webnovel

Penyihir Hijau – 5

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

"Berdua?" Aku berbisik ketika mengekori Mariam keluar.

"Apa yang kaupikirkan?" balas Mariam. Dia entah kenapa tampak bingung ditanya. "Tidak aneh kalau mereka ingin berduaan untuk sementara."

Aku paham kalau Idris dan Khidir lebih lama berteman sementara Mariam ibarat pendatang. Tapi, kenapa harus rahasia? Apa yang dibahas?

"Kamu mau berkeliling?" tanya Mariam.

Aku mengiakan.

"Terserah mau menjelajah sampai manapun," ujar Mariam sebelum pamit. "Tidak ada yang disembunyikan darimu."

"Kamu mau ke mana?" tanyaku.

Mariam berjalan, tanpa menoleh. "Makan."

Kami pun berpisah.

Saat itulah, pikiran malas melintas. Aku berniat ke kamar inap kami untuk berbaring.

Kamar kami dipadu dengan warna biru pucat. Kasurnya luas dan empuk, bahkan ada nama Aibarab-nya di sana, Mariam. Mungkin aku akan punya kamar tersendiri nanti.

Di dinding ada beberapa foto dipajang berupa gambar Mariam dan kedua teman lelakinya, Idris dan Khidir dari remaja hingga sekarang. Tidak banyak perubahan terjadi pada wajah mereka, terutama Mariam itu sendiri. Kamar ini jelas dirancang sesuai kehendak pemiliknya. Ah, kuharap aku bisa merancang kamar sendiri di istana nanti.

Aku mendekati meja rias. Sesuai dugaan, tidak ada riasan wajah selain bedak biasa. Jelas wanita seperti Mariam tidak membutuhkannya. Namun, aku melihat sejumlah jarum dan sisir ditata rapi di sekeliling meja. Aku lalu membuka laci.

Di dalamnya terdapat banyak sekali cincin, kebanyakan warnanya biru seperti mata Mariam. Tidak kusangka wanita ini menyimpan begitu banyak cincin.

Mataku tertuju pada kotak transparan yang melindunginya, di situ tertulis :

Untuk Mariam,

Dari Idris.

Tampak jelas Mariam mendapat hadiah cincin dari Idris. Tapi, kenapa sebanyak itu? Kenapa tidak dipakai? Saat itulah, aku melihat lipatan kertas yang terletak di sisi laci.

Dengan gemetar, kuambil lalu membukanya. Ini jelas surat dari pria yang selama ini menjadi sahabatnya semenjak Shan runtuh.

Aku menulis apa yang kupendam selama ini. Aku menawarkan kehidupan bersamaku. Mendampingiku melewati setiap rintangan yang menanti. Saling melindungi dan menyatukan cita-cita dalam ikatan suci.

Aku ingin engkau menjadi penyejuk hatiku, yang senantiasa menemani di saat kegelapan merasuki kalbu. Menjadi pengganjal atas kekosongan hati. Melindungimu dari marabahaya.

Bersediakah engkau?

Jika kautelah membaca surat ini, kuharap engkau meluangkan waktu sejenak untuk membalas surat ini.

Idris

Dari keterangan surat itu, ternyata usianya sudah cukup tua, lima tahun. Anehnya, tidak terlihat surat lagi setelahnya. Entah dari Mariam maupun Idris.

Meski saat itu aku masih berusia dua belas tahun dan polos. Namun, aku memahami maksud dari surat ini.

"Kyara!" Suara Mariam menyentak.

Aku tersentak dan refleks menyembunyikan surat itu. "Eh?!"

Berpaling dengan cepat, berusaha menahan diri agar terlihat lebih santai.

"Bagaimana?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian.

"Yah, tidak buruk," balas Mariam. "Para pria memutuskan untuk mengobrol di taman istana sementara aku disuruh menjagamu."

Mereka pindah tempat obrolan? Aku ingin tahu, tapi takut dianggap menganggu.

"Apa soal Shan?" tanyaku.

Mariam mengiakan. "Sekarang, kita tinggal menunggu perintah Khidir. Untuk saat ini, kamu jangan jauh-jauh dari kami!"

Aku sudah lama tidak mendengarnya. Aku mengangguk. "Baik."

***

Mariam mengajakku menikmati pemandangan kota Aibarab dari atas balkon istana. Aku terpana menyaksikan keindahan kota tersebut dari bangunan, orang yang lalu lalang di jalanan, hingga benda yang didanggangkan.

Mariam tiba-tiba berkata. "Kamu masuk tanpa izin ke kamarku, benar begitu?"

Aku jelas tidak menduganya. "I ... Itu tidak disengaja! Sumpah!"

Mariam menatapku dingin. "Kamu membuka laci, itu jelas melanggar privasi."

Aku menunduk. "Maaf."

"Sudah terlambat," kata Mariam. "Tidak apa. Lain kali, jangan ulangi!"

Aku mengangguk. "Aku akan tutup mulut."

"Kalau disebarkan, juga tidak masalah."

Aku tidak salah dengar?

Kutatap wajahnya. Mariam melanjutkan, "Ya, semua penduduk Aibarab tahu. Itu terjadi selama lebih dari puluhan tahun. Khidir sampai ikutan."

"Kamu menolaknya?" tanyaku. "Kenapa?"

Mariam memutar bola mata. "Kamu anak kecil, mana paham."

Kendati kecewa, aku memilih diam.

Mariam mengubah topik. "Setelah mencapai mufakat, kami akan melawan Sakhor di Dunia Bawah."

"Loh? Bukannya tempat ini, Aibarab, termasuk Dunia Bawah?" heranku. Menginggat adanya Shan yang mengambang di atas langit.

"Kami tahu ia ada di bawah tanah, barangkali mendekati inti bumi," jelas Mariam. "Bagi Shan, memang bumi itu Dunia Bawah. Tapi, kita menggunakan sudut pandang lain."

"Bagaimana denganku?" tanyaku. "Aku boleh ikut?"

Mariam tanpa ragu menjawab. "Kamu wajib ikut! Aku harus terus mengawasimu, kendati dibenci Khidir sekalipun."

"Kamu membiarkan anak kecil pergi ke medan pertempuran?"

Idris berdiri membelakangi kami. Ia menatap kami dengan sorot heran dan cemas.

"Kenapa tidak boleh?" sahut Mariam. "Kalau dibiarkan bersembunyi di istana terus, jin itu bisa berbalik menyerangnya dan malah memusingkan kita."

Idris menatap mata Mariam. Sorotnya menunjukkan keberatan. Mereka cukup lama bertatapan, sampai aku mengira mereka bicara lewat batin.

Idris mengalah. "Baiklah. Semoga berjalan lancar."

Aku mengangkat sebelah tangan. Seluruh tatapan tertuju padaku. "Aku boleh membantu?"

"Jangan! Kamu diam saja dan berlindung. Anak kecil dilarang menyerang!" larang Idris.

Sama sepertiku, Mariam menyanggah. "Kamu meragukan gadis ini? Majikanmu sendiri?"

"Kamu mau bertanggungjawab kalau dia terluka?" balas Idris tanpa meninggikan suara. "Nyawa kita tergantung padanya, kalau sampai gadis ini tewas, kamu sama saja dengan bunuh diri. Dan, kamu tahu konsekuensinya, bukan?"

Mariam membalas dengan santai. "Tentu saja. Aku sudah berkali-kali berhasil melindunginya. Tidak perlu diragukan lagi."

Idris melirikku. "Kamu yakin, bisa menggantikan menjadi Guardian sang Putri?"

"Aku bersedia." Mariam menjawab mantap.

Idris menunduk. Tampaknya ia sedang menghubungkannya dengan surat tadi. Itu hanya teoriku. Sesungguhnya, aku tidak akan tahu isi hati seseorang selain diriku sendiri. Dari tatapan itu, ia bisa saja memikirkan hal lain. Namun, entah kenapa aku yakin Idris sedang memikirkan hubungan keduanya. Atau aku yang terpengaruh seperti Raja Khidir waktu itu.

Mariam kembali bicara. "Aku berjanji akan berhati-hati."

Idris tersenyum. "Menjadi Guardian tidak seseram itu."

Mariam bersedekap. "Kalau begitu, biar kuajak anak ini ke Dunia Bawah dan membiarkannya berhadapan langsung dengan Sakhor."

"Eh?" Rupanya Idris tidak menduga kalimat tadi bakal keluar dari mulut wanita itu.

"Ayolah, aku tidak bermaksud untuk membunuhnya." Mariam mengucapkannya tanpa intonasi.

"Mariam," tegur Idris. "Kalimatmu terlalu kejam."

Mariam memutar bola mata. "Dia jauh lebih kuat dari itu. Aku yakin. Benar begitu, Tuan Putri?"

Tatapan Mariam seketika membuatku mengiakan tanpa persetujuan dari diriku sendiri. Dan panggilan baru itu membuat percakapan ini terasa aneh.

"Bahkan anak sekecil itu tahu hubungan kalian." Tidak disangka, Khidir kini berdiri tepat di belakang kami.

Mariam mendengus. "Hubungan apa?"

Idris menunduk.

Mariam melirik Khidir. "Dengar, kita harus membahas ancaman, bukan malah urusan pribadi seseorang!"

"Aku tahu," balas Khidir. "Itulah mengapa aku di sini."

Mariam tampak memberi ruang agar semakin dekat dengannya maupun Idris.

Khidir kemudian melanjutkan. "Sayangnya, aku tidak mau ada satu goresan pun di raga Putri."

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵