webnovel

chapter 2

Sejak keputusanku untuk mengajak Audrey datang ke tempat dimana Sakala berada. Dia terus-terusan tersenyum cerah, kerap kali mengganggu ku dan terus bertanya siapa Sakala itu. Ya, Audrey belum mengetahui kejadian di masa lalu itu.

Dan mungkin, untuk saat ini juga. Aku tak akan menjelaskan siapa Sakala. Biarkan Audrey hanya tahu tempat dimana dia berada.

"Gue mau ke toko bunga dulu. Lo mau ikut apa nungguin di sini?" tanya ku sambil memperhatikan Audrey yang terus-terusan menatap dirinya di pantulan kaca.

"Gue ikut! Mau beli bunga juga."

Akhirnya aku dan Audrey pergi menuju toko bunga. Tanganku mengambil beberapa ikat bunga terkhusus bunga tulip kuning dan baby breath. Bunga kesayangan Sakala tentunya. Aku pergi menuju kasir dan segera membayarnya.

Setiap melihat bunga ini aku sangat merindukan bagaimana Sakala dengan pintarnya selalu bercerita tentang bunga Smeraldo. Apa aku tidak mengatahuinya, tapi katanya dia sangat menyukai bunga tersebut. Kerap kali aku bertanya beberapa toko dimana membeli bunga itu aku malah di katai gila.

Padahal jika saja bunga itu benar-benar ada. Aku ingin memberikannya sebagai hadiah saat Sakala ulang tahun nanti.  Aku tak pernah tahu bagaimana bentuk Smeraldo. Namun, saat rasa penasaran diriku semakin ingin tahu aku dapat mengetahuinya. Bunga itu memang sangatlah indah, uniknya aku sering menatap bunga itu sebelum tertidur.

Ternyata nama bunga itu hanyalah fiktif dan setelah mengetahui semuanya. Aku hanya sering membaca atau mendengarkan lagu-lagu yang berkaitan dengan bunga ini sambil mengingat.

Selain menjadi nama sebuah bunga fiktif, Smeraldo juga menyimpan legenda tersendiri. Hal ini dijelaskan dalam tulisan Legend of the Smeraldo Flower di Medium.

Legenda Smeraldo lekat kaitannya dengan kisah cinta seorang pria kepada seorang perempuan yang tak bisa tersampaikan dan berakhir dengan kesedihan.

Bunga Smeraldo diceritakan mekar di La Citta Di Smeraldo, sebuah pedesaan di utara Italia.

Di sana hidup seorang pria yang tinggal di kastil sendirian, akibat diasingkan oleh keluarganya. Ia berasal dari keluarga bangsawan, tetapi karena lahir di luar pernikahan, ia dianggap petaka, sehingga perlu dikucilkan.

Gara-gara hal tersebut, ia jadi insecure dengan dunia luar. Satu-satunya yang dilakukannya sebagai hiburan adalah menanam bunga.

Hingga suatu hari ada seorang gadis miskin, yang kerap mencuri bunganya berulang kali. Sampai pada akhirnya si pria memutuskan untuk membuntuti si gadis tersebut hingga ke desa dengan mengenakan jubah.

Ternyata gadis tersebut mencuri bunga untuk dijual, demi menyambung hidup. Si pria lantas mencoba membantu menanam bunga terbaik, dengan serangkaian eksperimen, hingga terciptalah Smeraldo.

Sayang, setelah ditunggu beberapa lama, si gadis tak kunjung datang. Ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya ke desa, dan justru kabar sedih yang diterima, lantaran si gadis telah meninggal.

Tentu saja si pria merasa sangat sedih dan menyesal, karena sampai saat terakhir ia belum sempat berjumpa langsung dan berani mengungkapkan rasa cintanya kepada perempuan tersebut, yang tak lain adalah orang yang dikaguminya untuk pertama kali.

Itulah kenapa Smeraldo juga disebut sebagai 'non potevo dire la verita' atau The Truth Untold.

Cerita dari bunga itu sering kali membuatku menangis.  Aku seolah adalah pria yang mencintai gadis itu, hingga gadisnya telah tak ada di dunia. Sama hal nya dengan aku yang masih tetap sama mencintai Sakala yang bahkan sudah bahagia di dunia sana.

Aku selalu melamun saat melihat bunga yang aku pegang. Selain menyukai bunga fiktif, dia juga sangat menyukai bunga cantik kecil dengan nama baby breath. Entah mengapa Sakala kecil sangat menyukai bunga itu.

"Shanala!"

Aku terkejut mendengar Audrey memanggil namaku. Pasti dia sudah sangat kesal karena menunggu. Aku harus segera melupakan tentang Smeraldo maupun kenangan ku bersama Sakala. Tapi, mungkin cintaku akan tetap sama kepadanya. Sama seperti kali pertama Sakala mengajakku berpacaran, aku akan berkata bahwa dia tetap menjadi pacar pertama dan terakhir ku.

Setelah membeli beberapa bunga aku dan Audrey pergi   menuju pemakaman. Disana sangat sejuk, aku selalu menyukai tempat dimana Sakala berada. Karena di sana aku sering mengadu kepadanya. Tentang hariku atau kerinduanku.

"Nala, dimana tempatnya?" tanya Audrey.

Aku berjalan menuju sebuah pemakaman dengan bunga yang hampir layu disana. Apakah tidak ada yang pernah datang ke sini? Ah, iyah aku lupa. Terakhir kali aku datang saat 2 minggu yang lalu, pantas saja bungnya telah layu.

Orang tua Sakala jarang datang menemui pemakamannya. Entah karena apa, mungkin tak ingin mengingat masa kelam dahulunya. Aku duduk di dekat Sakala. Mengelus nya pelan, seolah dia ada di depanku dan sedang tertidur.

"Sakala, aku Sea. Ini bunga yang kamu suka. Seharusnya aku bawakan Smeraldo kesayanganmu itu. Sayang, itu hanya bunga fiksi. Kamu kenapa nggak cerita bunga itu nggak ada? Sejak kecil aku menangis mencari bunga itu terus menerus!" aduku pada Sakala.

Saat itu hujan sangat deras. Aku yang berumur 7 tahun dan masih percaya bahwa Smeraldo itu nyata menangis dengan keras. Karena itu hari dimana Sakala ulang tahun dan aku berjanji akan membawakan smeraldo ke pemakamannya. Sayang, bunga itu tak pernah ketemu.

Aku sampai demam karena berlari keluar dan mengintari setiap toko untuk mencari bunga Smeraldo. Saat itu juga Ayahku memberikan ku bunga Baby Breath dengan iming-iming itu adalah bunga yang diinginkan Sakala. Sejak saat itu juga setiap ke pemakaman aku selalu membawa bunga itu bersamaku.

"Ini namanya Audrey temenku." Aku menunjuk Audrey dan memperkenalkannya kepada Kala.

"Hai Sakala, gue Audrey."

Mata Audrey terlihat menahan tangis. Aku mengerutkan kening mengapa dia menangis? Aku sudah mengajaknya menuju rumah Sakala. Sekarang Audrey malah menjadi sedih.

Aku melihay Audrey menyimpan bunga mawar berwarna merah di atas batu nisan Sakala. Air matanya meluruh, aku tak bisa berbicara sepatah kata lagi dan hanya diam menatap gerak gerik Audrey.

"Sakala, maafin gue. Gue kira lo masih ada, makanya gue bawain bung ini supaya kalian jadian. Maaf Kal, gue nggak tahu kalau lo udah nggak ada."

Audrey meminta maaf dengan tangisan yang luruh dari matanya. Aku segera memeluk Audrey, tidak ini bukan salahnya. Seharusnya aku mengatakan untuk mengajak Audrey ke pemakaman bukan ke rumah. Ah, Audrey pasti salah faham.

"Udah Drey jangan nangis. Gue mau ngajak lo jalan-jalan bukan melow!" ucapku menghapus beberapa tetes air mata di matanya.

Audrey kembali tersenyum. "Iyah, astaga kenapa gue jadi nangis. Padahal kan lumayan di temenin nge mall sama Shanala."

Aku terkekeh sambil mencubit pelan pergelangan tangan Audrey. Baru di katakan untuk jalan-jalan saja matanya langsung berubah ceria, dasar memang Audrey.

Aku menyimpan bunga itu lalu tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan pemakaman Sakala. Tanganku bergerak untuk mengelus nisan yang bertulisan nama Sakala. Hanya Sakala, tidak ada nama awal ataupun nama akhir dari dia.

Aku segera pergi dari tempat itu. Entah perasaanku atau bukan, aku sudah merasa tidak nyaman sejak tadi. Aku melihat siluet seseorang yang terus menatap ke arah ku. Makanya aku memutuskan untuk pergi dari pemakaman ini dan berjalan-jalan sekejap bersama Audrey. Seperti janji yang ku buat saat berada di sekolah. Aku bahkan belum mengganti seragam sekolahku. Sejak pulang aku segera bergegas pergi ke sini bahkan belum menyempatkan untuk pulang dan berganti pakaian

***

Sudah berjam-jam aku berdiam diri dan hanya melihat Audrey berlalu lalang mencari beberapa pakaian yang harus aku gunakan. Sebenarnya aku ingin menolak bahkan sudah menolak, namun Audrey tetap keukeuh dengan pendiriannya dan memilih-milih baju yang pantas untukku katanya.

Sekarang dia sedang mengambil baju dengan warna pink. Astaga, apakah aku harus sangat terlihat feminim? Audrey benar-benar menyebalkan.

"Shalalalalana Shalalalana," teriaknya bersenandung memanggil namaku. Panggilan macam apa lagi ini, astaga aku tak habis pikir dengan tingkah yang selalu ada dari Audrey.

"Ganti baju ini! Nggak ada penolakan terus nanti dandan yuhuuu," teriaknya dengan girang.

Apa katanya? Aku tak bisa menolak. Astaga Audrey! Aku bahkan tidak pernah menyukai baju dengan warna cerah, apalagi sekarang baju seatas lutus yang sangat pas di badan.

Aku hanya bisa menurut dan tidak dapat menolak. Memang salahku menjanjikan Audrey hal yang membuatnya bahagia dan berteriak kegirangan. Sekarang, dia malah menjerumuskanku menuju diriku yang lain.

Aku mencoba pakaian ini. Meski terlihat cukup bagus di  badanku, aku sedikit risi dengan panjang bajunya yang sangat pendek. Apalagi sepatu yang tinggi ini, meski tidak terlalu tinggi tapi aku tak pernah terbiasa menggunakannya.

Aku keluar dengan pakaian dan sepatu senada yang sudah kugunakan. "Gimana Drey, lo puas?"

"Puas banget! Tambahan dikit," ucapnya sambil menjepit beberapa helai rambutku.

Aku berjalan dengan pelan karena tak terbiasa menggunakan sepatu hak tinggi. Sedangkan Audrey berjalan dengan sangay cepat. Aku harus nenyusul Audrey sekarang, aku sedikit berusaha mempercepat langkah kaki ku. Namun, sepertinya aku sedang sial dan malah akan terjatuh. Aku berteriak kaget namun untungnya seseorang menolongku.

Garfield Kevan S.

Nama yang tertera pada atas sakunya. Sepertinya dia satu sekolah dengan kami. Audrey berlari menghampiriku dan matanya membelalak seolah kaget. Aku berdiri setelah di bantu olehnya.

"Makasi," ucapku.

Namun, laki-laki itu malah pergi dan berbalik tanpa membalas ucapan terima kasihku. Sialnya mengapa aku sangat ingin marah dan memaki-maki dirinya. Berani sekali dia tak menjawab ucapan terima kasihku.

Berbeda dengan diriku yang kesal. Audrey malah berteriak kegirangan, aku tak tahu apa yang terjadi padanya sehingga berteriak seolah telah mendapatkan sebuah emas yang sangat besar.

"Ahhh!!! Shanala, dia dia kak Kevan. Aduh ganteng banget, gue nggak kuat," teriaknya dengan mata yang terus menatap laki-laki itu. Aku hanya mengangkat bahuku tak peduli. Aku baru ingat bahwa dia laki-laki yang membuat kantin menjadi sangat ribut karena kedatangannya.

"Gue nggak peduli," ucapku sambil meninggalkan Audrey yang masih melamun.

Garfield Kevans S... S? Mengapa aku seperti pernah mengenalnya di suatu tempat. Namanya, mengapa seperti tidak asing di telingaku. Saat mataku dan matanya bertemu, aku merasakan dia dan aku pernah bertemu. Tapi dimana, aku sangat lupa. Saat-saat seperti ini aku membenci otakku yang mudah melupakan kenangan.

"Dia siapa? Apakah kita pernah bertemu?" bantinku berbicara.