webnovel

HIRAETH.

Mark yakin dialah pemeran utama dalam hidup ini. Setelah didesak bertahun-tahun, dia berhasil menikah dan membangun rumah baru bersama dengan Adora, seorang wanita tangguh di sisinya. Kehidupan pernikahan yang berjalan terlalu lancar jelas menghasilkan tepuk tangan meriah dan rasa hormat tinggi dari seluruh anggota keluarga. Tapi apakah memang semudah ini? Mark adalah seorang pianis dan Adora sejak dahulu hadir sebagai penikmat seninya. Mereka yang sama-sama jatuh cinta melalui sebuah pertunjukan musik pun mulai dilanda kegelisahan hebat. Hidup dalam satu atap yang sama ternyata tidak menjamin mereka akan mati pada perasaan yang sama. Semakin lama, tepuk tangan yang Adora berikan mulai terdengar penuh kehampaan. Iris hitam istrinya itu tidak lagi mengarah pada panggung utama, melainkan bergulir dan jatuh tepat ke arah sosok seorang lelaki asing di bangku penonton paling depan. Malam di musim gugur akhir tahun, Mark akhirnya menyadari bahwa tidak hanya daun-daun saja yang jatuh berguguran, tapi juga hatinya sendiri. Dia kembali kerumah untuk menemukan perabotan-perabotan di dalamnya masih tersusun rapi, jelas berbanding terbalik dengan perasaannya sendiri. Rumah yang selama ini dia bangun di atas pujian dan rasa hormat semakin lama semakin terasa jauh. Mark padahal yakin sudah berdiri di depan pintu masuk, tapi dia merasa belum juga disambut kehangatan. Hanya gelap dan dingin yang dia dapat-tentu tanpa Adora. "Kembalilah. Rumah terasa asing tanpa dirimu." Adora mendongak pelan mendengarnya. "Sejak awal aku memang tidak pernah ada disana, Mark."

beemaibi · Urban
Not enough ratings
7 Chs

Bab 3 “EFFLORESCENCE”

efflorescence🥀:

mekar atau berkembang.

**

Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam hari, tapi suasana rumah keluarga Hils terasa seperti baru saja menyambut pagi hari. Meja bekas santapan malam yang belum rapi mereka acuhkan begitu saja. Diiringi lantunan nada Canon in D Major karya Pachelbel dari Mark, Thomas dan Paulina lebih memilih untuk sibuk berdansa di ruang keluarga mereka. Adora pun turut meramaikan suasana, walaupun sejak awal dia hanya duduk diam sambil bertopang tangan di atas lid piano.

"Tidurlah, sudah terlalu larut!" Mark mendongak sekilas, masih dengan jari yang bergerak kesana kemari untuk menggerakkan martil. "Kau harus bekerja kan besok?"

"Entahlah. Jarang sekali rasanya melihat Ayah dan Ibu seperti ini. Mereka lebih sering duduk diam menyendiri setelah Johnny memilih menyewa apartemennya sendiri," sahut Adora seraya membenarkan rok bagian belakangnya dan duduk di sisi Mark.

"Kau bisa bermain piano juga?"

Adora menolak halus. "Aku tidak ingin menghancurkan reputasimu di depan Ayahku."

"Ada disini agaknya membuatku merasa merindukan rumah. Sudah hampir lima tahun lebih aku tidak pulang ke rumah keluargaku di Jenewa."

"Tapi kau ada disana, kan?"

Mark mengangguk singkat. "Jadwal latihan di agensi benar-benar padat. Tidak ada yang memiliki banyak waktu bebas. Kalau aku mendapat cuti libur, paling-paling aku malah pulang ke Manhattan."

"Kenapa?"

"Kakek selalu kesepian," balas Mark iba. "Dia tinggal sendirian selama hampir tiga tahun. Ayahku dan putra-putranya jarang sekali berkunjung, jadi kakek lebih banyak menaruh harapan padaku dan cucu-cucunya yang lain."

"Hubungan saudara kandung memang memusingkan," tambah Adora setuju. "Ayahku juga dijauhi terang-terangan oleh saudaranya. Hanya karena dia sendiri yang pindah dan menetap di Bern, mereka langsung menganggapnya tidak peduli lagi pada hidup kakek."

"Ayahmu bukan dari Bern?"

Adora menggeleng, bersamaan dengan berhentinya lantunan nada dari grand piano di bawah kuasa Mark. Thomas bertepuk tangan ke arah mereka, mengucapkan banyak terima kasih sebelum menggiring Paulina ikut masuk ke dalam salah satu kamar bersamanya. Adora sempat melambaikan tangan pelan lalu beralih memegangi bahu Mark untuk memintanya bangkit berdiri.

"Ayo, kau harus beristirahat!" katanya. "Aku akan menyiapkan kamar tamu lebih dulu. Kau mau ikut membantu?"

"Tidak perlu. Aku akan kembali saja ke hotel."

Adora mengernyit tidak yakin. Dilihatnya jam dinding antik tiga lubang di sisi dinding ruang tengah yang menunjukkan pukul setengah satu malam. Ternyata kehadiran Mark benar-benar memberi dampak luar biasa bagi suasana rumah Adora. Setiap malam hari, ketika Adora pulang ke rumah ini tanpa kehadiran Johnny, Thomas dan Paulina terbiasa hanya duduk sambil sesekali bercakap-cakap kecil tentang kehidupan mereka di masa datang. Mereka akan berbicara tentang area pemakaman di Bern atau gedung mana yang akan cocok untuk digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan Adora nanti. Maka dari itu, berkat permainan piano luar biasa Mark, ini menjadi hari pertama mereka mengenang pesta dansa masa lalu.

"Lagipula besok pagi aku sudah harus kembali ke Jenewa," beritahu Mark. "Barang-barangku di hotel belum ada yang aku siapkan."

Bahu Adora lemas penuh penyesalan. "Maaf, aku tidak tahu kau akan pulan besok. Tahu begitu, aku pasti langsung mengantarmu pulang tadi."

"Kenapa minta maaf? Seharusnya akulah yang mengatakan banyak terima kasih padamu dan kedua orang tuamu hari ini," balas Mark sembari tertawa geli. Tangannya naik guna mengacak rambut di puncak kepala si gadis. "Terima kasih banyak ya, Adora. Karena mungkin kedua orang tuamu sudah pergi tidur, jadi sampaikan saja ucapan terima kasihku besok."

Adora mengangguk tegas. "Sudah pasti."

"Hari terakhirku di Bern!" desah Mark sedih. "Bagaimana kalau kau memberiku satu dansa untuk permainan piano selama dua jam tadi?"

Walaupun mengerutkan kening pura-pura tidak mengerti, Adora nyatanya tetap melangkah mendekat setelah meletakkan selimut ruang keluarganya dengan sembarang di atas tuts-tuts piano. Dia melirik ragu-ragu ke arah tangan Mark yang kini terjulur lembut.

"Ini sudah malam," bisiknya sambil membuang wajah malu-malu.

Mark mendengus, tertawa sebentar. Dia menarik pinggang Adora mendekat dan mulai berusaha menyamakan gerakan langkah mereka tanpa iringan lagu sedikit pun. Adora merunduk menahan tawa, sadar benar bahwa mereka berdua sama-sama tidak lincah dalam hal perdansaan. Gerakan mereka benar-benar kaku sampai Adora bahkan kerap tanpa sengaja menginjak telapak kaki Mark yang telanjang beberapa kali. Anehnya, Mark tidak kelihatan terganggu akan ulah si gadis. Dia masih bergerak pelan, mengacuhkan canggung asing di antara keduanya.

"Kau tidak bisa menari," komentar Adora sambil menumpukkan dagunya di atas bahu kanan Mark.

"Kau juga."

"Di umurku yang ketujuh tahun, ligamen lututku pernah robek karena mengikuti kelas balet," cerita Adora. "Karena itu aku selalu menghindari tari. Sakitnya masih aku ingat benar sampai sekarang."

Pergerakan kaki Mark mendadak berhenti. Mesikpun sudah diam, tangannya tidak juga lepas dari pinggang Adora. "Kau tidak bercerita sejak awal!"

"Aku berusaha melupakannya," balas Adora tenang. "Lagipula cepat atau lambat, traumaku harus pulih, kan?"

Mark mengangguk kaku, memutuskan untuk ikut kembali bergerak setelah Adora yang kali ini memimpin langkah. Mungkin memang hanya pinggang Adora yang tersentuh telapak tangannya kini, tapi Mark sudah seperti memiliki semesta dalam genggamannya.

"Aku akan bernyanyi."

"Oh, kau bisa bernyanyi?"

Adora tidak menjawab lagi, melainkan memulai nyanyiannya dengan suara yang agak lirih. Lagu Turning Page dari Sleeping At Last terdengar sampai ke telinga Mark, seolah-olah berhasil menghipnotis lelaki itu untuk melupakan seluruh beban hidupnya dalam satu waktu yang singkat.

**

"Kakek mulai sibuk menyiapkan pesta pernikahan untukmu," beritahu Natt ketika dia kebetulan harus pergi ke gedung agensi Muse.ic guna menemui Alicia. "Lebih baik kau katakan yang sejujurnya perihal bagaimana hubunganmu dan Yuja yang sudah kandas."

Lantunan nada River Flows In You mendadak berhenti. Mark membiarkan tangannya hanya mengambang di udara lalu melirik ke arah Natt sekilas. "Siapa bilang aku akan menikah dengan Yuja?"

Natt berdecih. "Jangan bercanda. Kau baru putus dalam hitungan beberapa hari. Mustahil kau sudah mendapatkan mempelai wanita lain, kan?"

"Nah, disini kesalahanmu." Mark berbalik pelan, membuat dirinya kini saling berhadapan dengan saudari sepupunya tersebut. "Kau selalu berkata ini mustahil itu mustahil. Ingat tidak waktu kau mengatakan Kakek Adams tidak mungkin menikah lagi? Lalu apa buktinya sekarang?"

Bahu Natt langsung lemas mendengarnya. Dia menjatuhkan tas selempang berwarna hitam yang sejak tadi dia bawa ke atas salah satu sofa chaise abu-abu di sisi Mark.

Natt merebahkan dirinya lelah sambil diam-diam memejamkan mata. Beberapa minggu belakangan, selain karena tanggal pernikahan Mark yang tiba-tiba sudah dicantumkan, Kakek Adams rupanya merasa masih belum cukup puas mengejutkan seluruh anggota keluarganya. Dia mengaku dekat dengan seorang wanita seumuran anak lelakinya yang pertama. Namanya Diana, seorang ketua perawat di Hirslanden Clinique La Colline, Jenewa.

"Kakek sudah gila," bisik Mark seraya pelan-pelan menggelengkan kepalanya. "Dulu aku pikir keluarga Adamslah yang paling harmonis dan tidak terkalahkan di Jenewa."

"Ternyata?"

"Memang tidak terkalahkan," sambung lelaki itu cepat. "Benar-benar hancur diluar dugaan."

"Aku yakin ayah-ayah kita semakin tidak mau berkumpul setelah ini," decak Natt putus asa. "Tapi aku juga tidak ingin menyalahkan Diana. Salah sendiri ayah-ayah kita jarang mengurusi hidup kakek. Sekalinya pulang, mereka malah berdebat sampai malam."

"Itulah seninya keluarga kita. Berdebat adalah yang nomor satu."

Tok! Tok!

"Alicia?"

Mark mengangguk yakin , bersaman dengan Natt yang sontak berteriak meminta si pengetuk agar segera masuk saja. Butuh sekitar tugas detik sebelum sosok Alicia terlihat dari balik pintu hitam tersebut. Melihat si adik sangat kesusahan membawa barang-barang di kedua tangan, Mark lantas buru-buru beranjak dan membantunya.

"Kak Natt sudah lama disini, ya?" tanya Alicia, cerah seperti hari-hari biasa. "Maaf aku agak lama. Kak Mark menitipkan kopi dari cafe baru tadi."

Natt berdecak acuh kemudian memperbaiki posisi duduknya supaya Alicia dapat turut bergabung. Mereka semua memegang cup kopi panas di tangan masing-masing sambil melayangkan tatapan penuh tanya ke arah satu sama lain.

"Jadi, bagaimana sekarang?"

Mark menyesap kopinya hati hati lalu balik bertanya, "Apanya yang bagaimana?"

"Kalau kau memang berencana menikah tahun ini, lebih baik kau wujudkan segera. Kalau Kakek menikah dengan Diana duluan, siap-siap saja pernikahanmu tidak dipedulikan keluarga."

"Tapi pernikahan Kak Mark jangan juga dijadikan ajang lomba seperti ini, Alicia," tegur Natt tidak terima. "Mempelai wanitanya saja belum diberitakan secara resmi."

Alicia berdehem kaku, diam-diam menyingkut perut kakak lelakinya itu dengan tangan kiri sambil menatapnya tajam. "Kenalkan kalau begitu. Sekarang."

"Adora Hils."

Natt meringis. "Siapa lagi itu?"

"Calonku."

"Kau menyebut gadis yang baru kau temui beberapa hari sebagai calon mempelai?"

Mark tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku sudah melamarnya di Bern. Tepat satu hari sebelum aku kembali ke Jenewa."

Mendengar hal tersebut, Alicia lantas tersedak. Dia gagal menahan diri untuk tidak menyemburkan kopi dalam mulutnya ke arah sofa mahal milik agensi Muse.ic yang sedang dia duduki disana. Mark dan Natt sama-sama terkejut dan spontan menyingkir. Lebih dari memikirkan harga ganti rugi yang harus dia tebus nanti, Mark nyatanya lebih hanyut akan satu pikiran lain. Dia menyiapkan lamaran yang sangat tidak biasa, tapi kenapa kedua gadis ini malah memberinya respon seakan-akan semua yang dia katakan hanya sebatas lelucon?

"Aku serius."

"Kau serius melamarnya?"

"Aku menyisipkan cincin di kartu undangan."

"Kau menyisipkan apa?!"

Mark malas menyahut. Dia menarik ponsel hitamnya dari saku celana, membuka-buka kumpulan foto dalam galeri, kemudian ketika layarnya sudah menampilkan sebuah cincin bertahktakan batu berlian cantik, dia segera memperlihatkannya pada Natt dan Alicia. Gayanya yang terlalu tenang membuat Natt tersenyum gemas.

Gemas ingin menghabisi maksudnya.

"Sekarang kau punya dua jenis respon dari si Adora-Adora itu."

"Apa?"

"Pertama, dia mungkin menerima lamaranmu dan kalian akan menikah di musim gugur. Kedua, dia tidak menerima lamaranmu, kalian tidak jadi menikah di musim gugur ini, dan dia mendapatkan uang yang sangat banyak secara cuma-cuma dari cincinmu ini."

Saking terpananya, Alicia bahkan sampai mengambil alih ponsel Mark dengan kedua tangannya yang agak gemetaran. Dia menatap kakak lelakinya dan ponsel itu bergantian, seperti sudah kehilangan seluruh kata-katanya sebagai tanggapan yang tepat. "Jangan katakan kau hanya meletakkan cincin dan kartu undangan konser kesepuluhmu tanpa ada memberitahunya samasekali."

Mark mengacungkan ibu jarinya tenang. "Oh, sekarang kau sudah pantas menjadi seorang peramal!"

**

Musim Semi tahun ini benar-benar menjadi musim semi paling berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan segala dekorasi mewah bak perayaan natal keluarga terkenal, Kakek Adams menyiapkan rumahnya sedemikian rupa. Meja makan malam dari kaca mereka duduk kelilingi, bersama beberapa lilin putih panjang yang berdiri angkuh di tengah-tengah meja tersebut. Mark tahu ini semua karena anak-anak keluarga Adams secara lengkap berkumpul untuk kali pertama semenjak sang Ibu meninggal, tapi Mark juga tidak pernah menyangka akan seheboh ini jadinya.

Aaron melirik seluruh gelas kaca berkaki tinggi di hadapannya dengan segan. Gelas milik Aaron adalah satu-satunya yang tidak terisi wine, melainkan jenis air putih biasa. Taplak merah kotak-kotak digantung di setiap punggung kursi, entah karena ada sebab tertentu atau Kakek Adams hanya ingin saja.

Di tengah suasana yang agak hangat, tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh anggota keluarga Adams malah memasang wajah-wajah tegang. Ramainya suasana ternyata tidak pernah menjadi penentu akan terjadinya komunikasi yang baik dan menarik. Mereka memilih tetap bungkam sejak awal, menunggu Kakek Adams yang lebih dulu mengangkat suara. Cucu-cucunya, termasuk Mark sendiri malah sibuk mengantarkan makan malam kesana-kemari, acuh pada fakta bahwa dialah yang kali ini akan menjadi peran utama dalam topik perbincangan mereka.

"Siapa yang menikah?" Megan, Ibu Mark akhirnya memberanikan diri bertanya. Dia meraih telapak tangan putra sulungnya yang dingin hingga Mark mau tidak mau langsung berhenti dan berdiri di belakang kursi sang Ibu. "Kau seharusnya duduk diam dan menikmati makan malam."

"Tidak masalah, Bu. Cucu lain juga masih sibuk."

"Dengarkan kata Ibumu, Mark!" perintah Kakek Adams lembut. "Duduklah di salah satu kursi kosong disini. Semua cucu, bukan hanya dirimu saja. Ayo kita menyelesaikan masalahmu bersama-sama."

Mark mengerutkan kening agak kesal sambil pelan-pelan menarik mundur salah satu kursi terdekat untuk dia duduki. "Pernikahanku bukan termasuk ke dalam sebuh masalah, Kakek."

"Satu-satunya hal yang menjadi masalah disini adalah karena Kakek terus mengejar pernikahan Kak Mark," dengus Rose yang juga baru ikut duduk bergabung.

"Jadi Yuja akhirnya menerima lamaranmu?"

"Siapa bilang calon Kak Mark itu Yuja?" sengit Alexa tiba-tiba. "Sejak awal aku memang tidak pernah menyukainya. Kalau Kak Mark menikah dengan dia, lebih aku tidak datang saja!"

"Hush!" Megan mencubit gemas pipi putrinya. "Yakin sedikit kalau pilihan Kak Mark itu yang terbaik!"

Mark tertawa. "Memang bukan Yuja, Bu. Dia ini gadis dari Bern, kota kelahiran Nenek dulu. Bukan model, tapi seorang dosen muda di Universitas Seni. Keluarganya tidak jauh berbeda dari kita. Ayahnya mantan maestro dan Ibunya adalah seorang pemain biola dalam orkestra."

"Kau bertemu gadis asing dan menyebutnya sebagai calon istri?" Johan, Ayahnya, mengernyit heran. "Kepulanganmu dari Bern bahkan baru terhitung dua hari sampai hari ini, Mark."

"Bagaimana ya, Ayah? Lagipula cincin lamaran sudah aku selipkan untuknya."

"Selipkan?!" Alexa berteriak heboh, membuat Megan lagi-lagi harus menahan pergerakannya itu. "Kak Mark bercanda?"

"Sudahlah semua." Harry, putra pertama keluarga Adams sekaligus ayah dari Aaron, ikut angkat suara menenangkan. "Kita tahu Mark sudah dewasa. Apapun pilihannya, itu menjadi tanggung jawab miliknya sendiri."

"Lantas siapa gadis itu, Mark?" tanya Megan khawatir. "Siapa namanya?"

"Adora Hils."

"Maaf jika Bibi terkesan menyinggungmu sedikit, tapi benarkah kau sudah mengenalnya baik-baik?" selidik Pamela, istri dari putra ketiga Adams sekaligus Ibu kandung Rose dan Natt. "Benar kata Rose. Kalau pernikahan ini semata-mata berjalan hanya karena kau merasa seperti sedang dipaksa, lebih baik kau renungkan dulu, Mark. Masih ada banyak waktu. Kau masih sangat muda untuk terjun dalam dunia pernikahan."

"Bi, aku mungkin baru bertemu dengannya, tapi kupastikan Adora adalah gadis yang baik."

"Baiklah, kalau kau sudah yakin saja, Bibi pasti selalu setuju."

"Terima kasih, Bi."

Johan mengangguk setuju. "Jadi kapan kau akan mengenalkannya secara resmi pada kami? Tidak mungkin kan publik lebih dulu tahu berita ini daripada Ayah kandungmu sendiri?"

"Aku akan menyembunyikan hal ini dari publik, Ayah," balas Mark tegas. "Kalau hari pernikahan sudah ditetapkan kedua pihak, barulah Jeffrey akan memberitakannya pada media massa."

"Bagus, semua keputusan Ayah serahkan penuh dalam tanganmu saja."

Menyadari malam semakin berubah larut, satu persatu pasangan orang tua mulai beranjak meninggalkan bangku mereka masing-masing dan pergi menuju kamar-kamar yang tersedia di lantai kedua. Kakek Adams sendiri sudah masuk ke dalam kamar sejak beberapa menit yang lalu, tepat ketika perbincangan tentang pernikahan Mark selesai mereka bahas. Jadilah yang tersisa sekarang hanya kumpulan para cucu-cucu muda. Alexa, sebagai cucu putri tertua disana, bergerak menuangkan kembali wine ke gelas saudara-saudarinya yang lain, menyisakan hanya gelas Aaron yang kosong. Daripada ikut tidur, mereka tentu lebih tertarik untuk melanjutkan perbincangan ke arah yang lebih santai.

"Kau tidak memiliki foto satu pun?" tanya Rose masih penasaran. "Adora itu."

"Tidak sanggup aku foto," sahut Mark sambil terkekeh jahil. "Ponselku tidak bisa menahan segala pesonanya."

Aaron mengerutkan hidungnya jijik. "Kakak sudah mabuk, ya?"

"Lalu kenapa Adora? Kenapa pilihanmu jatuh padanya?"

"Adora dan aku banyak memiliki kesamaan yang tidak terlihat, Natt. Kami sama-sama jatuh cinta pada seni. Kami hidup dalam lingkup keluarga yang sangat mirip. Seakan-akan aku dan Adora telah mengalami satu garis kehidupan yang sama persis," jelas Mark panjang lebar. "Adora memiliki satu adik laki-laki, tapi dia tetap berperan sebagai tulang punggung keluarga. Dia tidak haus akan perhatian dan romatisnya dia itu hanya terlihat dari gerak tubuhnya saja."

**

"Kalau bukan karena Adora, aku tidak akan mau mengambil cuti kuliah untuk menonton pertunjukan musikmu ini!"

Mark melirik penampilan Alexa tanpa minat kemudian kembali sibuk memperhatikan gerakan jari-jemarinya dalam melantunkan nada Noctrune op.9 No.2 karya Frederic Chopin. Ujung jas hitamnya jatuh menjuntai dari atas bangku. Suasana ramainya gedung Palais Garnier di Paris, Perancis, yang menjadi tempat diberlangsungkannya konser tunggal Marks Adams yang kesepuluh ternyata tidak dapat mengalihkan fokus lelaki itu dari permainan pianonya sendiri. Dia berlatih sejak awal hingga mengacuhkan seluruh anggota keluarga Adams yang nyatanya telah berbondong-bondong hadir karena suatu alasan penting.

"Kau seharusnya menontonku dengan tulus," sinis Mark. "Aku yang mendatangkan semua keluarga ke Perancis hari ini."

"Kau hanya membayar tiket!" Alexa berseru kesal. "Aku memesan hotel menggunakan uang bulananku!"

"Kak Alexa!"

Alexa menoleh ke arah asal suara, menemukan Aaron disana yang kini sedang melambai-lambai berusaha menarik  perhatiannya.

"Kenapa?"

"Bibi Megan memintamu duduk di bangku sebelum gedung bertambah ramai," pesan Aaron takut-takut. "Katanya takut nanti kehadiranmu malah mengganggu penonton lain."

"Iya, iya. Sekarang aku pergi!" balas Alexa ketus. "Ingat ya, Mark Adams! Kalau Adora sampai tidak datang hari ini, kau harus mengganti uang bulananku dua kali lipat!"

Mark hanya mengendikkan bahu acuh. Setelah Alexa pergi dari belakang panggung, barulah Jeffrey berani datang. Diletakkannya cup kopi panas di atas sebuah nakas, lalu dia berdiri di sebelah Mark.

"Apa yang dikatakan Alexa tadi?" tanya si lelaki penasaran. "Teriakannya terdengar sampai ke luar."

Bukannya menyahut, Mark malah balik bertanya, "Kursi di barisan pertama yang aku isi buket bunga sudah ada yang menduduki?"

"Adora belum terlihat. Kau sendiri kan yang memesan bangkunya untuk Adora?"

Satu nada keras terdengar bersamaan dengan jari Mark yang menekan tuts d minor kuat-kuat, menandakan kemarahan seperti biasa. Dia bangkit berdiri lalu menghabiskan kopinya dalam beberapa kali tegukan tanpa jeda.

"Itu bukan wine, jangan berlagak kau akan mabuk," sindir Jeffrey. "Mungkin Adora terlambat. Atau bisa saja dia tidak melihat suratmu di atas piano, kan?"

"Bagaimana kalau hal ini mempengaruhi pertunjukanku nanti?"

Beruntung, berbeda dari pertunjukkan sebelumnya di Bern, malam ini Mark dapat tampil sangat rapi dan menawan. Dia membawakan beberapa lagu klasik tanpa melakukan kesalahan, walaupun sedari awal pikirannya hanya terfokus pada bangku di barisan terdepan yang rupanya masih kosong, bahkan sampai dia sukses menyelesaikan lagu terakhir. Megan serta anggota keluarga yang lain langsung berdiri, memberikannya tepuk tangan paling meriah sebagai bentuk kebanggan mereka. Hanya Alexa yang terlihat muram. Gadis itu diam-diam mengikuti arah pandang Mark, menyadari kakaknya sedang memperhatikan bangku milik Adora dengan wajah sendu.

"Aku bosan mengatakan hal yang sama berulang kali padamu," sambut Jeffrey di belakang panggung. "Tapi yang tadi memang luar biasa sekali!"

Mark menerima sambutan sahabatnya itu senang hati. "Terima kasih, tapi aku juga sejujurnya bosan melihatmu datang menyambut."

"Memang kau ingin disambut siapa lagi?"

"Aku mungkin?"

Mark bungkam seketika, kehilangan seluruh bahasa yang ingin terlontar. Saat Jeffrey menyingkir sedikit ke sebelah kiri, saat itulah dia dapat melihat sosok lain di belakang tubuh lelaki itu. Adora berdiri disana, tepat di hadapannya sambil memakai gaun hitam panjang berlengan pendek. Rambutnya terurai rapi, dihiasi jepit kupu-kupu di dekat daun telinga. Tangan si gadis tidak membawa apa-apa, tapi sebuah cincin yang tidak asing telah tersemat di salah satu jari lentiknya.

"Maaf aku datang terlambat," ucapnya agak gelisah. "Ayah dan Ibuku terlalu asik melihat-lihat pemandangan kota Paris. Biasa, hal-hal baru selalu terlihat lebih inda-"

Grep!

Mark tidak mengijinkan Adora menyelesaikan kalimatnya. Dia lebih dulu bergerak maju untuk membawa tubuh si gadis masuk ke dalam pelukannya yang hangat. Tawa Adora terdengar pelan dari bahunya, bersama sebuah tangan kecil yang balik membalas pelukan Mark. Melihat itu Jeffrey langsung berinisiatif pergi darisana, membiarkan kedua pasang anak muda tersebut semakin jatuh akan pesona satu sama lain. Cukup lama mereka berpelukan sampai akhirnya Marklah yang perlahan-lahan mendorong pelan bahu Adora agar wajah si gadis dapat dia pandangi sepuas hati.

"Bosan tidak kalau aku mengatakan hal yang sama terus?" tanya Mark tiba-tiba.

Adora mendongak polos. "Tergantung dari jenis kalimatnya."

"Kau cantik sekali."

"Berhenti!" Adora mencubit gemas lengan si lawan bicara. "Kalau yang itu aku sudah bosan sekali!"

"Oh ya, aku sudah menulisnya, kan? Kalau kau datang berarti kau-"

"Aku menerima lamaranmu. Tentu saja aku sudah membacanya, bodoh!"

tbc