webnovel

chapter 3

Setelah pergi belanja dan juga menonton film. Aku dan Audrey sekarang berada di sebuah cafe, katanya dia sangat lapar. Padahal aku sedang tak ingin makan. Tapi, aku tak bisa menolaknya. Aku hanya menuruti keinginan Audrey dan pergi untuk makan bersamanya.

Aku sudah mulai bosan apalagi ketika Audrey sangat lama untuk datang ke sini. Entah pergi kemana dia sekarang. Aku melamun memandang kaca jendela yang menampilkan lampu-lampu malam. Pikiranku entah pergi kemana, hari ini aku sangat lelah dan ingin beristirahat mungkin karena sejak tadi aku belum menidurkan badanku di kasur kesayanganku karena ulah Audrey yang mengajakku berkeliling.

"Nala!"

Suara itu. Akhirnya, Audrey kembali. Aku sudah ingin cepat-cepat untuk pulang. Aku mengubah arah pandangku yang awalnya menatap kaca jendela sekarang melihat ke arah Audrey yang membawa makanan. Sekarang aku akan makan dan segera pulang menuju rumah. Aku sudah tidak sabar untuk beristirahat rasanya badanku sudah sakit semua. Apalagi kakiku yang memakai hig-heels yang menyebalkan ini.

"Kenapa lo lama? Gue udah mau tidur Drey."

"Tadi ngobrol sama cowok ganteng, kelupaan makannya," ucapnya sambil cengegesan. Aku benar-benar ingin memukul kepala Audrey dan menyadarkannya astaga.

Tanpa pikir panjang lagi. Aku dan Audrey makan tanpa bicara sepatah katapun, aku segera menarik Audrey untuk keluar dan segera pulang. Besok kita sekolah, apakah Audrey lupa? Apalagi jadwal besok guru yang sangat kejam akan mengajar!

***

Aku sudah sampai di rumahku. Sepertinya kedua orang tuaku masih sedang makan dan belum tertidur. Aku berjalan ke arah mereka dan segera duduk di salah satu meja, meski sudah makan aku tetap ingin memakan masakan Bunda. Itu sangat lezat, aku tak bisa menolak pesona setiap masakan yang di masak oleh Bundaku.

"Nak, kamu baru pulang yah? Habis dari mana jam segini baru pulang," ucap Bunda sudah pasti dia sangat khawatir terhadapku.

"Nggak papa Mah, wajar anak gadis jalan sama pacar," timpal Ayahku.

Aku menggeleng menanggapi ucapan mereka. "Nggak, Nala nggak jalan sama pacar ih Ayah. Tadi Audrey ngajak jalan."

Kedua orang tuaku malah terkekeh. Kedua mata mereka seolah menatap baju yang aku gunakan, ini semua gara-gara Audrey. Jadi semuanya mengira aku telah jalan bersama pacarku. Padahal punya pacar saja tidak, aku tak pernah tertarik untuk berpacaran. Tentu, aku selalu mengingat Sakala.

Nama itu, wajah itu dan kenangan yang ada bersama Sakala. Tak pernah bisa terhapus meskipun aku ingin melupakannya, seolah semuanya berjalan dengan sendirinya aku hanya bisa menerima dan terus mengingatnya. Aku tak pernah bisa melupakan bagaimana raut wajah senangnya saat bercerita tentang hal kecil, apalagi tentang bunga kesayangannya Smeraldo.

"Kamu cantik banget pake baju gitu sayang," ucap Ayahku sambil membelai rambutku. Ibuku menganguk  tanda dia juga setuju  dengan ucapan Ayahku mungkin.

"Audrey ngajak aku keliling mall, terus nyuruh pake baju ginian," ucapku sambil mengadu.

"Bagus dong, kamu jadi makin cantik. Nanti Bunda bakalan nyuruh Audrey milihin baju buat kamu aja biar nurut." Bundaku tertawa. Dia tahu setiap aku di belikan baju seperti ini aku akan menolaknya, tapi Audrey tak bisa di tolak. Aku sedikit tak enak menolaknya dan juga tak bisa melihatnya murung.

Berbeda dengan orang tuaku yang selalu mengikuti ucapan anaknya. Audrey tak ingin keinginanya di tolak, karena itu aku selalu menerima apa yang dia inginkan. Terlebih tentang mengubah penampilanku.

Aku segera mengambil makanan yang telah di sajikan di atas meja. Memakannya dengan lahap tanpa berbicara lagi, sekarang kami makan dalam keheningan. Hanya terdengar suara sendok dan piring yang bertemu.

Perutku rasanya sudah sangat penuh. Aku sangat kenyang, masakan Bunda memang sangat lezat. Tak akan pernah ada yang mengalahkan masakan lezat Bunda, aku selalu menyukainya. Aku berpamitan kepada orang tuaku setelah selesai membersihkan piring kotor setelah makan.

Kaki ku berjalan menuju kamar yang sudah aku tunggu sejak tadi. Aku sangat mengantuk, sepertinya malam ini aku akan tertidur dengan lenyap. Mataku sudah sangat berat dan aku tertidur.

Seorang gadis menangis dengan sangat keras. Iyah, itu aku. Saat itu aku terjatuh karena berlari dan mengejar Sakala. Mataku menatap Kala yang terus meniupi luka di lututku. Itu membuatku berhenti menangis, seperti lututku telah mendapatkan obat dari bibir Kala.

"Kala. sakit banget aku takut di bawa ke dokter," ucapku mengadu. Entah mengapa, aku sangat suka ketika aku mengadu pada Kala. Dia akan dengan tenang membuatku tidak takut.

"Nggak akan Sea, lagian ini udah hampir sembuh sama aku."

Aku terkekeh melihat ucapan Kala. Dia sangat menggemaskan ketika mengucapkan kata itu. Aku menyukainya, aku sangat menyukai senyumannya.

Seperti sebuah perjalanan DVD, semuanya berputar dengan cepat. Aku hanya bisa terus menikmati mimpi yang datang ke dalam malam hariku. Selalu indah, namun terkadang berubah mengerikan.

Aku menikmati hari dimana aku selalu bersama Sakala. Aku sangat merindukannya. Ketika mimpi indah menghampiriku, mimpi itu kembali datang. Darah berada di sekitar badanku dan Sakala. Semuanya menjadi gelap dan aku terbangun.

Mimpi itu lagi. Aku merasakan keringat terus berjatuhan dari keningku. Rasanya aku akan sulit untuk tertidur lagi, aku takut. Sakala, aku benar-benar membutuhkanmu. Tanganku memeluk diriku sendiri, mimpi ini selalu datang dan datang lagi ke dalam tidur nyenyak ku.

Aku memang ingin jika Kala datang ke dalam malam heningku. Datang dengan indahnya dan memberikan perjalanan waktu masa lalu yang sangat menyenangkan. Bukan, bukan di mana hari kita terluka. Bukan di mana hari aku kehilangannya. Itu bukan kenangan manis, itu menyakitkan bagiku.

Tanpa aku sadari. Aku sedang terisak sejak tadi, air mataku mengalir dengan hebatnya. Malam hari yang sepi selalu membuatku menangis dengan hebat, apalagi ketika aku telah merindukan Sakala di dalam hidupku. Bukan satu atau dua kali mimpi itu selalu datang setiap saat aku merindukan Sakala di dalam hidupku.

"Kala. Sea rindu Kala, Sea ingin di peluk sama Kala," ucapku terisak sambil memandang ke depan. Berharap ada sosok itu datang dan memelukku.

Entah mimpi atau tidak. Sekarang seolah nyata, seseorang datang menghampiriku. Wajahnya, senyumnya itu Sakala. Apakah ini nyata? Mengapa Sakala ada di dalam kamarku sekarang? Aku berlari menghampirinya. Memeluknya dengan sangat keras dan sesekali memukul pelan dadanya karena sangat merindukannya.

"Kala, aku beneran kangen kamu. Kamu kemana aja?"

Tangan besarnya mengelus puncak kepalaku. Membuat tangisanku semakin tak kuasa ku tahan, aku terisak dan memeluknya semakin erat. Telingaku mendengar kekehan dia yang sangat candu. Sakala, terus tersenyum aku sangat senang mendengar suara tawa dari dirimu.

"Sea, aku nggak kemana-mana. Aku ada sama kamu."

Sial. Sakala kenapa berbohong? Sudah belasan tahun dia meninggalkanku. Mengapa dia berkata bahwa dia selalu ada bersamaku? Jika iyah, ada dimana dia selama aku selalu mencarinya. Sakala pasti sedang bercanda.

"Bohong! Kala kenapa bohong. Selama ini Kala kemana aja? Aku nyari Kala nggak pernah ketemu semua orang bilang Kala mati. Tapi, aku masih nggak percaya kamu pergi. Katanya janji bakalan sama aku terus, buktinya mana Kala?" teriakku histeris sambil memukul pelan dadanya.

Aku masih belum melepaskan pelukannya. Sekarang aju tak mau kehilangan dirinya lagi tak peduli apa yang terjadi. Sakala akan selalu bersamaku, tidak akan pergi kemana-mana lagi. Namun, tangan kekarnya melepaskan pelukanku. Aku berusaha keras untuk tetap memeluknya namun sayang tenaga ku selalu kalah jika berurusan dengan Sakala. Dia berlari menuju luar jendela dan melompatkan dirinya dari atas jendela. Aku berteriak memanggil namanya.

Aku terbangun dengan kedua orang tuaku yang sudah berada di sampingku. Bunda menangis dengan sangat keras. Tunggu, jadi sedari tadi aku hanya bermimpi? Mengapa semuanya seolah sangat nyata? Apakah karena aku terlalu merindukan Sakala?

Aku memeluk erat Bundaku. Aku juga takut, takut ketika Sakala pergi dan meloncat dari jendela kamarku. Tangisanku seolah bersambung dari mimpi menjadi kenyataan. Aku menangis dengan sangat kuat. Tidak, aku sangat merindukan Sakala.

"Bunda, Kala tadi datang ke Sea. Tapi dia loncat dari jendela sana," ucapku mengadu sambil menunjuk jendela di dekat kamarku.

Mataku menangkap cairan bening yang semakin turun dari mata bundaku seperti air hujan. Aku tak tahu mengapa Bunda menangis, aku benar-benar bertemu dengan Sakal tadi. Bukan, semuanya bukan mimpi. Ini pasti nyata. Aku tahu Sakal masih hidup, bahkan dia datang tadi.

"Bunda, Ayah... Sakala beneran masih ada kan?"

Ayahku duduk di sampingku. Mencium keningku dengan sangat sayang. Tangannya mengelus rambutku, aku menatap wajahnya yang tersenyum sangat tulus kepadaku.

"Sea, Kala udah pergi ikhlasin yah?" ucapnya membuatku memberontak.

"Ayah, jangan bohong nggak lucu. Terus tadi siapa yang  Sea peluk? Pasti dia ada kan Ayah?" Aku memukul dadaku karena menangis. Tanganku di pegang oleh Bunda, dan di tahan agar tak melukai diriku sendiri.

"Udah nak, tidur yah."

Bunda berbicara sambil memeluk dan mengelus rambutku. Seolah aku adalah bayi, tangannya yang menari-nari di atas kepalaku membuatku sedikit mengantuk. Tangisan ku sedikit mereda mungkin karena Bunda menenangkanku. Mataku menjadi sangat berat dan rasa mengantuk sudah mulai menguasai diriku. Perlahan mataku tertutup dan aku tertidur. Entah apa yang terjadi selanjutnya.

Namun, sebelum mataku benar-benar tertidur. Aku sempat mendengar ucapan dari ibuku, dia mengkhawatirkanku. Aku tak pernah menginginkan ibuku merasakan kesedihan. Namun, mengapa aku selalu membuatnya ada di dalam jurang kesedihan?

Terkadang aku membenci kenangan yang masih terus tersimpan apik di dalam otakku. Karena itu semua aku selalu membuat Bundaku menangis dan mengkhawatirkanku. Aku selalu ingin melupakan kejadian itu, semuanya salahku. Andai saja aku tak pernah mengejar kupu-kupu itu, aku tak akan pernah kehilangan Sakala.

Jika aku yang membuat semuanya terjadi. Lantas kenapa aku masih tetap hidup? Mengapa pada saat itu bukan aku yang meninggalkan dunia saja? Mengapa harus Sakala. Andai Sakala tidak pernah berlari dan menolongku, mungkin hanya aku yang terluka dan meninggal semuanya tidak akan menjadi serumit ini.

Sakala. Nama yang selalu membuatku merasakan cinta dan benci sekaligus. Aku mencintai bagaimana dia yang sangat baik dalam semua hal dan aku membenci bagaimana Sakala yang menolongku saat itu. Namunn, daripada membenci dirinya aku lebih membenci diriku sendiri.