webnovel

Pertemuan – 4

"Nah, ini kamar kalian."

Pria pucat itu adalah Count Wynter, saudara tiri Idris. Tak heran mengapa ia bersedia membantu. Kendati demikian, sikapnya yang tampak keberatan itu membuatku ragu untuk percaya.

Aku disuruh tidur dijaga Gill. Pemuda itu tampak tidak setakut dulu. Malah menatap tajam Count selagi sempat, seolah menantang. Kadang aku heran dengan sikap Gill yang silih berganti.

"Count, terima kasih!" ucapku tulus.

Gill mengiakan, tanda setuju.

"Ya, ya, ya." Count berpaling lalu menutup pintu dengan pelan. "Tidur sana!"

Sebelum masuk ke rumah megah lagi seram milik Count Wynter, kulihat Tirta menuntun kedua Guardian baru itu ke ruang yang sama.

Aku diam saja selagi yang lain juga membiarkan Tirta mengerjakan tugasnya.

Sama seperti Mariam tadi, mereka lolos dengan dipecahkan botol tadi dan keduanya kembali saling tatap dan tersenyum. Ya, semua tampak berjalan dengan lancar.

"Kalian selamat." Tirta mendekap keduanya, dengan penuh kasih membelai rambut mereka.

Keduanya hanya diam, mempererat pelukan tanpa bersuara. Namun, aku tahu mereka juga terharu.

Hayya menjerit riang. "Asyik! Otōsan kembali!"

Idris tersenyum. "Sudah, tidur sana!"

Tirta melepas pelukan dan membiarkan kami tidur.

***

Kembali ke awal, aku tidur sekamar dengan Gill. Ia tidur terlebih dahulu sementara aku tidak akibat masih mencium bau asap napas naga tadi, kendati Count sudah menyediakan pakaian baru.

Aku perlahan memejamkan mata, menjadikan jubah Arsene sebagai selimut.

Kuhabiskan malam dengan mencoba tidur, barulah terlelap beberapa jam kemudian.

***

Sebenarnya, tindakanku lebih nakal dari dugaan.

Ya, aku diam-diam menjenguk Arsene. Beruntung sempat bertanya pada Count Wynter yang bahkan belum tidur kendati hampir larut.

Kubuka perlahan pintu agar tidak mengejutkannya.

"Papa?"

Entah kenapa, hati terasa hangat kala memanggilnya demikian.

Terdengar bisikan dari kegelapan. "Remi?"

Aku mendekat, walau tidak tahu pasti di mana ia berada.

"Kamu belum tidur?" Ia bertanya.

"Papa!" Aku mendekat. Hendak memeluk tapi tidak tahu persis di mana ia berada.

Kudengar langkah kakinya, ia mendekat dan melingkariku dengan kedua tangan, ia belai rambutku.

Aku balas pelukannya. "Papa!"

Perlahan, ia gendong aku sebelum duduk ke sebuah kasur.

Entah karena apa, aku langsung mengucapkannya.

"Aku tidak keberatan harus terus merawatmu," balasku. "Asal Papa tidak pergi."

Ia diam.

Aku peluk ia dengan erat, Arsene elus rambut cokelatku dalam diam. Tidak masalah harus letih, asalkan ia tetap di sisiku.

"Remi, sudahlah."

Aku tidak menyahut.

Arsene menghela napas. "Tidurlah. Ini sudah larut."

Dengan seadanya, kucoba berbaring di sisi tempat ia duduk. "Di sini saja."

Dari kegelapan, dapat kulihat wajahnya menatapku tanpa reaksi, barangkali bingung melihat betapa kerasnya aku.

Aku tahu ia mulai bersandar di ranjang, pahanya berada dekat di sisiku.

Ia menyelimutiku, setelahnya hening dalam kegelapan.

Mau tidak mau, aku bertanya, berharap agar dapat tertidur malam ini.

"Papa," panggilku. Aku harap ia paham maksudnya.

Ia menyahut, namun tidak ada reaksi selain itu.

Suasana hening menyambut, kembali canggung seperti dulu. Aku benamkan kepala ke bantal dan menarik selimut, bersiap tidur menyambut dunia mimpi.

Ia bersuara, "Aku dulu hanya penyihir biasa yang sedang belajar meramu."

"Kamu dulu punya kekuatan?"

"Tidak juga," jawabnya. "Karena aku bukan penyihir murni, aku harus belajar dengan giat."

Ia nyalakan lampu tidur, tidak terlalu terang maupun remang. Arsene dengan pelan menggerakkan jemari hingga menciptakan bayangan hitam menari mengikuti.

Aku perlahan duduk. Kutatap tarian kecil itu hingga tidak sadar menyentuh. Aneh, rasanya justru seperti bulu kucing. Berbeda dengan pandanganku saat Arsene gunakan kekuatannya.

Arsene biarkan aku menggenggam bayangan serta tangannya yang dingin.

"Kekuatan ini berasal dari hasil kerja keras ayahku," ujarnya. "Saat itu, aku terlalu muda untuk paham segalanya."

"Berapa tahun?"

"Entahlah."

Aku tatap kembali sihirnya. Perlahan, kurasakan tangannya gemetar.

"Kecelakaan kecil membunuhnya," lanjut Arsene. "Tapi, entah kenapa aku selamat dan dilahirkan kembali dengan kekuatan baru."

Tak heran mengapa ada bercak hitam di darahnya. Jangan-jangan ...

"Andai aku bisa melepaskan diri dari benda terkutuk itu," bisik Arsene. "Aku bisa menjagamu, meski tanpa sihir."

Bayangan itu lenyap dari tangannya, hening kembali. Aku hanya menatap dalam diam.

Tanpa sihir.

Arsene ternyata sama denganku, namun bedanya ia masih bisa memilikinya kalau belajar dengan giat. Sementara manusia sepertiku barangkali hanya mampu menguasai ilmu sihir rendahan.

"Papa," bisikku. "Kamu bilang kutukan itu tidak hanya berlaku untukmu."

"Itu salahku," ujarnya. "Di Shan, entah apa yang kupikirkan."

"Ada apa?"

Arsene diam saja, ia berbaring lalu memejamkan mata. "Selamat tidur."

Aku sentuh keningnya, kali ini tidak panas. "Papa sakit apa?" tanyaku.

Arsene menjawab. "Aku tidak tahu. Ayahku dulu pernah mencoba mencampur sebuah batu, jelas didapatnya dari perjalanan anehnya."

"Batu?"

"Kalau kuingat kembali, batu itu berasal dari Shan, sama seperti kalung kalian. Salah satu ciptaanku bersama Zadoc–Nemesis."

Kutundukkan kepala, menatap buah kalung yang bersinar di balik pakaianku. Aku kembali sisipkan agar cahayanya tidak mengganggu.

"Batu dari Shan?" beoku. Aku jelas tidak paham.

Butuh waktu lama baginya menjawab. "Aku-yang dulu-sepertinya pernah menciptakan batu ini di Shan entah untuk apa. Ketika runtuh, benda itu jatuh ke bumi dan kebetulan pula ditemukan ayahku beberapa dekade kemudian. Ia bawa pulang dan mengajakku bermain."

Aku lega kalau ia punya segelintir kisah tentang Shan.

"Aku tentu tidak melupakan fakta kalau ia adalah warlock. Hobinya tentu saja meramu dan melakukan ritual aneh. Sebagai imbasnya, akulah yang sering dijadikan kelinci percobaan."

Arsene kepalkan tinju, saat itulah kulihat bayangan kecil menyeruak di sela-sela jemari. Kala ia tenang, mereka melamban hingga terlihat gemulai di kegelapan.

"Aku tidak tahu niatnya," ujar Arsene. "Aku sungguh tidak mengerti."

Aku tatap Arsene, berniat menghibur.

"Ketika ia tewas akibat percobaannya sendiri, aku dilahirkan kembali." Arsene kembali menunjukkan kekuatannya padaku. "Sebagai sosok baru yang ia inginkan."

"Ibumu?" Aku spontan bertanya.

"Terkena imbasnya." Arsene jelas tidak mau membahasnya lagi.

"Karena itu Papa sakit?" tanyaku polos.

Entah kenapa, ucapanku membuat wajah Arsene melembut seakan melupakan amarahnya barusan.

Ia tepuk pelan kepalaku. "Batu mulia itu menawarkan kekuatan. Namun, aku ... harus kelelahan."

Aku tahu ia berniat memperhalus. Tentu tidak mau mengucapkannya. Aku paham kalau ada sesuatu yang jahat menggerogoti tubuhnya, seperti benalu.

Aku yang tenggelam dalam benak, dikejutkan dengan pelukan tiba-tiba dari Arsene. Ia tampak terlelap dan lelah sehingga membuatku yakin ini tidak disengaja.

Aku selimuti diri kami. Cepat sembuh, Papa.