webnovel

Keluarga Wynter, Lagi – 6

Atas kehendak Ezekiel, aku disuruh menunggu saja di rumah sampai dia kembali.

"Nanti gue jelasin hasilnya," ujar Ezekiel sebelum pamit. "Pokoknya lo jangan ke mana-mana tanpa seizin gue."

"Terserah," balasku malas. Apa-apa harus minta izin segala.

Aku mengerti kalau dia ingin melindungi, tapi menurutku ini sudah mulai aneh. Aku bisa menjaga diri dan tahu mana bahaya dan aman. Apa dia masih menganggapku sepolos itu? Aku ingat betul dulu sangat ketakutan sampai-sampai tidak mau berpisah dengan Guardian. Tapi, sekarang aku merasa sebaiknya lebih sering menjaga diri ketimbang harus bersama pelindungku terus. Tapi, bagaimana cara membicarakannya nanti?

Aku mendengar bunyi benda lembut ditepuk.

Rupanya Ariya duduk di sofa ruang tamu menghadap aku. Dia diam saja. Selama beberapa menit lewat hanya helaan napas kami yang terdengar. Sampai akhirnya, dia bicara. Tampak bosan menunggu rapat ala kadar yang terjadi di luar.

Dari jendela sudah menunjukkan bahwa malam telah tiba. Kami menunggu Ezekiel sejak sore. Selama menunggu, kami tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi hubunganku dengan keluarga Wynter masih terbilang canggung. Bahkan setelah segala yang kami lalui, seakan belum menumbuhkan rasa percaya penuh dariku pada mereka.

Ariya pun bersuara. Kini, dia tidak tampak seseram yang dulu. Malah lebih terlihat seperti wanita biasa yang ingin dimengerti. Meski aku tidak ingat betul berapa umurnya. Aku ingat kalau dia sudah lama lahir waktu Shan runtuh. Ah, dia seusia Zahra, justru lebih muda.

"Arsya dan Darren terus saja mengejar," ujar Ariya. "Padahal aku tahu, niat mereka hanya menjebak."

"Kuharap mereka segera kembali," ucapku tulus. Aku benar-benar mencemaskan mereka, terutama Darren. "Kita tidak bisa membiarkan penyihir itu berkeliaran lebih lama–maksudku Ascella, bukan Darren."

"Aku ingin membantu, tapi kekuatan batu ini tidak mempan karena bocah itu bahkan tidak menatapku," keluh Ariya.

Aku ingat betul dulu ketika kali pertama mengunjungi Kota Saghra, dia nyaris membuatku menjadi batu akibat terpana melihat kecantikannya. Aku memang memaafkan, tapi tidak akan lupa akan kejadian itu.

"Dia tahu reputasimu," tanggapku. "Makanya dia mencoba mengalihkan pandangan. Aku yakin seharusnya kalian bisa mengekang Ascella, baru kemudian kamu jadikan dia batu. Setelahnya disegel atau dihancurkan sama sekali."

"Memang begitu rencananya," ujar Ariya. "Tapi si Darren ini malah menunda dan bocah itu kabur!"

"Menunda?" Terdengar janggal untuk situasi seperti itu.

Aku belum kenal betul karakter Darren, tapi untuk siapa pun di posisi dia, tentu tidak akan menunda. Apalagi ini menyangkut nyawa banyak orang.

"Entahlah, pokoknya bukan salahku." Ariya membalas ketus sebelum akhirnya kembali menjadi dirinya yang biasa. Memang siapa yang menyalahkan?

Pintu pun diketuk.

"Siapa?" tanyaku.

"Sylvester."

Ezekiel masih saja menggunakan nama itu. Sudahlah, anggap saja itu nama panggung.

Aku bukakan pintu untuknya.

Mata birunya menatap lurus ke arahku, agak dingin sehingga sukses membuatku merinding. Kenapa dia ini?

"Ezekiel?" Aku mencoba menyadarkannya.

Ezekiel berkedip lalu duduk di sofa bekas aku duduk tadi. "Gue benar-benar enggak suka."

"Apanya?" tanyaku.

"Pokoknya mereka bebas mau apa saja, asalkan gue juga bebas mau lakuin apa saja!" tegasnya.

"Maksud?" Aku butuh konteks.

Ezekiel berdiri dan langsung menatapku. "Gue minta bantuan sama lo."

Aku berusaha tampak tenang meski jelas kebingungan. "Ada apa ini?"

Ariya tampak menyimak sambil memandang ke pojokan.

Ezekiel kemudian mendekatkan bibir ke telingaku, lalu berbisik.

Aku berusaha menyimak dan memahami, meski sebagian sepertinya perlu pengulangan. Tapi, secara garis besar, aku paham.

Beberapa waktu berlalu, akhirnya dia selesai bicara dan kembali menatapku. "Gimana?" tanyanya.

Aku tertegun. Dia sebelumnya memang sedikit protektif, tapi sekarang dia yang minta bantuan denganku. Tentunya membiarkan aku keluar dari sini.

Mungkin, ini saatnya aku membuktikan bahwa aku tidak selemah sebelumnya.

***

Beberapa jam setelahnya, Ezekiel pamit dan sampai pagi pun dia belum juga kembali. Entah apa yang dia kerjakan di luar sana.

Aku bangun pada dini hari dan kembali memeriksa Ariya. Dia tampak sudah lama bangun dan duduk di meja makan menatap sepotong roti.

Aku mencoba menyapa dan dia menyahut.

"Masih menunggu lakimu itu?" tanya Ariya.

"Wali," koreksiku lalu duduk menghadapnya. "Semua orang bertingkah aneh dari tadi. Ada apa ini?"

Ariya mengangkat bahu. "Bukan apa-apa."

"Kenapa bicara begitu? Kalau mau beritahu sesuatu, bilang saja!" Aku bicara dengan meninggikan nada.

Ariya rupanya tidak suka dengan responsku. "Sudah! Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa!"

Aku membalasnya lagi. "Lalu, kenapa semua bertingkah aneh?"

Ariya menarik napas. "Sudah dari dulu kami sekeluarga kesusahan minta bantuan dengan Avadeer!"

"Avadeer?" beoku, seketika lupa marga siapa.

"Hansel Avadeer!" Ariya melotot.

Nah, sekarang dia melupakan nama baru Guardian Ezekiel.

"Avadeer sulit sekali dihubungi, bahkan ketika kami berdiri di depannya saja dia tidak tampak menyimak sama sekali!" lanjut Ariya yang mulai terdengar kesal, tampak mengeluarkan emosi yang selama ini tertumpuk. "Dia tidak akan membantu kalau kamu tidak terlibat!"

"Aku?"

"Ya, kamu." Ariya menetralkan suara, mungkin agar tidak terkesan agresif seperti sebelumnya. "Kalau dia tidak mendengar bahwa kamu bukan calon korban setelah si Kembar, sudah pasti dia akan menolak kami."

"Kenapa kamu butuh bantuan darinya?" tanyaku.

"Karena itu akan memudahkan kami memancing pelaku," jawab Ariya. "Karena kalian incarannya selama ini."

Aku sedikit tersinggung karena dia menyebut kami semua incaran. Memang selama ini kami diburu oleh seekor jin yang tidak jelas asal-usul dan motifnya, ditambah makhluk dari dunia yang memang diciptakan seakan untuk menghabisi sesama penghuni dunia pula. Namun, bukan berarti aku, Remi, dan para Guardian pantas dijadikan umpan.

Kami pantas hidup bebas. Kami pantas menjalani hidup seperti yang lain.

Aku akan berusaha membantu para pelindungku. Apa pun motif para Guardian yang selama ini seakan mati-matian menjagaku dan adikku selama ini.

Aku dijaga karena aku sang Putri. Namun, apa hanya sebatas itu?

Ariya kemudian bersuara. "Para Guardian tidak akan mau membantu jika tidak berkaitan dengan kalian berdua." Dia menegaskan.

Benar demikian? Aku rasa mereka tidak seegois itu. Mentang-mentang hanya sekali kejadian, bukan berarti bisa jadi patokan.

"Aku yakin Ezekiel mau membantu, kok," ujarku, berusaha mempertahankan pandangan baik tentangnya. Meski tentu saja aku tidak tahu motif dia selama ini. Apalagi kenapa dia begitu protektif.

"Begitu?" sahut Ariya.

Duh, bicara dengan wanita kepala tujuh rasanya seperti anak kecil saja.

"Iya." Aku berusaha menyakinkan. "Dia mungkin mau, hanya saja menunda demi menyusun rencana agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan."

Ariya akhirnya diam, tapi aku ragu apa dia benar-benar percaya atau sekadar malas berdebat.

"Sekarang, dia malah minta bantuan denganmu," ujar Ariya. "Apa maunya?"

"Banyak tanya," candaku. "Serius, aku tidak mau memberitahu sekarang. Namun, satu hal pasti, tentu ini soal menyelamatkan kedua adikmu."

"Mau sampai kapan kalian bilang begitu?" Ariya sepertinya kesal terlalu sering mendengar kalimat yang sama, msski aku belum mendengarkan selain dari reaksinya tadi. "Kami tahu kekuatan si Kembar sangat berguna, tapi tidak sampai begini."

"Aku tahu," balasku. "Makanya kami bantu."

Mungkin, tidak selamanya aku mesti merahasiakan rencana dari para Guardian. Toh, Ariya juga berhak tahu karena dia terlibat.

Ariya lalu bertanya. "Kapan?"

Aku jawab dengan penuh keyakinan. "Beberapa menit lagi."