webnovel

Naga dari Kikiro – 12

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aneh.

Aku masih saja hidup.

Terhirup bau busuk sekelilingku. Aku rupanya berada di perut ular tadi. Kenapa tidak hancur? Seharusnya aku sudah menyatu dengan darah dan akan keluar lagi dalam bentuk hina.

"Halo?"

Suaraku menggema. Tidak ada yang membalas.

Sekitarku gelap gulita. Aku hanya bisa melihat kegelapan dan meraba sambil merangkak. Dapat kurasakan perut kenyal ular itu bergesekan dengan tanah.

Aku teringat sosok berambut putih beberapa saat sebelum ditelan hidup-hidup.

Itu Mariam.

Jelas Mariam.

Rambut putih melambai di udara, kedua tangannya memegang sesuatu yang panjang seperti pedang, pakaiannya kini tampak baru dengan rok panjang. Tidak kusangka, kali ini dia memilih bertarung dengan rok alih-alih celana seperti sebelumnya.

"Halo?"

Suaraku menggema. Kuharap ada yang membalas.

"Siapa di situ?!" Suara seorang gadis menyahut. Aku tidak mengenalnya.

"Aku Kaira binti Idris!" seruku. "Di mana ini? Kenapa aku bisa hidup di perut ular?"

"Ini bukan ular biasa," sahutnya. "Seorang penyihir menciptakan 'Penjara Hidup' yang dinamainya Sakhor, nama yang sama dengan penciptanya."

"Siapa Sakhor?" tanyaku, merujuk pada penciptanya.

"Beberapa orang dibiarkan mati di perut monster ini."

"Bagaimana kamu bisa bertahan?" tanyaku lagi.

Dia tidak menyahut.

"Siapa namamu?" tanyaku.

Hening.

Aku merangkak, berusaha menjangkau gadis yang tidak jelas rupanya itu. "Kamu bisa melihat dalam gelap?"

Tidak ada balasan.

Aku menunggu. Dapat kudengar kegaduhan yang ditimbulkan. Suara langkah kakinya mendekat. Perlahan, ada cahaya menyertainya. Dia memegang sebuah benda bercahaya, mirip lampu.

"Kamu bisa melihatku?"

Dia tampak sebaya denganku. Berambut hitam pendek dengan pakaian putih lengan panjang, sementara rok pendeknya hitam. Dia mengenakan sepatu kecil.

Dia juga sedang mengamatiku. Seakan membaca pikiranku, dia berkata, "Sakhor si Ular tahu persis nama yang kaugunakan sekarang. Dia mampu membuat korbannya terbuai dan terseret hingga ke perutnya. Termasuk pria malang yang terjatuh tepat di depanku tadi."

"Siapa?" Aku jelas curiga.

"Dia tidak mampu bicara," ujarnya. "Dia pingsan dan bersimbah darah."

Aku bergidik. "Bagaimana rupanya?"

"Seorang pria."

Aku jelas tidak cukup dengan deskripsi semacam itu. "Terus?"

"Putih rambutnya."

"Itu ayahku!" seruku. "Apa yang terjadi?"

"Dia terluka parah." Dia menjawab. "Terpaksa, kubawa dan rawat sebisanya di bawah sini."

"Di mana dia?" tanyaku. "Di mana ayahku?"

Dia menjauh, memberi isyarat untuk menyusul. Aku ikuti langkahnya.

"Kamu bilang dia ayahmu?" tanyanya. "Tidak mirip."

"Aku mirip ibuku," bohongku.

Aku langsung menginggat obrolanku dengan Idris.

***

"Jika seseorang berkomentar soal penampilan kita yang berbeda, bilang saja kalau kamu mirip ibumu," ujar Idris sebelum aku tidur pada malam pertama di Aibarab.

"Bagaimana rupa ibuku itu?" tanyaku, merujuk pada sosok yang Idris bicarakan.

"Orang-orang tahu jika kalian tidak pernah menjumpai ibu kalian. Dia memiliko rambut hitam lurus berkulit putih serta wajah yang cantik."

Tidak heran kami semua dibuat berambut hitam.

"Siapa namanya?" tanyaku.

"Hawa."

***

"Beruntung kurawat sebaik mungkin. Tapi entah benar-benar membantu atau tidak." Gadis itu berkata.

Kami berjalan menyusuri perut Sakhor yang menjijikan. Kakiku terasa licin di bawah lantai berupa daging basah si ular, apalagi dengan gerakannya yang terlampau cepat. Anehnya, bau amis itu berangsur hilang saat kami menjelajah semakin dalam.

"Bau busuk tadi diciptakan oleh jasad para tahanan yang membusuk," ujarnya.

Kami tiba di bagian dalam, entah itu saluran pencernaan atau hal yang tidak kalah menjijikannya. Hanya lampu kecil ini sebagai penerangnya. Meski sekecil genggaman tangan, cahayanya mampu membuatku dapat melihat sejauh hampir lima meter.

Aku melihatnya.

Idris terduduk di tumpukan kain. Pakaian kotor dengan darahnya. Tangan kanan memegang perut yang sudah diperban, masih terlihat bercak merah di sana. Jelas darahnya belum kering.

Di sebelah pojok kiri, terdapat pedang yang berdarah. Itu pedangnya. Pedang dengan simbol singa.

Aku hampiri Idris. Ingatan tentang sakitnya Takeshi di Kikiro tergiang kembali. Dengan gemetar, kusentuh dahinya. Suhu tubuhnya masih normal.

"Putri?" Ia membuka matanya dan menatapku heran. "Apa yang kaulakukan?"

Aku jadi ragu. "Aku ditelan Sakhor. Beruntung ada gadis itu."

"Sakhor yang mana?" herannya. "Gadis?"

"Sakhor itu nama ular dan penciptanya," jelasku. "Gadis tadi tahanan yang menolongmu."

Idris melirik sekitar. "Dia memiliki ular." Dia mengulangi ucapanku.

"Bagaimana dengan Raja?" tanyaku. "Dia ada di rumah, 'kan?"

"Tadi," ujarnya. "Dia akan mengirim pasukan."

"Dia yang menusukmu?"

Idris menyahut. "Aku tidak tahu."

Gadis tadi kembali membawa perban panjang dan beberapa camilan dan minuman.

"Ini, Tuan, silakan dimakan."

Idris menatap makanannya dengan tatapan kosong. "Aku tidak lapar."

Gadis itu diam saja.

"Temanku sedang membantu dari luar." Idris melirikku. "Ia akan membelah ular ini."

"Hiwaga?" Aku memastikan.

Idris mengiakan.

Aku lalu duduk di sisinya. Cahaya kalungku baru saja kusadari. Melengkapi penerangan di dalam perut Sakhor si Ular.

"Aku melihat Hiwaga di luar sana dan mungkin sebentar lagi kita akan bebas," kata Idris. Dia menatap gadis itu. "Terima kasih sudah merawatku, Nona. Aku berutang budi padamu."

Gadis itu diam saja.

Saat itulah, tubuhnya perlahan melebur jadi abu. Menyatu dalam kulit dalam ular ini.

Aku lirik Idris, dia bahkan tidak bereaksi.

Aku jadi takut. "Dia ..."

Apa aku akan mati sepertinya?

"Ilusi," ujar Idris.

"Apa?"

Idris tidak menanggapi.

Tak lama, ular itu berhenti. Tubuhnya terguncang hebat sampai bagian dalam terjungkir-balik.

Idris meraih pedangnya dan menggenggam tanganku. Mendekapku sambil membiarkan tubuhnya menghantam lantai dan terguling.

Perut Sakhor terbelah. Terlihat sebilah pedang menembus perutnya.

Idris menarik pedangnya lalu menusuk perut Sakhor hingga tercipta cukup lubang untuk kami bertiga. Aku menggenggam tangannya dan keluar.

Udara malam menyambut kami, akhirnya aku dapat mencium udara segar. Begitu pula dengan dua sosok yang baru kami temukan.

"Azya!" Idris berseru sambil menoleh ke samping.

Azya rupanya baru saja keluar dari salah satu isi perut ular itu. Dia langsung bergegas memeluk Idris dengan gemetar.

"Aku ... Ditelan," ujar Azya.

Idris hanya diam sambil membelai rambutnya.

Aku memalingkan pandangan ke belakang, kota Aibarab nyaris tersapu sisik ular. Beberapa rumah rata dengan tanah, bahkan bekas reruntuhan terseret sepanjang jalan akibat Sakhor si Ular.

azya melepas pelukan, pandangannya tertuju ke kota. "Okasan!"

Eh?

Saat pandanganku menyisiri kota, disitulah dia. Berdiri tepat di depanku. Pakaiannya bersimbah darah Sakhor yang sudah mati. Tangan menggenggam dua pedang panjang yang juga berdarah. Dia terpaku begitu pandangan kami bertemu.

Aku memeluknya. "Hiwaga!" seruku, sengaja menyembunyikan identitas aslinya.

Mariam tampak ragu menyebut namaku. Dia hanya membiarkanku memeluknya.

"Kaira." Idris menghampiri lalu membelai kepalaku. "Sudah."

Aku melepas pelukannya.

"Okasan!" Azya mendekat dan hendak memeluk.

Mariam, tampak bingung, hanya membiarkan dirinya dipeluk gadis itu. Dia menatap tajam Idris. "Kau ..."

Idris menatapnya polos. "Apa?"

Azya kemudian lepas pelukan dan kembali pada ayahnya.

Wanita berambut putih itu mendengus. "Kenapa tidak mengubah wujud saja? Itu akan memudahkan kita membunuhnya."

"Mana sempat?" sahut Idris. "Sakhor menyerangku, belum lagi ditelan sebelum aku menghembuskan napas, ditambah pula dengan keadaan kota yang mengenaskan. Aku tidak mau mengganti rugi jika terjadi kerusakan akibat tubuh nagaku."

Mariam menatapku. "Kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk. "Dari mana saja?"

"Ceritanya panjang," ujar Mariam. Lalu melirik Idris. "Seharusnya pria ini membunuh Sakhor langsung, bukan malah menakutinya. Lihat apa jadinya? Sebagian kota hancur."

"Setidaknya sang Putri aman," balas Idris. "Tidak ada yang mati, bukan begitu?"

Dari rentuhan, suara rintihan dan bayangan penduduk yang berjalan terhuyung, ucapannya cukup meragukan.

Dari sanalah tampak debu beterbangan. Tampak gerombolan hitam mendekat, siap menyerang.

"Aduhai!" Mariam berdecak, jelas kesal.

Keduanya berlari mendekat, hendak mencegah gerombolan itu. Kini aku berdiri seorang diri di tengah kekacauan lagi.

Aku lantas mundur, hingga sinar kalungku memudar. Tidak tahu harus mendekat atau sebaliknya.

Terdengar sapi melenguh. Melaju ke arahku.

Aku terkejut. "Eh?!"

Saat itulah, muncul rangkaian sulur dan dahan mengikat mereka. Masing-masing tidak bisa lolos dan menjerit. Mereka ternyata kumpulan hewan yang pernah merusak di sini.

Kalungku kembali bersinar.

Pandanganku tertuju ke depan. Terlihat sosok pria berdiri disinari rembulan, tersenyum menatap korbannya yang terikat.

"Hm, menarik."

Apa malaikat yang kulihat itu?

Atau iblis yang siap mencengkeramku?

Jubah putihnya menghalangi punggung ketika ia berpaling. Di bawah sinar rembulan, ia hanya berdiri diam memandang lawannya yang mencoba mendekat.

Sinar kalungku menambah penerangan, meski tidak begitu kentara. Aku mendekatinya, tidak lain hanya karena penasaran.

Separuh kota kini menjelma jadi hutan. Hewan-hewan terjerat di sulur yang dia ciptakan, menyeru minta dibebaskan dalam bahasa mereka sendiri.

Kuamati pria yang berdiri di belakangku. Tangannya bahkan tidak bergerak selagi menatap korbannya terikat.

Lagi-lagi, dia bergumam.

Kuamati dia. Sorot matanya tak jelas ke mana. Memandang ke depan, mengamati korbannya. Tapi, aku entah kenapa tahu kalau dia sedang melihat apa yang tak tertangkap di mata.

Tampak bayangan putih melesat ke arah kami.

Aku membuka mulut.

Sebuah dahan menghalangi, bertepatan dengan dentuman keras hingga nyaris menghancurkan dahannya.

Pria itu mendekat, dia amati dahannya yang terbakar.

"Yang Mulia!"

Seruan itu terdengar dari belakang. Aku menoleh. Tiga orang berzirah mendekat, tampak sama bingungnya denganku.

"Kalian amankan gadis ini!" Hanya dengan itu, dia berpaling.

Pria itu menggunakan dahan sebagai alat. Agar bisa mengejar musuh yang bahkan tidak jelas bagiku.

"Ayo." Ketiga orang itu menuntunku kembali.

"Tunggu! Teman-temanku!" Aku tidak mungkin meninggalkan mereka.

Saat itulah, kulihat bayangan naga menghias angkasa.

Kini aku paham.

Ia bagian dari mereka. Pelindungku.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵