webnovel

HIRAETH.

Mark yakin dialah pemeran utama dalam hidup ini. Setelah didesak bertahun-tahun, dia berhasil menikah dan membangun rumah baru bersama dengan Adora, seorang wanita tangguh di sisinya. Kehidupan pernikahan yang berjalan terlalu lancar jelas menghasilkan tepuk tangan meriah dan rasa hormat tinggi dari seluruh anggota keluarga. Tapi apakah memang semudah ini? Mark adalah seorang pianis dan Adora sejak dahulu hadir sebagai penikmat seninya. Mereka yang sama-sama jatuh cinta melalui sebuah pertunjukan musik pun mulai dilanda kegelisahan hebat. Hidup dalam satu atap yang sama ternyata tidak menjamin mereka akan mati pada perasaan yang sama. Semakin lama, tepuk tangan yang Adora berikan mulai terdengar penuh kehampaan. Iris hitam istrinya itu tidak lagi mengarah pada panggung utama, melainkan bergulir dan jatuh tepat ke arah sosok seorang lelaki asing di bangku penonton paling depan. Malam di musim gugur akhir tahun, Mark akhirnya menyadari bahwa tidak hanya daun-daun saja yang jatuh berguguran, tapi juga hatinya sendiri. Dia kembali kerumah untuk menemukan perabotan-perabotan di dalamnya masih tersusun rapi, jelas berbanding terbalik dengan perasaannya sendiri. Rumah yang selama ini dia bangun di atas pujian dan rasa hormat semakin lama semakin terasa jauh. Mark padahal yakin sudah berdiri di depan pintu masuk, tapi dia merasa belum juga disambut kehangatan. Hanya gelap dan dingin yang dia dapat-tentu tanpa Adora. "Kembalilah. Rumah terasa asing tanpa dirimu." Adora mendongak pelan mendengarnya. "Sejak awal aku memang tidak pernah ada disana, Mark."

beemaibi · Urban
Not enough ratings
7 Chs

Bab 4 “FELICITY”

felicity🥀:

rasa bahagia yang sangat kuat dan intens.

**

Kedatangan Adora ke pertunjukkan musik Mark di Perancis jelas menjadi kabar gembira bagi kedua pihak, entah itu keluarga Adams maupun keluarga Hils. Mereka akhirnya berkenalan secara resmi di salah satu hotel Brach Paris, tempat dimana seluruh keluarga Adams menginap. Layaknya rumah pribadi, mereka duduk bersantai di ruang bawah, bercakap-cakap ringan sambil sesekali menyeret nama Mark dan Adora begitu kata "pernikahan" didengungkan oleh salah satu pihak disana.

Merasa asing dengan pembicaraan para orang tua, cucu-cucu Adams dan Johnny serta kekasihnya, Chloe pun memutuskan untuk berpindah ke bagian luar hotel guna menikmati terbenamnya matahari bersama-sama.

"Kenapa dia mengajak kekasihnya datang kemari?" bisik Natt agak sinis. "Mereka belum menikah, kan?"

Alexa mendelik tajam, mengisyaratkan adik sepupunya untuk segera tutup mulut. Memang bukan sepenuhnya salah Natt jika dia memiliki pikiran seperti itu, karena Keluarga Adams sejak dulu memang terkenal akan aturan ketat mereka mengenai masalah percintaan. Banyak hal yang kelihatan biasa di mata orang lain menjadi sangat terlarang bagi mereka, entah itu dalam hal memilih calon pasangan maupun dalam hal skinship antar seorang gadis dan laki-laki.

"Kami akan pergi tidur lebih dulu," pamit Johnny enggan. "Selamat beristirahat semua."

"Ya, selamat beristirahat." Rose membalas ramah.

Berbeda dari Johnny, Chloe malah hanya membungkuk sedikit sambil memperlihatkan seulas senyum tipis. Dia berbalik cepat dan melangkah pergi mendahului si kekasih. Padahal mereka belum sempat berkenalan resmi, tapi Natt dan Alicia ternyata sudah berhasil dibuatnya merasa dongkol.

"Kak Mark sempat berpesan sebelum kita sampai di hotel tadi," kata Aaron memecah keheningan. "Katanya, tolong ciptakan suasana yang baik di sekitar Kak Johnny."

"Kenapa harus?" Alicia menyahut ketus. "Kita? Kenapa bukan dia saja?"

Aaron mengusap tengkuknya gugup. "Kata Kak Mark, Kak Johnny itu lelaki pemalu. Dia sulit beradaptasi dengan anak-anak baru, apalagi gadis seperti kalian ini."

"Baik, aku juga tidak setuju, tapi posisi kita disini adalah sebagai pihak yang memohon. Jadi ayo kita bersikap sebaik mungkin!" seru Alexa menyemangati. "Kak Adora juga baik, kan?"

Natt mengangguk pasrah. "Kak Adora sih baik-baik saja. Kekasih adiknya itu yang luar biasa."

"Sst, jangan keras-keras!" tegur Aaron. "Kalau Paman Thomas mendengar hal ini, bagaimana?"

"Aku kan-"

Grek!

"Oh, kalian semua masih ada disini?"

Pandangan seluruh cucu Adams terpaksa beralih pada kedua sosok yang baru datang dari arah ruang kumpul keluarga. Mereka kompak menatap penampilan rapi Mark dari ujung kaki hingga kepala, menelisik apa yang salah dari lelaki itu. Hari-hari biasa, setiap kali Mark selesai melakukan pertunjukkan, maka dia akan mengurung diri di kamar selama dua hari penuh. Apa yang dia lakukan selama itu? Tentu saja menebus waktu-waktu tidurnya yang tidak pernah dia dapatkan selama latihan.

"Kau tidak mengantuk?" Alexa mengerutkan kening bingung. "Keajaiban dunia."

"Mustahil rasanya tidur saat aku tahu para orang tua terus menyebut namaku dalam gosip mereka," sahut Mark cuek. "Kalian serius ingin diam disini saja? Besok malam kita sudah harus pergi ke bandara lagi, ingat?"

"Ini sudah kali ketigaku datang ke Paris, Kak Mark," sungut Rose bosan. "Kau berkata seolah-olah kami semua tidak pernah keluar dari rumah."

Alexa menunjuk saudari sepupunya itu antusias. "Nah, benar! Aku juga sudah pernah datang ke kota ini bersama Jackson, tapi lihat?Kami ternyata tetap harus berpisah. Hati-hati saja, pergi ke kota romantis tidak menjamin kelangsungan hubungan kalian di masa depan!"

"Jadi kalian menolak ajakan kami?" tanya Adora sendu. "Aku padahal berharap kita bisa saling mengenal satu sama lain selama perjalanan."

"Aku ragu terselip di antara hubungan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta akan terasa menyenangkan," balas Alicia dengan senyum jahilnya. "Sudahlah Kak Adora, Kak Mark dijamin lebih bahagia jika kalian pergi berdua saja malam ini."

**

"Aku serius ketika aku mengatakan ingin mengajak seluruh saudaramu ikut pergi bersama kita sekarang ini," rengek Adora di tengah perjalanan. "Tahu begini lebih baik kita berjalan kaki saja, kan?"

"Tidak, aku sudah lelah sekali," tolak Mark tanpa mengalihkan fokus dari jalanan Avenue Georges Mandel di sekitarnya. "Tapi Alexa juga serius tentang apa yang dia katakan tadi."

"Apa?"

"Kak Mark akan bahagia jika kalian pergi berdua saja." Mark mengulang kata-kata Alexa, bahkan sampai cara pengucapan gadis itu yang terkesan menggoda.

"Kau bahagia karena ada di Perancis atau apa?"

"Karena kau bersedia datang Perancis lebih tepatnya."

Adora berdecih. Dia buru-buru mengalihkan pandangan ke arah jalanan kota Paris yang sudah agak gelap, menghalangi Mark melihat rona merah muda di kedua pipinya.

"Ini kali pertama kau pergi ke Perancis?" tanya Mark ketika lampu lalu lintas berubah merah. Dia menekan rem dan menoleh ke arah gadis di sebelahnya dengan senyum teduh. "Atau mungkin kau sudah pernah pergi ke kota lain disini?"

"Pernah satu kali ke kota Dinan, saat hari peringatan ulang tahun pernikahan Thomas dan Paulina yang kedua puluh lima tahun," sahut Adora.

"Bagaimana kota disana?"

Adora menghembuskan nafas. "Benar-benar menakjubkan. Aku ingat hari itu mimpiku langsung berubah dalam sekejap mata."

"Jangan bilang kau ingin-"

"Iya, aku ingin tinggal menetap di Dinan. Tempat itu bak negeri dongeng dan mengingatkanku banyak hal tentang dunia masa kecil."

"Ya tidak mustahil. Aku setuju-setuju saja sih. Lagipula Agensi Muse.ic juga memiliki anak cabang perusahaan di Saint-Brieuc, jadi kemungkinan terbesarnya adalah aku mungkin akan dipindahkan kesana," balas Mark tenang.

Adora menoleh secepat kilat. Dia menatap Mark waspada, sayangnya lampu lalu lintas yang berganti dari warna merah ke hijau lebih dulu berhasil membuat tatapan sang kekasih kembali mengatah hanya pada jalanan di depan mereka.

"Jangan berencana yang macam-macam dulu!" tegur si gadis akhirnya. "Kau selalu membuat rencana sendirian!"

Mark menoleh sekilas. "Aku kan berusaha membantumu mewujudkan mimpi. Rencana mana memang yang aku buat sendiri?"

"Lamaranmu!" gerutu Adora kesal. "Apa-apaan itu? Lamaran lewat secarik undangan? Kau bahkan tidak mengatakan sepatah kata apapun padaku!"

Bukannya sebuah jawaban yang Adora terima, melainkan gelak tawa renyah dari si lelaki di sebelah. Dia tahu Mark tidak benar-benar sedang menanggapi keluhannya. Mark masih terlihat sibuk mengurusi tempat parkir, padahal sejak awal Adora sudah membujuknya untuk berjalan kaki saja. Karena inilah, Jeffrey pun harus menyewa sebuah mobil di kawasan tersebut.

"Kau turun duluan, ya? Sepertinya tempat parkir agak jauh darisini."

Adora menggeleng. "Di awal kan kau yang terus mengeluh lelah. Kita turun dan berjalan bersama-sama tidak apa kok."

Jadilah setelah hampir lima belas menit membuang waktu guna mengurusi tempat parkir yang mahal dan rumit, Mark dan Adora akhirnya dapat berjalan menikmati setiap keindahan kota Paris di tengah malam. Mulai dari melewati Jardins du Trocadéro, ruang terbuka di arondisemen ke-16 Paris sampai pergi ke atas jembatan Pont d'Iéna yang secara langsung menyuguhkan pemandangan menara eiffel yang berpijar diterangi lampu kekuningan.

"Kemari, aku akan memotret sebentar!" ajak Mark seraya melepaskan genggaman tangan mereka untuk merogoh kamera polaroid hitam dari saku mantelnya. "Aku meminjam ini dari Alicia."

Adora mengerjap ragu. "Kau akan membayar lisensi pada Société d'Exploitation de la Tour Eiffel?"

"Untuk?"

"Memotret eiffel di tengah malam," sahut Adora tidak yakin. "Pertunjukan lampu di menara ini memiliki hak cipta dari Pemerintah Perancis. Lupa, ya?"

Kening Mark berkerut, seakan belum paham akan segala ocehan mendadak dari Adora. Dia mengendikkan bahu acuh kemudian tiba-tiba mengambil satu jepretan cepat ke arah sosok Adora di depan sisi pembatas jembatan. Gadis itu berjengit kaget, tidak siap dengan gayanya.

"Siapa bilang aku ingin memotret menaranya?" sindir Mark seraya menjulurkan lidah. "Foto dirimu jelas jauh lebih menarik bagiku."

Adora mendekat, berjinjit ikut melihat hasil fotonya. Menyadari bahwa foto disana tidak begitu memalukan, Adora lantas mengulurkan kedua telapak tangannya ke hadapan Mark, meminta si lelaki supaya menggenggamnya lagi. Suasana malam di kota Paris memang tidak ramai sekali, tapi entah kenapa Adora merasa selalu nyaman jika tangan mereka melingkupi satu sama lain.

"Aku baru sadar kau senang digenggam begini," gumam Mark gemas.

Adora hanya menggeleng kecil, malu-malu membalas. Dia setia membungkam mulut selama perjalanan di atas jembatan, tapi Mark tahu itu adalah bentuk kekagumannya pada beberapa pelukis sketsa wajah, permainan tipuan mata, dan artis kaligrafi nama China disana. Semuanya terbukti dari bagaimana tangan si gadis yang bisa mendadak mengeratkan genggaman mereka dengan antusias.

Sejak kecil Mark Adams selalu mudah jatuh pada seni, tapi dia juga tidak menyangka akan jatuh pada pesona seorang pengagum seni seperti Adora Hils.

"Kau ingin naik ke atas?" Mark bertanya setelah mereka berdua ada tepat di bawah menara eiffel.

Adora mendongak sebentar kemudian tanpa diduga malah memberikan sebuah gelengan pelan.

"Kenapa?"

"Antriannya panjang sekali," sahutnya sedih. "Kau juga pasti sudah sangat lelah. Kita kembali saja, hm?"

Menyetujui perkataan Adora, Mark akhirnya mengangguk. Dia benar-benar tidak kuat lagi menyembunyikan raut lelah di wajahnya. Selama duduk melakukan pertunjukkan musik di Palais Garnier, punggung Mark memang sudah terasa kaku nyaris mati rasa. Tiga hari terakhir tanpa waktu tidur yang cukup berhasil membuat kepalanya mulai terasa pening. Kalau saja bukan karena kehadiran Adora, sudah dipastikan Mark akan pingsan di tengah jalanan kota Paris. Mandi saja belum, apalagi makan. Terlihat seolah-olah sekarang ini Adora yang cantik malah tengah berjalan bersama pengawal pribadinya, bukan seorang Mark Adams si pianis terkenal itu.

"Dari pertama kali kita menginjakkan kaki di hotel, aku sudah memperingatimu, bukan? Kalau memang lelah, harusnya kau beristirahat hari ini!" bentak Adora ketika menyadari jalan Mark yang semakin lama semakin terhuyung-huyung. "Nanti biarkan aku yang menyetir!"

"Salahkan kantukku yang datang tanpa permisi!"

"Sudahlah-"

"Lihat! Lihat! Kita bermain itu sekali, ya?!" Mark tiba-tiba menunjuk heboh salah satu meja permainan tipuan mata di sisi mereka. "Sebelum pulang. Bagaimana?"

Adora mendecih kesal. "Mark, kau sudah seperti orang mabuk. Kita pulang saja sebelum aku harus menghubungi Alexa untuk menjemput kakaknya yang pingsan!"

Sayangnya Mark tidak juga luluh. Dia melepas genggaman tangan mereka secara paksa lalu bersidekap dada, mati-matian menahan Adora membawa langkah maju. Bibirnya tertekuk, menandakan rasa kesal yang meluap-luap. Melihat pemandangan asing di hadapannya, Adora tentu kehilangan kata.

"Lucunya!!" pekik Adora sambil mengacak geli helaian rambut hitam Mark. "Baiklah, satu permainan kemudian pulang, ya?"

Mark mengangguk kuat, menarik tangan Adora mendekati salah satu meja paling ramai. Tiga gelas terbalik berdiri di atas meja. Saat melihat Mark dan Adora datang, si pemain langsung menyambut mereka hangat. Dia memasukkan bola kecil ke bawah salah satu gelas, menutupnya kemudian mengacaknya secara cepat. Adora yang awalnya yakin dengan pengelihatan matanya yang gesit mau tidak mau berakhir menyerah juga. Gadis itu berdecak, menatapi langit penuh bintang di atas mereka dan membiarkan Mark sendiri susah payah menebak gelas mana yang berisi bola.

"Adora, gelas mana?" Mark tanpa malunya bertanya.

"Aku tidak ada melihat daritadi," sahut Adora jengkel. "Pilih acak saja."

"Kalau begitu yang mana?"

"Tidak tahu! Kan kau yang tadi ingin bermain!"

"Pilihanmu?"

Malas berlama-lama, Adora memutuskan untuk menunjuk gelas paling tengah asal-asalan. Si pemilik permainan bertepuk tangan girang. Dia bersiap-siap membuka gelas, tapi sayangnya Adora sudah kehilangan minat. Di tengah ratusan pengunjung asing, bersamaan dengan terbukanya gelas yang menampilkan sebuah cincin asing, Mark tiba-tiba berlutut, menyebabkan Adora merasa jantung sudah turun sampai ke perutnya. Si gadis mendelik bingung, terpaksa ikut berlutut untuk memeriksa apakah Mark masih sadar atau tidak.

"Ma-Mark!"

Mark mendongak kaget lalu cepat-cepat menahan kaki Adora agar tidak menyentuh tanah di bawah mereka. "Apa-apaan ini? Jangan mengikuti aku, bodoh!"

Merasa aneh, Adora pun menggeleng tegas sebagai jawabannya. Dia memaksa menjatuhkan diri di hadapan Mark, tanpa peduli pada ratusan pasang mata yang kini menatap mereka bingung. Tangan Mark terulur ke belakang, menerima kotak cincin merah maroon dari si pemain tipuan mata. Dibukanya tutup kotak cincin tersebut di depan mata Adora, yang mana langsung berhasil menghasilkan membuat gadis itu membekap mulutnya menahan tangis tidak percaya.

"Adora Hils, menikah denganku?"

**

"Jadi, kesalahan apa yang sudah kau lakukan di menara?" tanya Alicia sinis.

Kelima cucu Adams menghadang Mark dan Adora di pintu hotel terdepan, menyaksikan dengan kaget bagaimana sosok Adora yang masih menangis terisak-isak di lengan kakak mereka.

"Ponsel kalian mati, ya?!" Alexa membentak marah. "Ayah dan Paman Thomas panik sekali tadi!"

Satu gelengan pelan Mark berikan, sebagai tanda jika sambutan penuh emosi Alexa sangatlah tidak berarti sekarang ini. Dia terlalu lelah.

"Kak Adora, aku antar ke kamar, ya?" tawar Rose lembut. "Bibi Paulina sejak sejam yang lalu sudah mencarimu."

"Tidak perlu," tolak Mark. "Nanti aku sendiri yang akan mengantarnya. Lagipula malam ini aku berniat berbicara pada Paman Thomas."

"Berbicara tentang?"

"Pernikahanku."

Natt memutar bola matanya jengah. "Wah, kemana saja kau sejak awal? Tidak sadar ya sudah dibicarakan berjam-jam disini?"

"Oh ya? Mereka sudah berbicara lebih dulu? Apa kata Paman Thomas?" Mark kemudian menyingkirkan jejak-jejak air mata dari wajah si kekasih dalam pelukannya. "Adora, Adora, sudah, ya?"

"Kak Adora kenapa?"

Mark merunduk sekilas sambil mengintip wajah basah Adora. Dia menggeleng pelan ke arah para cucu Adams, mengisyaratkan mereka agar pergi darisana. "Aku tidak melakukan apa-apa, serius. Oke, aku hanya melamarnya lagi tadi. Siapa yang tahu respon Adora malah begini?"

"Kau apa?"

Tahu bahwa Aaron sebenarnya sudah mendengar jelas perkataannya, Mark lantas tersenyum jahil, tidak berniat mengulang lagi.

"Kakak melamarnya lagi?" tanya Aaron setelah beberapa detik menganga lebar. "Kakak bodoh atau sekedar ingin pamer, huh?"

"Dengar dulu. Aku melakukan hal ini juga karena mendengar tanggapan kalian yang kurang menyenangkan. Adora harus tahu kalau aku tidak main-main, kan?"

Alexa menepuk jidatnya frustasi. "Tapi bukan dengan cara melamarnya lagi, Kak Mark! Yang benar saja?"

"Ini buktinya. Kalian tidak lihat dia menangis bahagia sekarang?"

Adora mendongak setelah mengusapkan berkali-kali mengusapkan wajahnya pada mantel lembut milik Mark. Masa bodoh dengan eyeliner hitamnya yang menodai kemeja biru tua itu. Dia malu sekali karena sudah menangis seperti ini dihadapan seluruh cucu Adams yang bahkan belum mengenalnya secara dekat. Satu cubitan keras di perut Mark berhasil membuat lelaki itu berteriak kaget. Mark beralih menatap Adora bingung, sedang yang ditatap malah langsung menyenderkan kepala pada bahunya.

"Tadi kakek berbicara banyak tentang tema pernikahan musim gugur kalian, tapi aku yang mendengarnya saja agak merasa tidak yakin," beritahu Alexa. "Bayangkan bagaimana daun-daun akan jatuh mengotori gaunmu di pantai."

"Yah setidaknya kalian berdua masih memiliki satu musim lagi untuk memperperbaiki semua rencana luar biasa kakek."

"Kenapa harus diperbaiki?" tanya Mark heran. "Aku suka konsep musim gugur di pantai."

"Sangat tidak kreatif."

Adora tanpa diduga-duga ikut menjentikkan jarinya setuju. "Benar, Aaron. Kak Mark mungkin berbakat dalam bidang seni musik, tapi seleranya pada hal-hal lain sangat menjengkelkan."

"Wah, terima kasih pujiannya."

"Kalian tahu tidak bagaimana cara orang ini melamarku tadi?" Adora bertanya tiba-tiba, menyebabkan seluruh cucu Adams berubah girang. Bukan karena ingin tahu ceritanya, tapi karena tidak sabar untuk mempermalukan si sulung. "Daripada melamar di atas menara eiffel, dia memilih menggunakan cara lamaran yang dramatis sekali."

"Dia menggunakan permainan tipuan mata?"

"Benar. Di hadapan seluruh turis asing, Mark berlutut di depanku."

Alicia memeluk tubuhnya yang merinding. "A-aku membayangkan saja sudah malu, kak."

"Tapi kau menangis juga, kan? Siapa yang tidak mau melepas pelukannya tadi? Aku?" sindir Mark.

"Aku menangis bukan karena melihat caramu melamarku, bodoh!"

"Lalu?"

Belum terucap sebuah jawaban dari bibir Adora, cucu-cucu keluarga Adams yang dipimpin Alexa lebih dulu memutuskan pergi dalam diam. Mereka meninggalkan kedua pasangan baru tersebut tanpa minat. Jarak umur yang jauh agaknya membuat mereka merasa risih untuk ikut bergabung ke dalam pembicaraan romantis antara Mark dan Adora.

"Adik-adikmu kenapa menghilang semua?"

Mark mengendikkan bahu acuh. "Jangan pedulikan mereka."

"Sejujurnya, aku takut tidak cocok berbincang bersama mereka, Mark. Keluargamu adalah keluarga yang sangat mengedepankan keharmonisan anggotanya, sedangkan keluargaku? Johnny saja kerap pergi dari rumah tanpa alasan yang jelas."

"Aku tidak melamarmu karena masalah keluarga, Adora. Musim gugur nanti, kita yang menikah, bukan mereka." Mark menyahut berusaha menenangkan. "Johnny akan tetap kabur atau bagaimana nantinya, bukan menjadi masalah untuk pernikahan kita, kan?"

Pelukan di tubuh Mark mengerat akibat pergerakan lembut dari Adora. Gadis itu lalu berjinjit, menyatukan dahi mereka satu sama lain seraya memegangi kedua daun telinga Mark yang sudah memerah malu-malu. Hembusan nafas mereka menyatu di tengah, menghasilkan kabut samar terlihat disana.

"Kau serius ingin berdiri disini seharian? Ada beberapa pengunjung yang melihat kita."

Adora tertawa. "Kau mengacuhkan keluarga tapi berlagak sok peduli atas pandangan turis asing?"

"Bukan seperti itu. Wajahku sudah terbiasa dipajang di artikel-artikel. Pertanyaanku hanya satu kali ini. Apa kau benar-benar siap?"

"Sejak awal aku tidak pernah memiliki niat bersembunyi."

"Baik kalau begitu, aku akan-"

"Mark!"

Mark berdecak kesal. Sambil tersungut-sungut tidak rela, dia memalingkan fokus dari wajah merona Adora dan menoleh ke arah asal suara yang tadi memanggil namanya keras-keras. Persis seperti dugaan, sosok Jeffreylah yang dia temukan di pintu terdepan hotel. Lelaki itu berlari dengan piyama tidur cokelat muda. Kakinya yang dialaskan sepasang sandal tipis hotel bergerak tidak rapi, seolah-olah sedang dikejar sesuatu.

"Memalukan," cibir Mark. "Setidaknya kau harus bercermin lebih dulu."

Penasaran akan ucapan-ucapan sinis Mark, Adora pun melepas pelukan mereka perlahan-lahan guna ikut memandangi si lawan bicara kekasihnya. Senyum tipisnya tertarik semakin lebar kala dia melihat Jeffrey membawa langkah mendekat.

"Jeffrey Wenn," gumamnya berbisik.

"Oh, Adora Hils yang sibuk diperbincangkan seluruh keluarga Adams hari ini, kan?" Jeffrey menyambut hangat kemudian mengulurkan tangannya sopan. "Aku Jeffrey Wenn, manajer pribadi Mark Adams di Muse.ic."

"Aku tahu."

"Kau apa?"

Adora mengangguk lebih tegas. "Aku tahu dirimu."

Jeffrey tersenyum kikuk. "Wawasanmu luas sekali. Kau sampai mengenal manajer dari pianis terkenal?"

"Bukan," elak Adora geli. "Aku bukan seorang penguntit. Aku sekedar tahu saja."

"Dari?"

"Freya. Kekasihmu, kan?"

Mark mengerutkan kening bingung. Dia menatap Jeffrey dan Adora bergantian. Raut wajah Jeffrey tidak berubah, berbeda dengan Adora yang kelihatan sangat antusias.

"Freya Allen maksudmu?"

Adora mengangguk mengiyakan.

"Kami sudah lama berpisah, Adora. Freya harus melanjutkan karirnya sebagai psikolog, jadi dia memutuskan pergi dari Switzerland sejak lama."

"Pantas kau tidak pernah bercerita padaku," balas Mark pura-pura lega. "Aku pikir hanya aku yang ketinggalan berita disini."

Adora tahu Mark berusaha keras memeriahkan suasana, anehnya dia tidak turut terbawa juga. Pandangan mata Adora memburam, bersama detak jantungnya yang semakin terasa kuat dan berdentum acak. Tanpa sadar, tangannya meraih lengan Jeffrey putus asa. Mark merangkul tubuh Adora panik ketika melihat bagaimana tangan si gadis mulai gemetaran.

"A-Adora-"

"Kemana Freya?" tanya Adora kalut. "Dimana Freya, Jeffrey Wenn?"

**