webnovel

PROLOG

"Hh…" Bahkan sebelum memasuki ruangan, perempuan dengan gaun merah darah itu sudah punya dugaan kalau situasinya pasti lumayan buruk. Entah kesalahan apa yang sebenarnya terjadi, sepertinya beberapa saat yang lalu kerajaannya baru saja kehilangan beberapa hektar tanah di wilayah utara. Sehingga sekarang semua orang sedang sibuk mencari siapa yang bisa disalahkan.

"Darimana saja kamu, Olivia?" Tanya sang raja begitu putri keduanya memasuki ruangan utama istana.

"Hanya memeriksa beberapa wilayah di kota." Jawab Olivia seadanya sambil pura-pura memainkan rambut hitam panjangnya. Selagi Elisa, pelayan pribadinya hanya bisa panik dalam hati karena dia tahu Olivia sebenarnya habis main ke tempat pelelangan, yang entah legal atau tidak.

"Pertemuan dengan pihak kerajaan Yuria, bukankah harusnya kau yang menghadirinya?" Tanya sang raja lagi.

"Benar!" Sela tuan putri pertama, Elena. Tidak seperti adiknya, rambut hitamnya kelihatan melengkung di seluruh bagian. Mirip dengan gaun pinknya yang juga terlihat mengembang dengan sempurna.

"Sewaktu Aku ke sana, mereka terus saja menanyai Olivia dan tidak terlihat puas saat Aku di sana. Agh, mereka menyebalkan!" Lanjutnya sangat kesal.

"Tapi Aku sudah beritahu mereka kalau Aku tidak bisa datang. Dan kak Elena yang akan menggantikanku." Balas Olivia kemudian. "Benar kan?" Lanjutnya menoleh pada Elisa yang langsung mengangguk keras.

Walaupun sebenarnya pihak kerajaan Yuria memang tidak senang saat mendengar berita itu, dan sempat memaksa kalau Olivia sendiri yang harus datang. Tapi ya bagaimana lagi, soalnya Olivia perlu menghadiri lelangnya hari ini.

Raja sempat terdiam sejenak, tapi kemudian amarahnya tiba-tiba saja meledak. "Siapa?! Siapa yang sudah tidak becus mengatur jadwal para tuan putri?! Para pelayan kerjanya apa?! Seharusnya kalian mengatur jadwal Olivia dan Elena dengan benar! Lihat yang terjadi sekarang! Dua puluh hektar—"

"Tenangkan dirimu." Kata sang ratu sambil menghampiri raja.

Menurut, raja pun menarik nafasnya sesaat dan memelankan suaranya lagi. "Pokoknya cepat ganti pelayan kalian. Lalu Olivia dan Elena, kalian dihukum dan tidak boleh keluar istana selama dua minggu."

"Tunggu, tidak keluar istana tidak masalah, tapi kenapa pelayanku harus dipecat?" Protes Elena. "Yang tidak becus itu kan pelayannya Olivia. Semua ini salahnya."

Mendengar itu Olivia sempat melirik tajam ke arah kakaknya. Tapi bukannya marah, Olivia juga mulai memberikan pandangan tidak terima ke arah ayahnya.

"Wilayah utara… Bukankah itu hanya wilayah kosong? Tidakkah ini berlebihan?" Keluhnya juga.

"Apa?" Sahut raja tidak percaya. "Apa yang… Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?"

"Habisnya benar kan? Wilayah itu tidak seberapa berharganya, tapi kita sampai dihukum seperti ini? Tidak adil kan?" Lanjutnya sambil melihat ke arah kakaknya.

"...Ja-Jangan melihatku." Balas Elena sambil mengalihkan pandangannya, berusaha tidak mengakui kalau dia agak setuju dengan hal itu. "Walaupun tentu saja, Aku tetap tidak setuju kalau Marina dipecat."

"Tuh kan, kak Elena saja setuju." Celetuk Olivia lagi. "Lagipula yang seperti itu hanya sekedar perpindahan wilayah kan? Menurutku, asalkan tidak terjadi perang tidak ada masalah—"

"Olivia, hentikan." Sang ratu menyela pelan.

"Aku akan diam kalau Elisa tidak dipecat." Balasnya langsung. Di sampingnya Elisa menarik pelan lengan Olivia, tapi tuan putri itu kelihatannya serius.

"Ma-Marina juga." Elena ikut menambahkan.

Untuk beberapa saat, udara di ruangan jadi terasa sangat berat seakan mereka sedang siap-siap mengacungkan pedang ke leher masing-masing. Bahkan walaupun ini bukan pertengkaran pertama di keluarga mereka, entah kenapa kali ini rasanya benar-benar serius. Mungkin karena kedua tuan putri itu sudah lama tidak terang-terangan melawan perintah ayah mereka.

Tapi pada akhirnya, Raja yang duluan melemaskan pundaknya. Dia menghela nafasnya, tapi tetap menyipitkan matanya kembali. "Kalian tidak boleh keluar istana selama satu bulan, selagi kalian mencari pelayan baru."

"Ayah!" Protes Elena.

"Antar mereka ke kamar." Perintah raja lagi.

Dengan cepat, para pelayan yang ada di situ sudah akan menyeret mereka berdua. Tapi ternyata Olivia masih bersuara lagi. "Lupakan." Katanya, membuat semua orang terdiam sejenak untuk mendengarkan.

"Sebaiknya Aku juga ikut keluar saja."

"...Olivia, apa maksudmu?" Tanya sang ratu yang mulai merasa tidak enak.

Tidak langsung menjawab, Olivia ternyata malah merogoh sakunya. Dan dia pun mengeluarkan sebuah lencana emas yang berkilau, lencana istana. Bahkan bukan hanya sekedar lencana istana, itu lencana khusus keluarga kerajaan yang hanya dimiliki oleh 4 orang di sini. "Aku tidak mau tinggal di sini lagi."

Sontak, semuanya langsung melotot dengan mulut terbuka. "Olivia, kau gila?" Kata Elena duluan.

"Tadinya Aku ingin bilang saat ulang tahunku bulan depan, tapi yah..."

"Apa… Kau rela melakukan ini tiba-tiba hanya karena pelayanmu?" Tanya sang raja tidak percaya.

"Ayah tidak mendengarkanku? Ini bukan tiba-tiba." Balas Olivia sambil memainkan lencana di tangannya.

"Walaupun harus kuakui, mengganggu Elisa memang sedikit keterlaluan. Semua orang harusnya tahu kalau Aku sangat pilih-pilih pelayan, tapi sepertinya ayah tidak tahu itu."

"Nona Olivia, jangan." Kata Elisa yang kali ini menarik lengan Olivia lebih keras. "Saya tidak masalah dipecat. Nona Olivia jangan malah ikut—"

"Ditambah, minggu depan akan ada yang melamarku lagi kan?" Sela Olivia yang tidak mau menghiraukan Elisa.

"Aku tidak percaya Aku harus selalu dilamar setiap bulan. Aku sudah bilang Aku tidak mau menikah dulu tapi kalian terus saja memanggil pangeran-pangeran aneh. Bahkan salah satunya pernah menggodaku!" Olivia semakin meninggikan nada bicaranya.

"Pekerjaanku juga terlalu banyak, padahal banyak menteri yang bisa mengurusnya. Aku jadi tidak bisa terlalu banyak main. Itu juga harus diam-diam karena pengawal terus membuntutiku. Saat mendengar kalau Aku tidak boleh keluar istana selama satu bulan, jujur saja Aku benar-benar hampir pingsan tadi!" Lanjutnya panjang lebar sampai dia perlu berhenti dulu untuk mengambil napas.

"Pokoknya, lebih baik kalau Aku tidak usah jadi tuan putri lagi."

"Tapi meski begitu, kau tidak bisa tiba-tiba…" Kata sang ratu yang mulai tercekat. "Masalah lamaran bisa kita batalkan, pekerjaanmu juga bisa dikurangi! Yang mulia, cepat katakan sesuatu juga!" Kata sang ratu yang mulai panik.

Meski sayangnya raja malah memperburuk suasana. "Seorang tuan putri mengatakan hal seperti itu, sungguh memalukan! Pengawal, cepat bawa Olivia ke kamarnya dan pastikan dia tidak keluar dari sana!" Perintahnya lebih tegas.

Karena suasana yang terlalu tegang itu, para pengawal kelihatan sempat ragu selama satu-dua detik. Tapi pada akhirnya, mereka semua tetap menurut, dan mereka pun mulai mendekati Olivia.

Sang ratu bahkan Elena kelihatan hampir bergerak ingin mencegahnya, tapi mereka juga bingung mau bagaimana kalau ceritanya sudah begini.

Sehingga akhirnya Olivia pun harus menanganinya sendiri...

ZRATT! Sesaat setelahnya, Olivia sudah menggunakan sihirnya dan membuat es-es besar runcing ke arah leher para pengawal itu supaya mereka tidak bisa mendekat ke arahnya sedikit pun.

Semuanya tercengang melihat itu. Itu mengejutkan, tapi bukan di bagian sihirnya. Karena bagaimanapun ini adalah kerajaan sihir. Apalagi di istana, di mana sembilan puluh persen, terutama anggota keluarga kerajaan, semuanya bisa melakukan sihir.

Hanya saja, fakta bahwa Olivia berani menggunakan sihirnya untuk melawan… Tindakan Olivia sudah hampir seperti pemberontakan.

"Mungkin tidak terlalu kelihatan, tapi tadi Aku sudah berusaha mengatakannya baik-baik..." Kata Olivia yang masih terlihat mengerutkan dahinya. "Tapi kalau ayah memaksa begini, Aku jadi semakin ingin membantah."

Dan tentu saja, raja menggertakkan giginya semakin marah. "Olivia, bisa-bisanya kau melawan seperti ini! Apa kau tidak tahu kalau tindakanmu ini bisa dianggap sebagai pemberontakan?!" Bentaknya.

Tapi anehnya saat mendengar itu, Olivia malah menaikkan sebelah alisnya seperti terpikir sesuatu. "...Kalau Aku dianggap jadi pemberontak, apa Aku harus diusir dari istana? Kalau begitu kebetulan—"

"Olivia!"

"Sudah! Kalian hentikan!" Sela sang ratu lagi. "Masalah ini bisa diselesaikan pelan-pelan. Jangan bertengkar seperti ini!" Katanya.

Dan selagi ratu berusaha menenangkan raja, Elena mendekat pelan ke arah Olivia dan mencubit lengannya. "Kau gila ya?" Katanya. "Aku mengerti perasaanmu, tapi ini sudah berlebihan kan?"

Memandangi kakaknya balik, pandangan Olivia tiba-tiba saja berubah jadi ragu. "Kalau begitu, bagaimana kalau kakak ikut denganku saja?"

Agak kaget dengan ajakan itu, Elena sempat terdiam sejenak. Tapi kemudian pandangan marahnya kembali lagi. "Kau tidak bisa pergi dari sini!" Katanya mengomel.

'Tidak meninggalkanku sendiri!' Lanjutnya dalam hati.

Tapi Olivia tidak bisa membalasnya lagi, karena dia kembali memfokuskan pandangannya ke arah raja dan ratu. "Aku serius kali ini. Jadi mau dianggap sebagai pemberontak atau apapun, Aku tetap akan keluar istana." Katanya serius.

Melihat Olivia yang biasanya riang jadi serius seperti itu, semua orang pun jadi terdiam. Bahkan raja dan ratu. Walaupun tentu saja mereka tetap tidak bisa menyetujui itu. "Tetap tidak boleh." Kata raja.

Tapi mendengar itu, Olivia hanya mendesah pelan, seperti tahu dia akan dapat jawaban itu. "Kalau begitu biar kutunjukkan satu hal lagi." Katanya kemudian. Yang setelahnya malah mulai mengulurkan tangannya ke arah kalungnya. Sampai kalungnya bercahaya dan mengeluarkan sebuah benda.

Sebuah kubus berwarna emas.

Semua orang tadinya hanya terperangah kaget dan bingung, tapi Elena kemudian menyadarinya duluan. "Itu—?!"

"Aku mencurinya beberapa bulan lalu." Aku Olivia blak-blakan.

"Itu benda yang ada di ruangan item sihir? Bagaimana bisa?! Selain ayah, seharusnya tidak ada yang bisa memasuki ruangan item sihir." Kata Elena yang masih terdengar sangat kaget.

"Pokoknya bisa." Jawab Olivia tanpa menoleh karena dia sudah kembali fokus pada rubik emasnya. Sampai kubus itu mulai berubah menjadi puluhan pisau kecil yang melayang di udara.

Secara spontan, semua orang langsung bersikap was-was lagi. Tapi ternyata Olivia hanya menggunakan salah satu pisaunya untuk menghancurkan lencana kerajaan yang dia jatuhkan ke lantai.

Lencana itu sempat mengeluarkan pelindung sihir, tapi detik berikutnya pelindung itu hancur, begitu juga dengan lencananya. Lencana yang merupakan identitasnya sebagai tuan putri.

Dan tepat setelah melakukannya, senyum kembali melebar di wajah Olivia. "Aku selalu ingin mencobanya." Katanya agak puas.

Seisi ruangan masih hening memperhatikan Olivia, tapi kemudian raja bersuara lagi. "Kubus itu… Kau bisa menggunakannya?" Tanyanya agak terperangah. "Tapi sudah hampir seratus tahun tidak ada orang yang bisa menggunakannya..." Lanjutnya bingung.

Tapi Olivia hanya memiringkan bibirnya dan memberikan jawaban yang sama. "...Yah, pokoknya bisa." Balasnya.

"Tapi dengan begini, bukan cuma jadi pemberontak, Aku juga sudah jadi pencuri tingkat kerajaan. Jadi sudah jelas kalau statusku sebagai tuan putri harus dicabut dan diusir dari istana kan? Ah, atau kalau mau dipenjara dulu juga boleh. Nanti Aku tinggal melarikan diri."

"Olivia... Kau serius dengan semua ini?" Kata Elena sudah tidak habis pikir.

"Aku kan memang sudah bilang daritadi kalau Aku serius—"

"Tidak bisa! Tidak boleh!" Sela sang ratu mulai panik lagi sampai dia berlari ke arah Olivia.

"Kamu tidak boleh meninggalkan istana. Benar! Elisa juga tidak perlu dipecat. Dihukum juga tidak perlu. Kubus itu juga, karena memang tidak ada yang bisa menggunakannya, itu pantas jadi milikmu. Pokoknya semuanya boleh, tapi kamu tidak bisa pergi dari istana. Tidak bisa! Nanti ibu… Aku, bagaimana?" Kata Ratu terdengar sangat putus asa sambil menggenggam erat tangan Olivia.

Meski begitu, Olivia melepaskan tangan sang ratu dengan pelan. "Tenang saja. Masih ada kak Elena." Katanya, membuat sang ratu tidak bisa membalas lagi seakan semuanya kelihatan sudah berakhir.

"Sudah tidak ada yang protes? Kalau begitu Aku akan segera pergi. Kubusnya kubawa lho. Elisa juga, siapkan barang-barangmu." Lanjutnya pada Elisa.

Elisa kelihatan ragu beberapa detik, tapi akhirnya dia memutuskan untuk membungkuk ke arah para keluarga kerajaan untuk terakhir kalinya dan pergi mengikuti Olivia.

"..." Seperti pasrah sekaligus bingung membiarkan putri kedua mereka pergi begitu saja, raja dan ratu hanya bisa terdiam lemas di tempatnya masing-masing.

Tapi tanpa diduga, Elena malah kelihatan marah sampai dia jadi mengepal tangannya kesal sebelum akhirnya berteriak, "Olivia! Kau hanya ingin meninggalkan semua pekerjaanmu padaku kan?! Dasar pemalas!"

Sambil terus berjalan, Olivia hanya menoleh sedikit dan memperlihatkan senyum kecilnya. "Apa yang dia bicarakan? Padahal dia memang suka bekerja."