webnovel

Penyihir Hijau – 6

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

"Begitu, ya."

Zahra memandang rangkaian bunga yang menghias taman istana. Aku bertemu dengannya beberapa saat setelah ucapan Khidir tadi.

Sebelumnya, aku tidak bisa mengomentari keputusan Khidir.

Wajar saja kalau ia menolak, aku saja sudah dianggapnya sebagai sosok penting. Terasa aneh jika seorang raja yang tunduk pada "Putri" sepertiku. Tapi, aku pun tidak bisa menyela lagi.

Mariam pun hanya diam, berbeda dari biasanya. Barangkali juga tidak punya ide sanggahan.

Maka, ketiganya pun berpisah dan tersisa aku yang menatap mereka dengan melonggo.

Demi mengusir rasa bosan, aku pergi mencari tempat bermain. Perpustakaan bukan tempatku karena aku sendiri tidak terbiasa membaca meski ingin sekali melahap satu buku yang lebih tebal dari sebuah kitab.

Langkahku kian memelan akibat kaki yang mulai sakit. Rencanaku ingin duduk sejenak di lantai dan meluruskan kaki agar tidak kesemutan.

Saat itulah, suara yang kukenal memanggil.

"Kamu tersesat?"

Aku menoleh. "Zahra–eh, Putri." Merasa lancang harus memanggilnya seperti teman dekat.

"Panggil saja sesukamu," ujarnya. "Abi saja tidak keberatan dipanggil dengan nama."

"Begitu."

Zahra menatap kakiku yang terulur. "Kenapa duduk di lantai begitu?"

"Kakiku sakit berkeliling terlalu lama," jawabku. "Aneh sekali, pada ke mana para pelindungku?"

Zahra tidak membalas melainkan dengan uluran tangan.

Aku pun berdiri. "Ah ya, apa aku akan di sini selamanya? Bukannya lancang, cuma penasaran."

"Entahlah," jawab Zahra. "Abi mengizinkan siapa saja menginap di sini, asalkan ia menyukai orang itu."

Tak heran Mariam dan Idris mendapat perlakuan seperti itu. Mereka saja sudah dekat sejak lama dan sudah pasti bekerja sama dalam beberapa hal.

Aku teringat akan saudari-saudariku. "Bagaimana dengan saudariku?"

"Siapa?" tanya Zahra.

"Um, anak-anak Idris," balasku. Takut jika mereka punya panggilan berbeda di Aibarab.

"Oh, Asafa Bersaudari."

Sudah kuduga. Barangkali nama-namanya tidak beda jauh dengan yang kuingat.

"Bagaimana?" tanyaku. "Mereka akan ikut atau ..."

"Tergantung Tuan Idris," jawab Zahra. "Kadang ia bawa keduanya ke sini, tapi hanya sesekali menginap."

"Ah, kukira mereka bakal ke sini dan membantu kami melawan–"

"Sepayah apa kekuatan Guardian-mu di matamu?" balas Zahra, terdengar agak sinis. "Sampai-sampai mencari saudarimu segala."

"Aku hanya penasaran," jawabku polos. "Mereka tidak terlihat sejak kemarin."

"Sudah pasti Idris tidak mau mereka terlibat," sahut Zahra. "Kamu ingin sekali terjun langsung ke sana, benar?"

Entah kenapa, ucapannya sukses membuat jantungku berdebar. "Bukan begitu. Maksudnya, aku tidak ingin menjadi beban."

"Ke sana tanpa bekal apa pun, sama saja," balas Zahra. "Sudahlah, apa maumu? Aku bisa membawamu ke manapun di istana ini."

Aku pun berpikir. "Bagaimana dengan taman istana?"

"Lagi?"

"Aku suka di sana."

"Tidak mau ke perpustakaan?" tawar Zahra.

Aku menolak. "Belum suka membaca."

Zahra pun menggenggam tanganku. "Jangan dilepas!"

Aku menurut.

Perlahan, dunia terasa berputar. Detik itu juga, kami berdiri di antara tumbuhan indah yang menjadi ciri khas taman istana.

"Terima kasih," ucapku tulus pada Zahra.

Zahra duduk di tengah rerumputan selagi memandang seisi taman. "Abi menciptakan taman ini khusus untukku. Bila bosan di istana atau sehabis belajar, aku akan duduk di sini. Setiap hari, setelah menyelesaikan segala urusan, Abi akan mampir ke sini mencariku. Ini ibarat kamar keduaku."

Aku mengiakan tanda mendengar.

"Tapi, kadangkala aku bisa sangat bosan menunggu di sini sehingga beberapa jin pun tidak terpantau," ujar Zahra. "Beruntungnya, mereka sekadar lewat. Bukan golongan jin yang bermasalah."

"Apa kerajaan Aibarab dan Zabuz masih bermasalah?" tanyaku.

"Bisa dibilang, pemimpinnya damai, tapi tidak dengan rakyatnya." Zahra tampaknya mendeskripsikan keadaan di berbagai negara. Jika bukan ini, maka sebaliknya yang terjadi.

Aku ingin sekali bertanya kenapa tidak Yamlica saja yang menikahi Khidir alih-alih menyerahkan Zahra. Namun, aku merasa lancang kalau terlalu kepo sekarang. Kutunggu dia menceritakannya sendiri nanti.

Zahra pun berdiri. "Aku akan berkeliling taman. Mau ikut?"

Aku mengiakan, tentu saja antusias.

Maka kami menyusuri taman istana berdua. Meski disebut taman, tempat ini perlahan menjelma bak hutan lebat namun tidak sesuram yang biasa kudengar. Sepertinya Khidir benar-benar menggerahkan tenaga demi menciptakan tempat agar Zahra betah.

Di antara pepohonan, terukir rangkaian syair atau puisi yang ditulis dalam bahasa kami pula. Aku dapat membaca sebagian meski tidak semuanya dapat dipahami.

Di antaranya yang menarik perhatianku, langsung aku hapalkan lalu menulisnya.

Dia lahir dari rahim seorang penyihir.

Namanya sang Gadis Putih.

.

Semua sudah direncanakan, tapi dia masih sangat muda.

Banyak hal yang dia lupakan atau malah tidak tahu.

Ibunya disebut-sebut sebagai dalang atas runtuhnya Negeri Shan.

.

Gadis yang lahir dari rahim penyihir.

Dia tumbuh dewasa.

Kini beralih ke tempat lain.

Mencari ingatannya yang hilang.

.

Dalam istana, dia temui Raja Hijau.

Gadis itu mengenalnya dan ia ingat pula.

Gadis itu bertemu kembali dengannya.

Saat itulah, tumbuh perasaan kecil di kalbu.

.

Bersama seorang raja.

Dengan kesatria naga.

Bersama mereka lawan Sihir Hitam.

.

Gadis yang lahir dari rahim penyihir.

Dia lalui hidup baru.

Sebagai pemburu.

Menyelamatkan dunia dari kegelapan.

.

Gadis yang lahir dari rahim penyihir.

Kini, tiada yang tahu persis.

Apa kehendaknya untuk hidup.

Aku tahu kepada siapa puisi itu didedikasikan. Maka, aku sengaja menyimpannya untuk dilantunkan suatu saat.

"Kamu mau lihat yang lain?" tanya Zahra.

"Akan kubaca puisi lain," jawabku sembari menghampiri sebuah pohon dengan puisi yang berbeda.

Dari penggalan puisi ini entah kenapa aku justru bingung harus menduga siapa dan aku pun tidak mau diberitahu sekarang.

Ia bangkit.

Dari dendam dan kalut.

Ia akan bangkit.

Memusnahkan semua yang melawan.

Bumi terbelah

Laut berdarah.

Semua akan ingat itu, hari kehancuran.

.

Seorang pemimpin? Seorang penguasa?

Ia tidak lain hanya seorang penuh dendam.

Dengan mata memancarkan kematian.

Menuntut balasan.

Ini yang ia inginkan.

Dan ia akan, mendapatkannya.

Demi sang Ratu.

.

Inikah takdir? Inikah tekad?

Ia tidak menyerah hingga jiwa melepas.

Mengobarkan panji, meniup sangkakala.

Merampas apa yang direnggut.

Ia telah bangkit.

Apakah ini ramalan? Kenapa aku baru tahu?

Aku tidak tahu siapa yang dimaksud. Tapi, entah kenapa terasa tidak asing seolah aku mengenalnya.

Aku pun menoleh, mencari Zahra. Aku yakin dia pasti bosan menungguku yang sibuk membaca. Entah kenapa aku merasa tidak cukup hanya dengan melihat lewat puisi saja. Maka, kudekati Zahra yang sedang duduk di bangku yang disediakan.

"Sudah?" tanya Zahra.

Aku mengiakan. "Siapa yang menulis puisi-puisi ini?"

"Hm, kudengar mereka bertiga sedang bermain lalu Abi meminta juru tulis istana untuk menciptakan puisi sederhana ini," jawb Zahra. "Katanya untuk mengenang masa lalunya kelak. Meski orang yang dimaksud masih sehat walafiat."

"Begitu."

Tapi, Zahra tidak menjelaskan puisi yang ini. Perlukah aku bertanya?

Zahra lalu berdiri. "Ayo!" Dia mengucapkannya dengan datar.

Aku lalu menyusul.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵