webnovel

Si Penjual Tanaman

Saat matahari baru saja terbenam, Olivia dan Elisa akhirnya mulai memasuki daerah pegunungan yang ada di pinggir kerajaan. Baru setelah melewati hutan, sawah, kebun, dan danau, mereka pun sampai di sebuah rumah pondokan kecil. Meski daripada pondoknya, rumah kaca besar yang ada di sebelahnya kelihatan jauh lebih mencolok.

Rumah kaca itu kelihatan dipenuhi dengan berbagai macam tanaman sampai-sampai jadi kelihatan seperti hutan tersendiri. Dan yang paling penting, semua tanaman itu jelas bukan tanaman biasa, melainkan tanaman sihir.

Begitu mereka mendarat ke tanah, seorang perempuan terlihat langsung keluar dari rumah kaca itu seakan dia tahu mereka akan datang. Dia bahkan berjalan mendekati Olivia dengan senyum lebarnya sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Elisa yang tidak paham tanpa sadar jadi mundur selangkah. Tapi ternyata Olivia ikutan mengangkat tangannya. "Yeyy!" Seru keduanya sambil menepuk tangan mereka dengan semangat.

"Wah, tidak kusangka kau benar-benar keluar dari istana." Kata perempuan itu bangga. "Ahh, Aku ingin lihat wajah Elena saat kau bilang ingin pergi."

"Yah, dia hanya teriak sedikit padaku." Balas Olivia ikutan tertawa juga.

Dan selagi keduanya terus mengobrol seperti itu, Elisa yang memperhatikan dari samping tidak bisa tidak merasa aneh.

'Aku baru ingat teman-teman nona Olivia biasanya aneh semua...'

"Tapi beritanya sudah terdengar ke sini?" Celetuk Elisa kemudian. "Cepat sekali."

"Ah. Itu karena tadi Aku langsung mengirim surat padanya sebelum kita keluar istana." Jawab Olivia yang mendengar itu. "Kenalkan, ini Lunia."

Seperti sudah kebiasaan, Elisa pun langsung membungkuk pada perempuan dengan pakaian berkebun itu. Dia kelihatan lebih pendek daripada Olivia, tapi entah kenapa wajah kecilnya terlihat lumayan dewasa. Mungkin karena rambut coklatnya yang agak urakan?

"Saya Elisa, pelayannya nona Olivia." Katanya.

Lunia hanya tersenyum kecil, tapi dia langsung beralih lagi pada Olivia. "Kalian masuk saja ke dalam duluan. Aku akan beres-beres sebentar." Katanya sambil lari lagi ke rumah kaca miliknya.

Tapi saat Olivia sudah mulai jalan, ternyata pandangan Elisa masih tidak lepas dari Lunia. "Semua tanaman sihir di sini milik nona Lunia sendiri?" Tanyanya.

"Ya. Dia punya banyak rumah kaca seperti ini di tempat lain. Tapi kalau sedang sibuk membuat ramuan sihir, dia seringnya di sini." Jelas Olivia.

"Peracik ramuan ya." Ulang Elisa agak heran sekaligus kagum. Soalnya di istana sekalipun, julukan yang hanya digunakan oleh orang jenius itu sudah lumayan jarang dia dengar. Dibanding pembuat ramuan sihir, jumlah pemburu naga saja masih lebih banyak.

"Kalau teman anda sepintar itu, kenapa dia tidak masuk saja ke pusat penelitian di istana? Padahal seorang ahli tanaman sihir sudah pasti dibutuhkan di sana." Katanya.

Tapi entah kenapa saat Elisa berkata seperti itu, Olivia tiba-tiba saja berhenti membalas dan langsung masuk ke pondok begitu saja. Baru setelah dia duduk di sofa, Olivia pun memasang senyum getirnya.

"Sebaiknya kau jangan bicara tentang itu di depannya." Katanya. "Nanti dia bisa kesal dan malah lari ke hutan untuk berburu beruang." Lanjutnya agak tertawa.

"Ya secara teknis beruang di hutan ini tinggal sedikit." Sahut Lunia yang tiba-tiba saja muncul dari pintu belakang. "Jadi belakangan ini Aku beralih ke berburu burung lagi." Lanjutnya.

Elisa sudah agak jantungan karena khawatir Lunia mendengar semuanya. Tapi ternyata Olivia terlihat santai-santai saja.

"Benarkah? Sayang. Aku lebih suka daging beruang." Balas Olivia yang masih bisa tertawa. Melihat itu, Elisa jadi makin sadar kalau mereka berdua sepertinya memang sangat dekat.

Tapi Lunia yang menyadari ekspresi Elisa kemudian mulai tertawa kecil. "Sebenarnya bukan apa-apa. Aku hanya pernah bekerja di sana lalu dipecat. Itu saja."

"Tapi kau tahu, kudengar Diana masih belum berhasil meniru ramuanmu." Sahut Olivia kemudian. "Bahkan kudengar kapal yang mengantarkan barang-barang ke sana juga ada yang tenggelam minggu lalu. Jadi belakangan ini dia sedang stres-stresnya." Lanjutnya geli.

"Benarkah? Kurasa tidak sia-sia Aku repot menenggelamkan kapalnya."

"Haha. Sudah kuduga."

"..." Semakin tidak paham dengan percakapan mereka berdua, Elisa pun memutuskan untuk kembali diam.

"Tapi setelah ini kau memangnya mau ke mana?" Tanya Lunia kemudian. "Mau tinggal di sini sih boleh, tapi kau harus bantu mengurus kebunku."

"Ah, tidak. Aku mau ke dunia manusia. Bunga Hilo milikmu masih ada kan?"

"...Kau mau pergi ke sana?" Balas Lunia kelihatan sama kagetnya seperti waktu Elisa mendengarnya. "Jangan-jangan mau tinggal di sana? Kenapa?!"

Merasa menemukan orang yang sependapat dengannya, Elisa jadi semangat. "Sudah saya duga! Itu memang bukan tempat yang bagus kan—"

"Ahh, Aku iri!" Potong Lunia duluan. "Kalau saja tidak harus merawat tanamanku di sini, Aku juga mau tinggal di sana!" Lanjutnya.

Melihat Elisa yang agak merengut, Olivia sempat mengulum bibirnya seperti menahan tawa. Tapi untungnya dia cepat-cepat menoleh ke arah Lunia lagi. "Kan bisa suruh orang lain mengurus tanamanmu." Katanya.

"Hmph, kau tahu Aku sulit percaya orang lain." Balas Lunia agak cemberut. "Tapi bunga Hilo-ku habis dipakai minggu lalu. Jadi mungkin baru lusa kau bisa menggunakannya."

"Ada yang menggunakannya? Siapa? Kau?" Tanya Olivia balik, meski anehnya Lunia malah terdiam. "...Hei, dipakai siapa?"

"Pokoknya ada, oke? Orang yang bisa bayar." Balas Lunia yang cepat-cepat kabur ke balik dapur.

Tapi dibalas seperti itu, Olivia malah jadi semakin penasaran. "Kalau begitu akan kubayar 2 kali lipat kalau kau beritahu Aku siapa yang menggunakannya!" Teriaknya sambil mengejar Lunia. "Siapa? Aku kenal ya?"

"Tidak dengar!"

================================================

Portal ke dunia manusia... Selain menggunakan bunga raksasa untuk membuka portalnya, sebenarnya cara untuk pergi ke dunia manusia ada macam-macam. Ada yang sulitnya setengah mati, ada yang pakai benda sihir khusus, ada juga yang harus lewat gua di bawah laut, atau bahkan lewat mulut seekor keledai.

Bahkan Olivia juga pernah tidak sengaja jatuh ke jurang dan malah tiba-tiba sampai di dunia manusia. Pokoknya macam-macam! Jadi ya, menggunakan bunga Hilo adalah salah satu yang paling mudah.

Dan setelah terpaksa membantu Lunia mengurus tanamannya selama dua hari, akhirnya Olivia dan Elisa pun bisa menggunakannya. Bunga Hilo, bunga cantik raksasa berwarna ungu yang kelihatan bisa makan orang.

Kalau Olivia punya kalungnya untuk menyimpan segala macam barang, Lunia juga memiliki gelangnya. Jadi begitu dia mengulurkan tangannya ke arah gelangnya, Lunia pun mengeluarkan sebuah botol kaca kecil yang isinya entah ramuan sihir apa.

Tapi sebelum menuangkannya, dia kembali memandang ke arah Olivia dulu. "Kau sudah siap? Tidak perlu sesuatu yang lain lagi?"

"Ah, kau mau masih punya ramuan penerjemah? Untuk Elisa." Kata Olivia.

Tidak membalas apa-apa, Lunia hanya memiringkan bibirnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil lain dari gelangnya. "Nih." Kata Lunia sambil melempar botol itu pada Elisa.

"Untuk nona Olivia tidak?" Tanya Elisa.

"Aku sudah."

"Terus, masih ada yang lain?" Tanya Lunia lagi. "Mau pinjam uang misalnya?"

"Uangku banyak."

"Oh. Yasudah." Balas Lunia kecut yang justru membuat Olivia tertawa. Dan Lunia pun menuangkan ramuan tadi ke bunga raksasa itu.

Lalu jeng-jeng… Mulut bunga itu pun mulai melebar dan membuat sebuah portal menyeramkan di antara mahkotanya.

"Tu-Tunggu. Mungkin saya perlu ramuan penenang juga." Kata Elisa sambil meremas lengan Olivia, meski dia dan Lunia hanya menertawakannya.

"Oh iya, kalau ada apa-apa, kau bisa hubungi temanku. Namanya Violet." Kata Lunia sambil menyerahkan secarik kertas. "Dan jangan lupa kirim surat padaku!"