webnovel

Menuju Kebenaran – 1

Aku dilempar ke tempat yang jauh lebih aneh. Tanah luas namun begitu hitam dan lembab. Sekelilingku dipenuhi gundukan tanah dan tulang belulang, belum lagi di bawahnya penuh dengan cacing.

"Oh, ada Pangeran."

"Atau makanan untuk kita berdua."

"Ish, Delina! Kita tidak makan manusia."

"Tapi, boleh, Delisa. Abi bilang tidak masalah."

"Kepalamu! Kalau Abi keberatan, tidak wajib artinya."

Aku melihat dua gadis kembali berdiri di depanku dari kejauhan. Keduanya menyeringai dengan wajah imut. Ya, aku berani bilang mereka manis kendati ucapan berbanding terbalik dengan penampilan.

Mereka memiliki postur dan penampilan yang sangat mirip ; rambut sepinggang dikepang satu, dengan poni dijepit penjepit rambut berbentuk bulan sabit. Keduanya mengenakan pakaian sama, polos putih dengan rok pendek hitam serta celana panjang hingga menutupi seluruh kaki.

"Si ... Siapa kalian?" tanyaku.

Mereka terkikik. Barulah aku sadar, yang satu memiliki rambut dominan hitam dan satunya lebih ke biru.

"Aku Delisa," ujar yang berambut dominan hitam.

"Aku Delina," sahut yang berambut dominan biru.

"Aku meramal masa depan," lanjut Delisa.

"Aku membaca masa lalu," timpal Delina.

Aku terdiam. Suara mereka sangat mirip sehingga sulit membedakan siapa yang bicara tanpa melihat langsung wajahnya.

"Lalu, mau kauapakan bocah ini?" tanya Delina ke Delisa.

"Hm, dia tampak kecil sekali. Mungkin lebih muda dari kita yang enam belas tahun."

Enam belas tahun? Tak heran mereka tampak lebih dewasa dariku. Aku entah kenapa tidak takut lagi, karena sudah tahu nama mereka.

Tunggu, mereka cukup mirip dengan pria tadi. Jangan-jangan ...

"Oh, kamu pasti dilempar Akram," tebak Delina. "Ya, itu perintah Abi."

"Kenapa?" tanyaku.

"Kami mau membantu," ujar Delisa. "Ada beberapa hal yang harus kami jelaskan. Tapi, tunggu dulu reaksi kawanmu yang kayang tadi."

Apa? Kayang? Siapa? Gill? Evergreen? Mana mungkin! Jangan-jangan aku yang sinting!

"Santai saja!" Delisa tertawa kecil. "Kami tidak akan membunuhnya."

"Tapi menyakiti." Delina tertawa.

Aku mundur selangkah. "Apa mau kalian?"

"Nanti Abi jelaskan," jawab Delina.

"Yah, Abi tidak memberi alasan," timpal Delisa. "Tapi, kami patuhi saja selagi mampu."

"Kalian ... Orang mana?" heranku. Dari penampilan, mereka jelas mirip orang Ezilis, namun logatnya terdengar aneh.

"Aku Delina Ferant Elzalis Wynter," jelas Delina. Dia lalu menunjuk kembarannya. "Dan dia Delisa Ferant Elzalis Wynter."

"Kami putri Count Frances Ferant Elzalis Wynter," timpal Delisa. "Kami baru pindah ke sini, kebetulan kamu ada di rumah Wynter, wilayah kekuasaannya."

"Tunggu, di Ezilis ada wilayah Wynter?" heranku.

"Ya, iyalah!" Delina tergelak seolah aku yang bodoh. "Kami baru saja pindah lagi dari Aibarab. Selamat dari ledakan."

"Kalian tahu kisah di balik runtuhnya Aibarab?" tanyaku.

"Aku tahu duluan!" Delisa mengangkat tangan. "Kami pindah sebulan sebelum ledakan."

"Kalian tidak memberitahu raja Aibarab?!" Aku tidak sengaja menunggikan nada. "Jahat!"

"Abi pernah mengirim surat!" sanggah Delina. "Kamu jangan asal tuduh, Bocah!"

Aku malah kesal. "Lalu, kenapa kalian tidak lindungi Aibarab dari ledakan? Padahal bisa dicegah!"

Delisa mendengkus. "Kami sudah mengirim surat ke Raja Khidir, masalah selesai."

Jawaban sesantai itu jelas membuatku heran. Kenapa Raja Khidir tidak melakukan apa pun?

"Ya, kami sama bingungnya," ujar Delina seakan membaca pikiranku. "Jangan takut, kamu memang payah menyembunyikan emosi."

Aku jelas tersinggung.

"Kalian tidak mencoba menolong atau apa pun?" tanyaku.

Keduanya saling tatap, jelas bingung.

"Abi pernah mencoba," jawab Delina. "Tapi yah, tidak ada yang bisa menghindari takdir."

"Tapi, bisa dicegah, 'kan?" sanggahku.

"Sudahlah!" Delisa bersedekap. "Kamu tidak kenal, kenapa peduli?"

Aku jelas geram. "Kalian dasar–"

"Sudah!" potong Delina. "Anak kecil dilarang menyumpah! Kami saja dimarahi, apalagi yang kerdil macam kau."

Aku mengatupkan rahang.

"Pangeran ...!"

Aku jelas mengenal suara itu. Langsung berpaling. "Gill!"

Tidak ada siapapun selain lapangan luas. Sementara kedua gadis kembar tadi tidak berkutik meski situasi tampak mencekam saat ini.

Aku kembali menyeru nama Gill, tadi hanya suara jeritannya yang terdengar. Di mana dia?

Aku berpaling, hendak bertanya, si Kembar malah raib.

"Gill!" panggilku.

"Pangeran ...!"

Aku bergegas menuju sumber suara, kendati tidak jelas di mana ia berada selain lurus menuju ke sebuah taman.

Buk!

Aku meringis, kuarahkan pandangan ke belakang. Baru sadar telah menendang batu nisan. Merasa bersalah, aku berdiri dan membenarkan posisinya. Betapa herannya aku, melihat nama yang tertulis di sana.

Remi

Aku tahu itu tipuan, karena itu bukan nama asliku. Orang Ezilis selalu memiliki marga atau setidaknya nama belakang dan kadangkala memiliki tiga kata. Namaku tidak hanya Remi, bisa jadi Remi Perrier, Remi Gillmore, Remi Killearn, ketiganya sekaligus atau nama lain.

Ini pasti ulah si Kembar. Huft, kalau mau menipu, seharusnya yang profesional.

"Pangeran...! Aku sekarat...!"

"Bentar! Bentar!"

Aku berlari ke sumber suara sambil terus memanggil nama Guardian-ku. Ia jelas ketakutan, melebihi aku.

Kuteruskan langkah sambil sesekali memeriksa kalungku, berharap benda itu akan bercahaya. Selama beberapa saat berkeliling, harapanku terwujud. Benda itu perlahan bersinar. Aku menarik napas lega.

"Gill?"

Aku menemukannya, tengah memeluk lutut di bawah pohon besar.

Aku mendekat dan mencoba tersenyum menenangkan.

"Kamu dari mana saja, Gill?"

Ia mendongak, mata hijaunya tampak memancarkan gejolak batin tiada tara, matanya berkaca. Ia refleks memegang bahuku. "Syukurlah! Aku kira kamu mati!"

"Nama asliku 'kan, bukan Remi," balasku polos. Aku tahu ia pasti melihat batu nisan itu. "Di mana Evergreen?"

"Olalah, lupa!" Gill menepuk jidat. "Aku dilempar tepat setelah mendengarmu menjerit."

Aku menatap sekeliling. "Kamu tahu jalan pulang?"

"Aku bahkan tidak tahu tempat apa ini," balasnya. Dapat kurasakan tangannya bergetar memegang bahuku. "A-Ayo, pulang!"

Kami memutuskan berjalan lurus saja, meski tidak tahu harus ke mana. Gill mencengkeram tanganku, entah takut atau sangat menjagaku, barangkali keduanya. Tampaknya hanya aku yang bersikap tenang di saat seperti ini. Toh, tidak ada makhluk aneh sejauh ini, bukan?

"Aku kira kamu mati!" Gill mengulang. "Untung tidak. Kalau kamu mati, habis aku!"

Masuk akal, meski tidak tahu detail tugas Guardian, nyawaku tampak lebih penting darinya. Namun, sepertinya aku juga harus menjaga Guardian ini.

"Evergreen tidak juga terlihat," lanjut Gill. "Aneh sekali. Mana mungkin sosok seaneh dia tidak dilempar juga."

"Aku bertemu dengan anak kembar Wynter," kataku. "Mereka seperti ada rencana untuk kita."

"Rencana apa?" sahut Gill. "Beraninya! Aku akan memanggil kakaknya bila perlu."

Oh, si Akram, ya?

Gill melanjutkan. "Asal kautahu, Pangeran, tidak ada yang bisa membuatmu takut selama nyawaku ada sebagai tamengmu."

Syaaat ...!

Begitu selesai menyebutnya, ia menjerit hingga berlutut di sampingku.

Aku terkesiap, ada sesuatu nyaris menusuknya. Rantai emas.

Gill terduduk. "Pa ... Pangeran." Ditatapnya aku dengan ketakutan, ia nyaris kehilangan nyawa.

Aku membiarkannya duduk sambil memegang lengan bajuku, gemetar. Rantai tadi menancap di pohon belakang kami, begitu besar serta berujung runcing. Jika terlambat, sudah pasti Gill tertusuk.

"Pangeran," panggil Gill. "Kamu melihat sesuatu? Bayangan? Hantu? Orang? Ayahku? Atau apa pun?!"

"Te-tenanglah, Gill," balasku cemas. "Rantai itu mungkin tidak sengaja hampir menusukmu."

"Aku hampir mati, tahu!" balasnya. "Kalau aku mati, nanti siapa yang menjagamu?!"

Aku menelan ludah, mencoba membuang jauh-jauh pikiran itu. "Gill, tidak apa-apa."

Tidak kusangka, Gill malah memelukku erat hingga nyaris sesak napas. "Kalau aku mati ... Kamu, kamu bisa mati, tahu! Aku malu, nanti bilang apa di akhirat nanti? Apa kata mereka kalau ada Guardian yang mati cuma gara-gara itu? Parahnya, kamu bisa tewas menyusul! Aku malu! Malu-malu-malu!"

"Gill, tidak apa," balasku spontan. "Kita akan baik-baik saja."

"Oh, kamu selalu begitu!" tukas Gill. "Di Shan dulu begitu dan ujungnya meledak juga!"

Aku terdiam, tidak tahu harus membalas apa lagi. Fakta kalau aku mati di Shan akibat ledakan memang mengerikan, namun melihat Gill panik seperti ini jauh lebih menyedihkan.

"AAA ...!" Jeritan Gill nyaris mencopot jantungku.

Sebuah kepala menggelinding ke arahku.