. Karenanya, cahaya biru terang seperti ini terasa sedikit membakar mataku.

Jika Altar Dunia adalah tempat yang nyaman dan hangat, maka air terjun di malam hari ini adalah tempat yang dingin, sepi dan damai. Sesekali, mungkin akan bagus jika aku ingin menyendiri di sini.

"Ini…."

"Apa..?"

"Aku tidak menyangka kalau akan seindah ini", Elfie tertegun saat melihat cahaya terang yang terpantul dari permukaan sungai.

Yah.. harus diakui, kalau selama aku di Hutan Felven. Ini adalah kali pertama, aku melihat pemandangan yang indah.

Tetapi…

"Elfie, apa kamu mau lihat sesuatu yang lebih indah lagi?"

"Lebih indah..?"

"Ya.. sekarang tutup matamu, balik badan dan jangan mengintip! Ingat! Jangan mengintip! Sampai aku memberi izin, jangan mengintip!" Aku memperingatinya berkali-kali.

"Ba-baiklah…", Elfie menjawab gugup, sambil memejamkan mata, dan menutupnya dengan telapak tangan.

Ya, aku bermaksud untuk menyebarkan Benih Kehidupan di sini, di air terjun ini.

Aku tidak tahu pasti, apakah dengan menyebarkan Benih Kehidupan di sini akan memperindah tempat ini. Tetapi aku merasa bahwa, lebih terang akan menjadi lebih indah.

"Jangan buka matamu, ingat..", aku mengingatkannya sekali lagi, karena aku benar-benar khawatir jika matanya terbutakan – seperti aku kemarin.

Aku mengeluarkan Botol Kaca yang berisi cairan kuning bercahaya dari Ruang Penyimpananku.

Kemudian, aku membuka sumbat tutup botol, dan menuang Benih Kehidupan ke permukaan air sungai.

Aku memposisikan mulut botol serendah mungkin, cukup dekat dengan permukaan air – mungkin sekitar 5 cm. Setelah itu, Benih Kehidupan keluar dari mulut Botol Kaca.

Seperti sebelumnya, Benih Kehidupan jatuh dengan kecepatan yang sangat lambat. Seperti sebuah hologram, Benih Kehidupan melayang jatuh perlahan tanpa terpengaruh oleh gaya apapun.

Aku memperkirakan, kalau kecepatan jatuh Benih Kehidupan sekitar 1 detik untuk setiap 5mm.

Pada detik ke-7 aku memperhatikan, aku memutuskan untuk segera menutup mata dan berbalik badan.

1.. 2.. 3.. dan…

Tanpa ada suara sedikitpun, kegelapan tergantikan dengan cahaya putih yang memenuhi penglihatan mataku yang terpejam – cahaya seperti saat aku melihat matahari secara langsung dengan mata tertutup.

Pada momen selanjutnya, cahaya putih itu menghilang, dan menyisakan bintik-bintik merah dan biru dengan latar belakang sedikit putih terang pada penglihatan mataku yang terpejam.

Aku membuka mataku, dan penglihatanku menjadi membiru dan buram.

(Note: Kalian bisa coba, pejamkan mata dan nyalakan senter HP. Setelah itu, tempelkan senter ke kelopak mata yang terpejam, diamkan selama semenit kurang, dan bukalah mata kalian. Tapi ingat, ini mungkin berbahaya. Jadi lakukan saja sekali, dan jangan berkali-kali.)

Aku menengok ke belakang, dan mendapati sebuah sungai emas. Sungai yang tadinya gelap, berubah menjadi sungai emas bercahaya.

Cahaya yang luar biasa terang, terpancar dari air sungai.

Cahaya kuning itu sangat terang, dan menyilaukan. Aku mengarahkan pandanganku ke arah lain selama beberapa saat karena tak kuat melihat.

Pandanganku yang tadinya membiru dan buram, juga berangsur-angsur kembali normal.

"Hwaaah…! Indah sekali..!" Elfie berteriak terpukau.

'A-.., anak ini…', ucapku geram dalam hati.

Aku belum memberinya izin untuk membuka mata, tapi sekarang dia malah melanggarnya.

Aku ingin marah, tetapi mengingat dirinya yang cengeng, segera membuat niatku terurungkan.

Hah… lagipula, bukankah lebih baik aku bersyukur? Karena tak terjadi apa-apa pada matanya.

"Tuan.. ini indah sekali..."

Aku belum melihat semuanya, karena itu terlalu menyilaukan.

'Lagipula, apa matamu tidak kesakitan Elfie..? Atau mungkin matanya sakit, tapi dia menahannya karena dia terlalu bersemangat melihat?' pikirku.

Aku mengangkat wajahku, dan mengamati sekitar. Mataku sudah mulai terbiasa dengan cahaya terang.

Area sekitar, berubah menjadi seperti sore hari – seperti saat matahari akan terbenam.

Benih Kehidupan mewarnai air sungai menjadi sebuah sungai bercahaya. Itu tampak seperti air berubah menjadi lava encer yang berpijar.

Selain sungai bercahaya, lingkungan sekitar kita juga dipenuhi dengan Benih Kehidupan yang melayang kesana-kemari, di antara lumut cahaya, dan pangkal batang pepohonan.

Hanya perasaanku saja atau apa, tetapi aku merasa kalau Benih Kehidupan yang tersebar, lebih banyak ketimbang di Altar Dunia.

"Ya Elfie, nikmatilah.."

Ya… berbeda dari sebelumnya. Saat ini aku bisa dengan sangat jelas melihat wajah Elfie yang terpukau.

Wajah melas yang tadi di Ruang Makan, telah hilang entah kemana.

Senyum kecil terpampang di wajahnya, sembari dia melihat kesana-kemari.

Aku juga menikmati melihat pemandangan indah ini, karena ini kali pertama aku melihat sesuatu seperti ini secara langsung – bukan melalui layar monitor.

Elfie juga bergerak kesana-kemari, mencoba menyentuh Benih Kehidupan yang mengambang.

"Hahaha…", aku menertawakan kelakuan Elfie yang seperti anak kecil, yang penuh rasa ingin tahu.

Selama beberapa waktu kita menikmati pemandangan indah itu, sampai akhirnya cahaya mulai meredup.

Benih Kehidupan mulai bergerak dan terbawa arus sungai. Pemandangan sungai emas itu hanya berlangsung sekitar 1 menit.

Walaupun meredup, tetapi masih ada bintik-bintik cahaya yang masih melayang di dalam air. Ada juga Benih Kehidupan yang mengambang di atas permukaan air.

Permukaan sungai merefleksikan cahaya bintang di langit, sehingga sungai akan tampak seperti dipenuhi bintik cahaya kuning dan putih.

Perpaduan itu, membentuk sebuah lukisan indah, seperti melihat langit malam berbintang putih dan kuning – jika aku melihat air.

Menurutku, ini lebih indah daripada yang sebelumnya – saat sungai bercahaya kuning seperti lava cair.

Ah…! Benar juga! Benih Kehidupan itu "terbawa" arus, kan? Apa jangan-jangan…-

Baiklah, aku ingin mencobanya, sebuah eksperimen.

Aku mengeluarkan botol kaca kosong, kemudian mengisinya dengan air sungai yang mengandung Benih Kehidupan.

Dan entah bagaimana, ini berhasil! Maksudku, Air yang mengandung Benih Kehidupan berhasil tertampung di dalam botol kaca.

Ini agak aneh, karena sebelumnya saat aku mencoba untuk menamparnya di udara, itu tidak berpengaruh sedikitpun – seperti sebuah hologram.

Dan dengan ini, aku bisa menyimpulkan kalau Benih Kehidupan adalah benda fisik dengan wujud nyata, bukan sebuah Energi yang tak tersentuh.

Artinya, Benih Kehidupan bisa disentuh. Hanya saja tidak bisa dengan tangan kosong seperti ini.

Buktinya adalah, Benih Kehidupan tidak bisa keluar dari botol yang telah kututup ini. Benih Kehidupan memantul saat menyentuh kaca botol.

Untuk pergerakan, Benih Kehidupan tetap bergerak seperti tidak terkena gaya gravitasi atau gaya sentrifugal. Saat aku mengocoknya, Benih Kehidupan memantul kesana-kemari di dalam botol.

Tetapi, jika aku harus membuat hipotesis. Maka Benih Kehidupan kemungkinan besar adalah benda mikro. Atau mungkin lebih kecil lagi, hingga seukuran atom, karena saat kutampar, Benih Kehidupan tidak terpengaruh sedikitpun.

Intinya, aku bisa sedikit percaya, kalau ukuran sebenarnya dari Benih Kehidupan adalah sangat kecil. Terlalu kecil, sehingga aku harus menyerah menggunakan benda seperti kaca pembesar. Minimal, aku butuh Mikroskop, itupun aku ragu bisa melihatnya.

Tapi… apa perlu untukku memikirkan hal tak berguna itu? Disaat aku sendiri sibuk menyebarkan Benih Kehidupan.

Apa yang perlu aku pikirkan sekarang, bukanlah mengenai hal-hal tidak berguna seperti itu. Yang perlu aku pikirkan, adalah bagaimana caraku untuk menyebarkan Benih Kehidupan ke seluruh Melofranist, atau paling tidak setengahnya.

Kembali ke Air Benih Kehidupan, aku berhasil menciptakan sebuah penemuan.

Ya.. secara teknis, ini baru 3 hari sejak Kehidupan ada. Dengan kata lain, akulah yang pertama kali menemukan ini.

Penemuan yang aku maksud, tidak lain tidak bukan adalah sumber cahaya abadi. Ya! Aku merujuk pada Benih Kehidupan yang tercampur dengan air ini, dan tertampung di dalam botol kaca.

Lampu ini, dapat menerangi area dalam radius setengah meter.

Tapi aku tidak puas akan hal itu, karena aku tahu, bahwa jumlah Benih Kehidupan ini tidak sebanyak saat aku baru menuangkan Benih Kehidupan – saat air sungai masih bercahaya seperti lava pijar.

Seharusnya, aku mengambil air saat tepat aku menyebarkan Benih Kehidupan di air. Disaat air masih bercahaya dalam warna kuning emas, dan menghasilkan cahaya yang sangat terang.

Jika aku bisa menampung air yang mengandung Benih Kehidupan dalam jumlah besar. Maka aku bisa mendapatkan sebuah sumber cahaya, yang dapat menerangi sekitar.

Dengan kata lain, kita, aku dan para elf bisa makan malam bersama tanpa harus gelap-gelapan. Aku bisa menggunakan ini, sebagai lampu abadi, tanpa membutuhkan energi apapun.

Tapi yah.. kita lihat saja nanti. Apakah Benih Kehidupan ini akan terus bercahaya selamanya, atau tidak.

Yang paling penting, sekarang aku mengetahui kalau Benih Kehidupan adalah benda fisik, yang bisa disentuh.

"Tuan? A-apa itu?"

"Hwaa…- Kamu mengagetkanku!"

Sepertinya aku terlalu fokus pada pikiranku sendiri, hingga aku tidak sadar Elfie sedari tadi memperhatikanku.

"Ini.. sebut saja Lampu."

"Lampu?"

"Ya.. Lampu."

Lampu, aku lebih suka menyebut ini sebagai Lampu ketimbang menyebutnya sebagai Lentera.

Bukan tanpa alasan aku menyebut ini Lampu. Alasan aku menyebutnya begitu, karena kupikir nama "Lentera" terdengar primitif dan biasa saja. Nama Lampu lebih baik, karena itu terdengar modern.

"Ambilah, ini untukmu Elfie."

"Sungguh…?"

Ya.. aku masih punya puluhan botol kaca alkohol yang bisa dipakai ulang.

Lagipula, botol kaca yang kuberikan padanya berukuran sangat kecil. Mungkin hanya sekitar 100 ml.

Yah.. mungkin dia bisa menggunakannya sebagai lampu tidur, daripada sebagai penerangan.

"Ambil ini…", kataku sambil menyodorkannya ke tangannya.

"Terima kasih Tuan…! Terima kasih!" Elfie, dia menangis sambil mengucapkan terima kasih.

Elfie menerima hadiah untuk pertama kalinya. Aku bisa tahu, bahwa hari ini adalah hari yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Sampai-sampai dia menangis….- tunggu, menangis?

Aku tak salah lihat! Elfie benar-benar menangis!

"Elfie..? K-kenapa nangis?"

"Sob. Tidak apa-apa..."

Ayolah.. kenapa dia malah menarik diri seperti ini..?

Sejak makan malam, dia benar-benar berubah – tidak seperti Elfie yang kukenal, yang selalu ceria.

"Katakan saja.. kenapa kamu menangis..?" Aku bertanya dengan nada lembut.

Untungnya itu efektif, dan Elfie mulai berbicara dengan nafas yang agak tersengal-sengal.

"A-aku pikir..-, Tuan..- ma..-rah padaku-..", ucapan Elfie terdengar agak tak beraturan – namanya juga menangis, kan?

Marah? Bagaimana..? Bagaimana bisa aku marah padanya? Kenapa aku harus marah juga? Memangnya kenapa?

"Tidak.. aku tidak marah."

"Hiks. Benarkah…?" Elfie bertanya memastikan, dengan nada berharap, dan suara sedih.

"Ya.. sungguh. Lagipula, kenapa kamu berpikir kalau aku marah padamu?"

"Tuan tidak bicara sedíkitpun saat di hutan. Tuan juga terdengar marah saat makan malam. Dan kupikir, Tuan juga marah karena aku membuka mata tanpa izin Tuan."

Ah.. iya.. sebenarnya aku ingin memarahinya, tapi tak jadi karena takut dia menangis.

Sekarangpun, dia sedang menangis. Yang mana, membuatku semakin mengurungkan niat untuk membahas mengenai itu.

"Ya.. sebenarnya aku marah. Tapi yah, sekarang kamu sudah menyesalinya."

Tunggu, kalau dipikir-pikir. Kenapa kita malah membicarakan tentang aku yang marah? Memangnya aku ini terlihat marah ya? Perasaan, aku tak bermaksud atau memarahinya sama sekali.

Malahan aku berpikir kalau Elfie lah yang marah padaku. Karena dia mengacuhkanku sepanjang waktu di hutan.

"..."

"Intinya, aku tak marah."

Saat aku mengatakan itu, Elfie langsung bereaksi dengan kembali menangis. Padahal, dia sudah mulai membaik saat aku menjelaskan.

"Huee…. Jadi Tuan gak marah padaku..? Hiks."

Kenapa lagi ini..? Kenapa dia menangis lagi? Apa yang salah dengannya hari ini? Atau akulah yang salah?

Ah.. benar juga. Apa aku bisa mendapat "Buku Panduan Elfie"? Atau paling tidak buku panduan mengurus anak yang tantrum di Ruang Penyimpananku? Aku harus membacanya sebelum berbicara pada Elfie kalau tahu akan seperti ini jadinya.

Sayangnya, sekarang aku tak punya waktu melakukan itu. Lagipula, memangnya ada ya, 'Buku Panduan Elfie'?

Hmmm.. Aku harus bagaimana sekarang..?

"Hu-uuu..~ Hiks. Uhuk.. uhuk..", Elfie terbatuk saat menangis.

Haah… cengeng sekali.

Apa Pencipta juga merasakan hal yang sama padaku saat aku masih kecil ya?

"Minumlah...", kataku, menyodorkan gelas plastik yang berisi air.

Ya.. gelas plastik. Aku tidak mau kejadian Layen tadi siang terulang jika aku memberikannya botol air untuk minum – aku tak ingin gaunnya basah.

"Gulp.. gulp.. gulp.. gulp.."

Elfie menyambar gelas, dan langsung menghabiskannya dalam sekali minum.

"Sob."

"Sudah.. sudah, berhentilah menangis", kataku sambil meletakan tanganku di atas kepalanya, dan mulai mengusapnya dengan lembut.

Entah kenapa aku melakukan itu, karena tubuhku bergerak sendiri.

Aku meletakkan tanganku di atas kepalanya. Kemudian aku mulai mengusapnya dengan lembut.

Huaa…~ Sungguh.. ini sangat menyenangkan, membelai rambutnya yang halus dan lembut.

"Chup.. chup.. chup.. jangan menangis ya.. Elfie kan, anak baik…"

Aku lanjut berbicara, tapi tanganku masih terus bergerak mengusapnya. Tanganku tak bisa berhenti, karena itu terasa enak saat memberinya usapan.

Rasa geli di tanganku, dan rasa halus dan lembut rambutnya.

"Aku bukan anak-anak..!" Elfie terdengar marah.

Ah..! Mulutku malah keceplosan. Tapi.. bagaimana ini?

Dia adalah anak-anak, dan itulah faktanya. Maksudku, dia orang dewasa, tapi mentalnya masilah anak-anak. Sehingga wajar bagiku menganggapnya sebagai anak-anak.

Tetapi, jika aku tetap bersikeras mengatakan kalau dia adalah anak-anak. Maka nanti dia akan menangis lagi – begitulah yang kupikirkan.

"Ya.. ya.. kamu bukan anak-anak. Jadi jangan menangis lagi..."

Ya, aku tak mau melanjutkan ini lebih lama lagi.

Melihat dia menangis karena aku, membuatku merasa bersalah walaupun ini sebenarnya bukan kesalahanku.

Ini normal menurutku, karena sebagai Manusia, aku adalah makhluk sosial. Walaupun harus ku akui, kalau selama aku hidup, aku hanya berhubungan sosial dengan Pencipta saja.

Karenanya, aku merasa sangat kurang dalam hal kemampuan sosial.

Semua yang kulakukan, berdasarkan dari apa yang kutahu dan perasaanku.

Ambil contoh, aku membelai Elfie sekarang, karena aku berpikir bahwa dia anak kecil. Dan setahuku, anak kecil suka saat seseorang membelai kepalanya.

Anak kecil itu mudah tantrum, tapi aku akan berusaha untuk mencoba, atau paling tidak pura-pura mengerti dirinya.

Seperti aku sekarang, yang sedang melakukan apa yang menurutku benar. Memberinya usapan di kepala, dan mencoba mengerti dirinya.

Apakah ini berhasil atau tidak? Apakah ini benar atau tidak?

Aku tidak tahu, karena semua tergantung pada Elfie. Apakah dia anak-anak, atau seorang yang dewasa.

Kita lihat saja seperti apa respon selanjutnya.

"Sa-...."

"Hah..? Apa?" Elfie menghentikan ucapannya, karenanya aku bertanya.

"Sampai kapan kamu akan terus mengelusku…!?"

Eck..? Bukannya anak-anak suka, jika kepalanya diusap ya…?

"Aku bukan anak kecil, jadi hentikan", Elfie memasang bibir cemberut yang dibuat-buat.

Matanya yang basah, mulut cemberut dan hidungnya yang sedikit basah.

Itu nampak sangat lucu saat digabungkan dengan sikapnya yang sok dewasa.

A..-aa..aaaa..~ Aku tak tahan lagi…

"Uuuhh..~"

Aku merasa sangat gemas, sehingga aku meremas kedua pipinya.

"...?" Elfie memasang wajah bingung saat aku tiba-tiba meremas kedua pipinya.

Ya, aku meremasnya.. menggunakan seluruh jariku, bukan mencubitnya menggunakan dua jari.

"Pffft..!"

Fwahahahaha…! Lihat wajahnya itu!

Wajahnya melebar karena pipinya kuremas. Kelopak mata bagian wajahnya sedikit tertarik, dan memperlihatkan warna merah daging.

Ditambah sudut matanya yang memerah akibat dia mengusapnya terlalu banyak saat menangis barusan.

Pokoknya, wajahnya terlihat sangat lucu..!

"Afwa.. fwa.. fwa…. Shakhit…" (Aww…wa.. wa…. sakit…)

Karena aku meremas pipinya, bibirnya menjadi ikut tertarik, sehingga Elfie jadi kesulitan berbicara.

"Ahahaha…!"

"Jhanghan thethafwa!" (Jangan tertawa!)

"Ya.. habisnya kamu lucu sih.."

Aku melepas remasanku.

"Aku tidak lucu!"

Kamu tidak lucu? Sungguh…?

Ouh.. ayolah. Aku tahu kamu hanya sok dewasa, dan itulah yang lucu darimu.

Tetapi, tentu saja aku tak akan mengatakan itu langsung padanya.

"Ya.. maaf..."

"Hemph!" Elfie mendengus kesal.

*Silent...

Setelah itu kami saling diam. Selama waktu itu, Elfie selalu menghirup ingusnya kembali.

Aku merasa tak nyaman saat dia melakukannya, jadi aku memberinya sapu tangan.

"Ambilah, buang ingusmu itu", kataku.

*Sproot..!

"Terima kasih..", kata Elfie sambil mengembalikan sapu tanganku.

"Ya.. itu untukmu saja."

"Untukku..?" tanya Elfie bingung.

"Ya, untukmu. Kamu kan..- Chengeng. Jadi kamu lebih membutuhkan."

Aku memberi penekanan pada kata "Cengeng".

"Aku tidak cengeng…! Tidak cengeng..!"

Sebenarnya, alasan aku memberikannya adalah karena aku jijik jika harus mengambilnya kembali. Dan aku juga punya banyak.

Alasan lainnya, karena dia memang cengeng. Daripada dia harus mengusap matanya dengan tangan, lebih baik menggunakan sapu tangan agar matanya tidak lecet.

"Fuahahaha..!"

Aku merasa geli pada diriku sendiri, saat mengusilinya seperti ini.

"Tidak .. cengeng.. tidak... cengeng…."

Sepertinya dia menyadari kalau dirinya memang cengeng. Itu tampak dari suaranya yang semakin pelan, di penghujung kalimat.

"..."

Dan sekarang dia memasang wajah sedih, mengernyitkan dahi, dan air mata terbentuk di sudut.

Apa lagi perasaan ini? Aku selalu merasa tak enak saat melihatnya menangis seperti ini.

Ya.. tentu saja sebagai makhluk sosial, aku sadar bahwa ini karena salahku. Aku sudah terlalu mengusilinya berlebihan – aku melakukan sesuatu yang disebut perundungan.

Hah… Sepertinya aku harus berhenti-.. Ya, aku harus.

"Elfie, mari kita bicara."

"...?" Elfie memiringkan sedikit lehernya, sembari melihatku dengan mata basahnya.

===