webnovel

Menuju Kebenaran – 2

Gill refleks melempar sesuatu ke arahnya.

Dur...!

Ledakan kecil tadi membuat kepala itu hancur lebur dan menyebar mengotori sekitar. Gill melindungiku dari kekacauan tadi hingga jaketnya ikut kotor.

Gill menatapku dengan sorot ngeri. "Gila! Apa itu?!"

"Apa-apaan?" tanyaku merujuk pada benda yang dilemparnya.

"Biasa, mainan anak-anak." Gill memamerkan bola-bola kecil mirip petasan. Seingatku, petasan tidak sampai menghancurkan sebuah kepala bahkan sampai bagiannya berpencar ke mana-mana.

"Kamu ini sebenarnya apa?" tanyaku.

"Aku Pengalih-Rupa," jelas Gill. "Yah, cukup lemah."

"Ti-tidak masalah," balasku spontan. "Kamu baru saja melindungiku dari ... Kepala."

Gill bergidik. "Aku benci kepala tanpa badan, atau badan tanpa kepala."

"Aku juga," balasku, berniat menenangkannya.

"Kepala," ulangnya. "Dari mana asalnya?! Aneh, ada seseorang melempar kepala ke arahmu, Pangeran, ke arahmu!"

Aku berusaha menenangkannya. "Sudah, Gill, sudah."

"Aku tidak terima!" Gill berdiri lalu menginjak kepala yang sudah rusak itu. Namun, dia malah jijik lalu terduduk. Jelas menyesal.

Aku menghela napas. "Sebaiknya kita pulang. Aku takut kalau keluarga Wynter punya rencana buruk."

"Kalian tidak perlu takut, kami hanya ingin membantu."

Gill refleks berdiri melindungiku, kendati gemetar.

Aku mendongak, pria berpakaian serba hitam tadi, berdiri di dahan pohon yang besar, menatap kami tanpa ekspresi. Mata birunya bersinar di kegelapan, memancarkan kematian. Aku malah tidak setakut biasanya. Kulirik Gill, dia tampak sedikit tenang.

"Akram!" sapa Gill. "Aku sudah baca volume dua, nanti volume kubeli tahun depan."

Sorot mata pria itu melembut, berganti dengan rasa penasaran. "Benarkah?"

Gill lempar sebuah buku kecil–tapi lumayan tebal–dari saku lalu melemparnya ke arah Akram, disambut dengan sebelah tangan.

Akram membuka beberapa halaman buku kecil itu dan tampak terkesima. "Baru bab awal sudah sebagus itu."

"Nah, 'kan?" balas Gill. "Aku baru saja selesai membacanya. Kamu tidak akan menyangka si anu bakal meninggal!"

"Jangan bocorkan!" geram Akram. Ia berdehem, kembali ke suaranya yang datar. "Aku dengar engkau seorang Guardian, bukan?"

Gill melirikku. "Ya. Salah satu Guardian paling muda di Shan. Ada apa tadi? Saudarimu nyaris membunuhku."

"Itu Arsya, kakakku," balas Akram. "Dia memang suka bercanda."

"Ya, kondisikan!" seru Gill. "Coba lihat, dia nyaris menyakiti Pangeran Remi, Adik Remi!"

Aku seketika canggung, apalagi tatapan Akram yang jelas memandang rendah.

Apa Gill baru saja menganggapku sebagai adiknya?

"Adik?" Akram terdengar menahan tawa. "Bocah ini? Apa bedanya dengan Kyara?"

"Siapa Kyara?" heran Gill.

"Lah? Bukannya dia Putri dari Shan?" sahut Akram.

Tunggu, bukankah Putri yang dimaksud itu Michelle? Atau bagaimana?

Hening lama. Sama-sama bingung. Tidak tahu siapa yang benar atau batil.

"Kamu menjaga berapa anak raja, sih?" heran Akram. "Seingatku ada dua!"

"Memang dua!" balas Gill. "Siapa Kyara?"

"Kubilang Putri dari Shan!"

"Tapi, kami adanya Michelle, oke?"

"Lah? Terus kenapa kalung yang Kyara kenakan bercahaya bila dekat Paman dan Khidir?"

"Loh?" Seketika, otak Gill berhenti bekerja selama beberapa detik. Kalau milikku sudah lenyap entah ke mana saking bingungnya.

"Aku tidak mau ditipu olehmu!" seru Akram.

"Sejak kapan aku menipumu?" balas Gill.

"Jadi, yang kalian jaga ini siapa?"

"Azeeza dan Farees, sosok yang berkalung biru."

"Jadi, ada tiga–"

"Dua!"

"Dua?"

"Dua."

Akram menatap kami seolah kami yang bodoh, atau ...

"Tunggu!" Gill mengangkat kedua tangan, meminta jeda entah ke siapa. "Ada berapa raja di Shan? Perasaan aku hanya melayani satu keluarga dan itu pun hanya dua anak. Lalu siapa Kyara?"

Aku diam saja, masih kebingungan.

Akram menggaruk rambut hitamnya yang tersemat di tudung kepala. "Yang sinting siapa?"

Gill langsung mengubah topik. "Mana rekanku? Ia tadi yang diserang api hitam, milikmu atau bapak kau?"

"Milikku." Akram mendehem, "Ya, aku diutus Abi untuk menangkap–maksudnya mengundang kalian."

"Untuk apa?" tanya Gill.

"Abi ada urusan dengan Everdawn atau apalah itu," balas Akram. "Ia mendapat mimpi perihal pria itu."

"Mimpi?" beoku.

"Bukan mimpi biasa," jelas Akram. "Karena ini berhubungan dengan rekan kalian yang hilang."

"Kenapa harus main api?" protes Gill sambil menunjuk jaket jingganya. "Mama belinya mahal!"

"Bah! Aku juga bisa." Akram menyibak jubah yang menutupi dada, tampak pakaian biru malam bertuliskan sebuah logo berlapis berlian.

Aku mengerutkan kening, jadi mereka memakai berlian sebagai hiasan baju? Kulirik Gill yang menatap tajam Akram. Keduanya jelas sedang beradu kekayaan. Bukannya mereka berteman?

"Aku tidak sepertimu yang minta uang dari orangtua!" lanjut Akram. "Mau sampai kapan minta duit?"

"Aku cari sendiri sekarang, oke?" Gill memanas. "Orangtuaku membantai penyihir–"

"Gill, sudah." Kupegang tangannya biar tenang, sekaligus demi menghentikan perdebatan lebih panjang. "Kita cari Arsene dan Nemesis, keduanya 'kan disuruh mencari keluarga Wynter."

Akram turun dari pohon dengan melompat. "Keduanya sedang diurus oleh Arsya."

"A-ayolah!" Gill nyaris mengumpat, aku tahu itu.

"Salahkan saja mereka." Akram malah mengangkat bahu. "Kuharap keduanya bisa lolos, karena aku tahu Arsya suka lelaki."

"Maksudmu dia dalam masa pubertas?" heran Gill.

"Bukan, maksudku dia tidak mau semudah itu melepaskan mereka. Lagipula, Arsya sudah lewat masa pubertasnya," jelas Akram. "Tapi, kalau pun dilepaskan, paling cepat tubin."

Gill melirikku. "Pangeran, kamu mau kuantar pulang? Ah, siapa yang menjagamu? Duh!"

Aku berpikir sejenak. "Kita ke sini sebagai tamu 'kan? Kenapa tidak menginap saja?"

Gill melirik Akram.

"Ya sudah, orangtuaku mana mungkin menolak."

***

Kami berjalan mengekori Akram sepanjang jalur. Meski tidak banyak perubahan, tetap saja aku merasa tidak aman. Tanah yang kuinjak seakan hendak menelan, belum lagi tulang belulang menghias indah di sekeliling tempat. Gill mengandengku, ia yang menjaga, ia pula yang gemetar.

"Pa-Pangeran," panggil Gill. "Kalau aku mati ... Tinggalkan saja."

"Kamu kok berpikir begitu?" heranku.

Akram mendesah kesal. "Thomas, orang tua aku baik, kok!"

"Panggil aku Gill!"

"Ya, sudah, Gill," balas Akram setengah kesal.

"Lalu mereka apakan Evergreen?" tanya Gill. "Kami berhak tahu nasibnya."

"Tanya Abi," balas Akram datar. "Kamu mah, jangan penakut gitu, ish!"

Rupanya, desisan Akram menyinggung perasaan Gill. Namun, pemuda itu lebih memilih diam, meski ia mengatupkan rahang dengan gemas.

Rumah Count tampak tua. Bahannya terbuat dari beton, belum lagi catnya hitam, menambah kesan seram. Lanskapnya yang sedari tadi gelap hingga menciptakan suasana gothic (aku baru mempelajari kalimat itu dari Arsene). Count itu sosok yang aneh bagiku.

Halaman depannya hanya ada gerbang tanpa tanaman hias. Rumput mati menghias indah sekeliling, menciptakan suasana ... Aku sendiri tidak tahu harus menyebut apa. Yang jelas, ini membuat Gill semakin gentar. Rumah ini terlihat tanpa penghuni.

"Pangeran." Bibir Gill bergetar hebat. "A-Ayo pu ... Pulang!"

Akram refleks menahan bahunya. "Ayolah, Kawan! Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri."

"Terima kasih atas tawarannya, tapi tidak!" Gill menarik tanganku.

"Sudahlah, Gill!" balasku sedikit meninggikan suara. "Tenang!"

Gill diam saja, menunduk. Aku malah semakin prihatin.

"Hihihi ...!"

Pintu berdecit, bersamaan dengan jeritannya.

-"SETAN!"