webnovel

Pertemuan – 5

Aku terbangun.

Aneh, kenapa tidak hangat seperti malam tadi?

Begitu sadar, rupanya aku telah dibaringkan di kamar kemarin yang seharusnya tadi kudiami bersama Gill.

Kuedarkan pandangan, terus mengedipkan mata saking beratnya. Pandanganku kian membaik, di depan tampak Gill berdiri di depan cermin sambil memakai jubah Arsene.

"Eh? Pangeran?" Ia melihat bayanganku rupanya.

"Papa dimana?" tanyaku.

"Bukannya masih tidur?" balas Gill. "Kamu menjenguknya tadi?"

Aku pun dengan jujur menceritakan kejadian malam itu dan fakta kalau kini aku diangkatnya sebagai anaknya. Tapi, entah demi apa, aku sengaja tidak menceritakan masa lalunya. Barangkali, malam kemarin ia hanya bertutur untukku saja. Lagipula, aku yakin Gill juga tahu masa lalunya.

Gill tersenyum. "Ah, kamu punya ayah sekarang."

"Dan kamu dan Nemy abangku." Aku turut tersenyum. "Itu jubah Papa, ya?"

Gill mengiakan. "Pinjam sebentar."

Aku tidak keberatan jika ia memakai jubah Arsene. Lagipula, ukuran jubahnya lebih cocok bagi Gill dibandingkan denganku.

"Tirta menyuruhku memakainya," ujarnya. "Bagaimana?"

Aku berusaha tersenyum. "Bagus"

"Trims!" Gill tersenyum. Ia lalu keluar sambil memakai jubahnya. "Ayo, makan!"

Rumah Wynter yang baru tidak semegah yang kubayangkan. Aku ingat kalau mereka termasuk golongan kaya, kalau dilihat dari wajah dan tingkah, tapi akh tidak melihat kenyataannya. Barangkali, mereka simpan hartanya di suatu tempat.

"Kita makan di mana?" tanyaku.

"Di sana."

Gill menuntunku ke sebuah ruang kecil penuh makanan. Terdiri dari beberapa daging sapi bakar dengan reretan botol minuman beragam. Anehnya, Gill tetap menyuruhku minum air putih saja meski aku tertarik dengan salah satu botol itu.

Kami duduk berhadapan. Gill memotong dagingku hingga cukup kecil untuk mulutku baru kemudian memotong makanannya.

Rasanya sungguh enak, seperti rempah-rempah, meski aku sendiri ragu bagaimana rasa rempah-rempah yang langsung dari tempatnya. Di Ezilis, kami hampir tidak punya bumbu makanan selain meminta entah ke Timur maupun belahan dunia lain.

Aku heran kenapa rumah ini begitu sunyi. Ketika kutatap sekeliling jalan, tidak ada siapapun di sana. Hanya ada aku dan Gill.

"Ke mana semua orang?" tanyaku.

"Ada," balas Gill. "Sebagian keluar, ada yang diurus katanya."

"Lalu, tiga Guardian tadi?" tanyaku. Aku tidak melihat keduanya di ruang tengah seperti kemarin malam.

"Kurasa sedang tidur juga." Gill menyuap dagingnya lalu membuang sesuatu yang berbentuk seperti tulang kecil dari mulutnya. "Ke kamar masing-masing."

"Aku bangun kesiangan atau terlalu pagi?"

Rumah Count memang luas dan tertutup, siang dan malam tidak ada bedanya. Dalamnya pun tak kalah misteriusnya. Kian menit berlalu, semakin dibuat penasaran.

Gill mengangguk sambil menyuap makanannya. Ia barangkali harus menungguku bangun baru bisa makan.

Kutundukkan pandangan, aku telah selesai sarapan. Tersisa daging kecil yang entah kenapa tidak dibuang waktu dimasak. Lantas, terbesit dalam pikiranku untuk memberikannya kepada hewan-hewan di luar.

Aku berdiri.

"Sini, biar kubereskan." Gill mengambil piring sisa makananku. Ia beranjak dari duduknya lalu menjauh.

Aku keluar dari ruang itu, berniat keliling rumah. Pandanganku tidak sengaja tertuju pada pintu kamar yang terbuka.

"Zahra?"

Zahra yang masih setia menemani Khidir. Yang ditunggu pun tampak lelap dalam tidurnya. Aku tahu, butuh waktu lama bagi jiwa untuk beradaptasi dengan tubuh baru, apalagi dengan Tanah Leirea yang paling magis sekalipun.

"Zahra?" Aku memanggilnya.

Wanita itu diam saja. Sejujurnya, aku tidak pernah enak menyebutnya "wanita" karena penampilan dan sikapnya yang tampak terlalu belia. Berikutnya, aku akan menyebut Zahra sebagai "gadis."

Zahra tidak menyahut, masih diam menatap Khidir yang terlelap, membuatku kian iba.

***

"Biarkan mereka beristirahat. Kalian duduklah di sini selagi menunggu."

Tirta kebetulan duduk bersama Gill di halaman belakang. Terlihat hamparan kebun luas dan indah menghiasi. Tampak berbeda dibandingkan halaman depan. Barangkali, ini kebiasaan istri Count yang suka berkebun.

Apa kebiasaan berkebun sudah mendarah daging? Tapi, aku jadi ragu keluarga Wynter yang mana yang suka berkebun. Bisa jadi Count yang mencintai tumbuhan atau justru sang istri. Mungkin juga tidak keduanya, fungsi kebun ini sekadar menghias rumah.

Kulihat kedua anak Idris, Hayya dan Azya, sedang main kucing-kucingan di depan. Mereka tertawa riang selagi memainkan tumbuhan yang dicabut sebagian.

"Idris pasti betah di sini," kata Tirta. "Dia juga senang berkebun."

Aku lalu duduk di belakang Tirta, ikut mengawasi kedua gadis itu bermain. Ya, aku tahu keduanya lebih tua, tapi aku tidak ingat pernah bermain seriang itu.

"Kyaaa ...!"

Kulihat Azya terlempar dari balik bunga yang tertata rapi. Muncul kepala Hayya tersenyum usil melihatnya terjatuh. Kuharap Count tidak marah begitu tahu. Mereka tampak dengan polosnya bermain.

Tirta tertawa kecil. "Sejak tadi pagi sudah begitu."

Azya merintih. "Sudahlah! Aku menyerah!"

"Eh?!" Hayya mendekat dan membantunya berdiri. "Maaf. Sakit, ya?"

Azya menunduk. "Tidak."

"Jujurlah!" seru Hayya. Tampaknya gadis ini tidak bisa mengendalikan suaranya. "Aku tidak suka kamu berbohong!"

Azya masih menunduk. "Aku kangen Otōsan."

Hayya mengelus rambutnya. "Ia sedang tidur, Azya, seperti biasa."

Terdengar suara Tirta. "Idris sudah lama mengadopsi mereka, aku rupanya ketinggalan banyak berita."

"Kamu selama ini di mana?" tanyaku.

Tirta hanya menjawab, "Kamu ingin dengar dari mana? Hendak yang pendek atau panjang? Mau sebelum atau sesudah pertemuan ini?"

Pertanyaan bertubi-tubi itu membungkam mulutku. Kupilih untuk diam saja dan menunggu pria itu menceritakannya sendiri.

Tirta lalu memanggil keduanya dan menyuruh duduk bersama.

Hayya dan Azya duduk berdampingan. Terlihat kontras perbedaan keduanya, satu antusias satunya tampak menghindari kontak mata entah kenapa.

"Otōsan sering mencoba mencarimu," lapor Hayya. "Tapi, seberapa banyak perjuangannya, ia tidak menemukan jejakmu."

"Begitu, ya?" komentar Tirta. "Kita pernah bertemu?"

"Kita tidak pernah berjumpa sebelumnya," ujar Hayya. "Otōsan tidak pernah membahas soal Guardian lain selain Raja Khidir. Ia hanya menyebutmu sebagai ... Orang yang lebih tua."

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku selama beberapa dekade ini." Tirta menghela napas. "Kuharap kejadian Evergreen tidak terulang lagi."

Gill menatapnya. "Tirta, Anda bicara seolah lama kenal. Sudah berapa lama saling kenal?"

"Lama sekali, jauh sebelum kamu dilahirkan," jawabnya. "Aku selamat dari ledakan Shan, begitu pula dengan Idris dan Khidir."

Gill mengerutkan kening. "Berapa umurmu?"

"Tiga ratus lima puluh satu tahun." Tirta tersenyum. "Sangat terhomat bagiku hidup selama itu, apalagi sebagai saksi kecil runtuhnya Shan."

Aku dan Gill sama-sama kaget mendengarnya.

"Bolehkah aku memanggilmu 'Kakek?'" Sorot mata Gill menunjukkan kepolosan dan antusiasme.

Aku melirik Tirta, takut jika pria itu tersinggung.

Tidak disangka, ia malah tersenyum cerah. "Kata siapa tidak boleh?"

Kudengar Gill menjerit tertahan. "Kakek!"

Aku malah menahan tawa, ada gejolak perasaan di dada yang membuatku senyum seketika.

Entah kenapa, kami semua sepakat memanggilnya begitu. Aku tetap akan menulis namanya di kisahku agar tidak lupa nama aslinya, sama kasusnya dengan Arsene maupun sosok dengan panggilan lainnya.

"Ke mana Count?" tanyaku. "Beliau punya berapa anak?"

"Mereka biasa keluar siang dan berkumpul malamnya. Ia mengizinkanku menjaga rumah ini sehari." Tirta menjawab. "Seingatku, ada tujuh anak."

Tentu saja, dari kejadian tadi malam, masuk akal bagiku. Ia cocok menjadi penjaga yang tangguh.

"Di mana Kak Michelle?" tanyaku.

"Kulihat sedang mengobrol dengan Mariam," jawab Hayya.

"Kalian sudah makan?" tanya Tirta.

Aku mengiakan.

"Dimana Zahra?" tanyanya. "Aku tidak melihatnya seharian ini."

Aku spontan menjawab, "Biar kucari."

***

Aku menemukannya terlelap di lantai berlapis kain. Dia tidur di kamar tempat tadi.

"Zahra?" Aku menggoyangkan bahunya.

Dia berdecak kesal. "Apa maumu?"

Ucapan itu jelas menggetarkan jiwaku. "Kenapa tidak ke tidur di kasur?"

Zahra diam saja.

"Kami cemas tahu," ujarku. "Ayo, makan!"

Dia menggeleng.

"Hm?" Aku menelengkan kepala. "Kamu lapar, tidak?"

Zahra menggeleng kuat. "Aku kenyang."

"Kamu tampak tidak makan seharian ini," kataku. "Ayo!"

Zahra membalas dengan nada tinggi. "Aku kenyang!"

Aku diam saja, malas berdebat.

Hening lama. Tiada yang berani bersuara atau saling tatap. Hingga ...

"Zahra?"