webnovel

Penyihir Hijau – 1

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku didudukkan pada sebuah kursi empuk dekat singgasana kosong. Entah siapa yang menyuruh, aku disuruh duduk dan diam menunggu.

Meski keadaan luar tampak genting, entah kenapa suasana di dalam istana tampak begitu tenang dan keributan hanya terjadi di luar. Seakan ancaman tersebut bukan apa-apanya.

Aku tatap sekeliling. Istana ini didominasi warna keemasan, lengkap dengan ratna mutu manikam menghias lantai dan perabotan. Tidak tanggung, beberapa pedang yang tersusun di belakang singgasana sebelah kiriku tertata rapi dan bersinar berkat sejumlah batu mulia itu.

Di antara pedang yang dijaja, ada di antaranya cukup menarik perhatianku. Sebuah pedang patah yang di bawahnya tertulis, "Hadiah dari Satria Sanjaya Purnama Tirta kepada Raja Safar al-Khidir" yang diukir dari lapisan emas pula.

Kenapa pedang ini patah? Apa ini melambangkan hubungan raja itu kepada si pemberi?

Di sebelah kanan singgasana raja itu, ada singgasana kecil yang mirip seperti yang kududuki tadi. Bedanya, kedua singgasana itu dihiasi satu batu mulia, zamrud dan ametis. Sementara aku tidak punya sama sekali. Barangkali khusus tamu terhormat yang kebetulan datang berkunjung.

"Tuan Putri memanggil!" seruan salah seorang pelayan menganggetkanku.

"Tuan Putri?" beoku.

Pelayan itu mengiakan lalu menyuruhku tetap duduk dan menunggu.

Beberapa saat menunggu, akhirnya tiba sosok yang dinanti.

"Jadi, kamu putri yang dicari?"

Aku lantas menoleh.

Rambutnya ungu diurai hingga sepinggang, kulit kuning langsat yang mulus, tubuh dibalut gaun yang merah muda, dengan warna mata dan rambut ungu, membuatnya tampak seperti gadis kecil yang polos. Umurnya tampak tidak jauh berbeda dariku. Dia mengingatkanku akan Ariya Wynter, penyihir yang nyaris mengubahku menjadi batu.

Aku ragu. "Ya." Sambil menunjuk kalung yang kini tak bersinar.

Seakan membaca pikiranku, gadis itu menyahut. "Usiaku kepala delapan."

Oh, ternyata.

Kulirik jari manisnya, terdapat zamrud ungu menghias. Tunggu, itu cincin kawin?

"Ma ... Maaf, Nyonya." Aku refleks menunduk malu.

"Aku belum menikah." Dia menyahut. "Semua orang selalu mengira demikian, kecuali Khidir dan beberapa pelayan istana. Kalau begitu, siapa namamu?"

Kutatap rambutku yang masih dicat hitam. "Aku Kyara."

Wanita itu mengiakan. "Aku Zahra Sajratun Neesa binti Safar al-Khidir."

Aku terbalak mendengarnya.

"Jangan kaget begitu. Abi memang sejak dulu menjadi ayahku setelah diserahkan orangtuaku." Putri Zahra menatapku tanpa ekspresi. "Kudengar, kamu orang yang paling dicarinya selama ini."

"O ... Oh, iya." Aku jadi canggung. Tanganku gemetar. "Kurasa begitu."

Zahra mengamati kalungku. "Dari Shan. Ya, aku ingat ia pernah bercerita sebelum memunggutku."

"Benarkah?" Kubalas seadanya.

Zahra diam saja.

"Ada apa?" heranku.

"Ikutlah!" Zahra melangkah dan aku menyusul.

Zahra menggiringku ke sebuah pintu yang tingginya jauh melebihi seekor unta. Ketika terbuka, tampak panorama berwarna-warni mencolok dari pohon kurma hingga tanaman yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Belum lagi semua ini bersinar di bawah cahaya rembulan, menciptakan ilusi jika semua tumbuhan ini seolah terpahat dari zamrud dan batu mulia dari segala penjuru dunia. Bunga-bungaan mekar turut menghias dan tidak mau kalah. Semuanya tampak bagai sarang batu mulia.

Beberapa langkah setelahnya, terlihat seluas pijakan batu mulus dengan air danau setinggi betis. Bagian tengah danau yang hijau itu mencerminkan atap melengkung. Sekeliling tempat ini tidak luput dari keindahan patung-patung binatang, kebanyakan berupa singa.

Tempat ini bisa dipastikan sebagai taman istana.

Kami berhenti di depan paviliun lengkap dengan bayangan bulan yang tercermin di permukaan air.

Aku memasuki paviliun tadi. Tempat ini memiliki dinding terbuka dan di bagian tengahnya ada dua buah kursi dan sebuah meja kecil dari kayu berukiran rumit.

Zahra duduk dan menyeduhkan teh yang rupanya telah disediakan lalu menyerahkan segelas padaku.

Aku pun menegaknya dan kami makan selama beberapa saat dalam keheningan. Entah kenapa aku merasa tidak masalah untuk percaya ada gadis–wanita itu.

"Jadi, kamu ingat apa yang terjadi di Shan?" tanyanya sambil menghirup teh.

Kami telah menghabiskan hidangan utama dan aku tengah menikmati kue berbentuk bundar dengan isian susu yang manis dan lembut, rasa yang baru kali ini dikecap. Sebelumnya, aku telah melahap habis sebuah sup daging. Ketika ditelan, kelezatannya menghangatkan tenggorokkan hingga perut.

"Tidak," jawabku polos. "Aku bahkan tidak menyangka kalung ini suatu pertanda seperti ini."

"Apa yang kaukira?" tanyanya.

"Mungkin kekuatan?" Aku mengingat-ingat. "Aku bahkan mencoba memulihkan diri dengan batu ini, tapi tidak terjadi apa-apa."

"Begitu." Zahra letakkan gelasnya yang kosong. "Kamu menyadari keanehan dari kalungmu?"

"Benda ini tidak mau lepas, meski sudah dilempar begitu jauh," tuturku. "Ibu pernah mencoba menjualnya pada seorang saudagar. Besoknya, benda itu kembali melingkari leherku. Aku tidak mungkin mencuri, apalagi kami tidak tahu persis tujuan saudagar itu. Kuharap ia tidak marah."

Zahra tampak menyimak.

Aku lalu teringat. "Bagaimana keadaan luar?"

"Abi bisa menangganinya," jawab Zahra dengan tenang.

"Abi?" Aku tidak pernah menggunakan kata itu lantaran tidak punya sosok yang layak dipanggil demikian.

Zahra diam saja, aku yakin dia pikir aku bisa menebaknya dengan tepat.

Teriakan silih berganti terdengar oleh mereka dan kulihat sekelompok pelayan berlarian melintasi jembatan berliku-liku di kejauhan.

"Putri!"

"Putri!"

Aku heran. Siapa yang dimaksud? "Putri?"

Zahra berdiri. "Tenangkan dirimu."

Ratusan langkah mendekat bagikan gemuruh hujan saat badai melanda.

Aku lihat barisan orang-orang berpakaian indah berdiri dengan tatapan heran ke arah kami. Mereka mengenakan pakaian sutra berwarna cerah, tampak berkilau di bawah sinar rembulan.

"Putri!" panggil salah seorang dari mereka. Wanita berkulit sawo matang dan tampak sudah tua namun masih berwibawa. Aku yakin dialah sang kepala pelayan.

Zahra membalas panggilannya.

"Raja mencarimu ke mana-mana," ujarnya.

"Bagaimana keadaan luar?" tanya Zahra. "Pasukan Sakhor sudah mundur?"

"Masih belum terkendali," jawab wanita itu. "Raja kira engkau tertangkap."

"Aku mengerti," balas Zahra dingin. "Bilang padanya kalau aku sedang menjaga orang yang ia cari di taman."

Aku tatap mereka satu per satu mulai membungkuk baru kemudian menjauh.

Sangat wajar bagiku jika seorang ayah cemas ketika kehilangan jejak putrinya. Aku membayangkan apa yang Mariam dan Idris pikirkan saat ini ketika aku menunggu.

"Berapa umurmu tadi?" tanyaku.

"Delapan puluh," jawab Zahra tanpa menoleh.

"Umur ayahmu?"

"Sembilan puluh tiga." Zahra menjawab. "Aku bersamanya saat berusia sepuluh tahun."

"Berarti kamu menyaksikan keruntuhan Shan?"

"Aku tiba tepat setelah keruntuhan," balasnya. "Lebih tepatnya, setelah keadaan membaik."

Berarti umur Idris dan Mariam tidak jauh dari usia sang Raja.

Anehnya, ketika berpaling, Zahra justru mengucapkan sesuatu yang tidak kalah membingungkannya. "Abi tiba-tiba hilang ingatan sebelum menikahi–mengadopsiku."

"Menikahi?!" Aku tahu ini lancang, tapi aku juga merasa aneh jika sang raja menikahi gadis kecil–ralat, wanita ini.

Zahra menatapku tanpa suara selama beberapa saat. Dia kemudian duduk dan bertutur.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵