webnovel

Keluarga Wynter, Lagi – 5

Besoknya, aku tidak melihat Ezekiel maupun Safir, lagi. Keduanya seakan menghilang pada dini hari karena aku bangun tepat ketika matahari terbit saat melihat jendela kamar.

Bosan. Kenapa aku harus diam terus?

Aku ingin membantu. Sudah sewajarnya aku bertarung di sisi mereka. Namun, sepertinya aku masih dikira hanya akan menjadi beban. Sudahlah, kalau telanjur begini diskusi panjang pun tidak mempan.

Aku coba membaca surat yang tergeletak di meja.

Jangan ke mana-mana. Gue pergi sebentar.

Sudah jelas siapa yang menulis suratnya meski tidak tertulis keterangan penulisnya. Aku menggulung kertas itu lalu membuangnya. Hanya dengan itu, aku kembali di berkeliling rumah Ezekiel sambil mencari sesuatu yang menarik. Ini sudah kesekian kalinya mereka meninggalkanku. Bukan hal baru lagi, memang sejak awal aku selalu disuruh menunggu.

Sudah lama aku ingin menemani mereka, atau setidaknya menjadi penolong meski sesekali. Maksudku, siapa tahu lawan kami kali ini akan kalah jika kena lemparan batu dariku.

Siapa tahu.

Selagi mencari sesuatu yang menarik, perhatianku tertuju pada pakaian kelabu yang tertancap di sebuah foto. Baju yang ukurannya hanya cocok untuk anak kecil. Aku tahu itu baju sungguhan karena tampak jelas terbuat dari kain yang telah dijahit, baru kemudian dimasukkan ke dalam bingkai kaca. Warna baju itu terdiri dari kelabu tanpa bawahan, hanya bagian atas. Ini baju tanpa celana. Mata hijauku menyusuri baju itu, mencoba mencari petunjuk. Tampaklah tulisan kecil berwarna emas terlihat di bagian bawah baju, lebih tepatnya kain yang juga menjadi alas bagi baju ini. Letak tulisannya ada di bawah baju sehingga tampak jelas.

Zeke

Panti Graves

Hanya itu yang tertulis di sana. Punya siapa ini? Apa Ezekiel dulu dibesarkan di panti? Namanya dulu "Zeke" atau itu adalah kode rahasia atau hanya panggilan biasa? Kalau begitu, tidak heran Ezekiel sering memakai baju warna gelap untuk bernostalgia. Tapi, sepertinya Ezekiel selalu memakai pakaian gelap dilapisi warna putih entah kenapa. Barangkali sekadar suka alih-alih mengenang masa kecil. Kalau dia dulu dibesarkan di panti, bagaimana bisa dia tidak menceritakan masa lalunya? Ah, aku mungkin terlalu ingin tahu.

Tidak ada tulisan lain dari pajangan itu sehingga tidak ada petunjuk lagi. Aku kembali mencari-cari informasi lain. Hendak bertanya tapi orangnya sudah pergi. Ingatanku kembali ketika masih di Aibarab, lebih tepatnya di istana. Saat itu, seorang perpustakawan menawarkan informasi kepadaku secara cuma-cuma. Salah satu pertanyaanku pada dia adalah tentang salah satu Guardian dulu.

***

"Bagaimana rupa-rupa Guardian dari Shan itu?" tanyaku.

"Untuk yang telah bereinkarnasi, kami hanya tahu beberapa," jawab Perpustakawan. "Salah satu yang sering bertukar surat dengan Raja Khidir adalah seseorang yang dulu dibesarkan di Panti Graves, di Danbia."

"Dia orang Danbia?" tebakku.

Mengejutkannya, Pespustakawan menggeleng. "Dia mengaku berasal dari Arosia dan memang memiliki ciri orang di sana, berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru."

"Dia sahabat Khidir berarti?" tanyaku.

"Semua Guardian saling berteman," jawabnya. "Tapi, sekali lagi, kami hanya tahu beberapa."

"Panti Graves itu apa?" Aku kembali bertanya.

"Peternakan iblis."

***

Bulu kudukku meremang setiap kali menginggat percakapam itu. Jika benar di sana khusus membesarkan iblis, berarti ...

"Putri, lo kenapa?"

Aku menjerit. "Bikin kaget saja!"

Ezekiel yang berdiri tepat di belakangku tampak tidak terima. "Lho, gue dari tadi di belakang."

"Ish!" Aku tentu saja tidak terima. Daripada memperpanjang masalah, sebaiknya aku bertanya. "Apa ini? Baju dari mana?"

"Oh!" Ezekiel tatap baju yang kini tampak sangat kekecilan untuknya. "Gue dulu memang besar di Panti Graves. Sebenarnya, gue beda sendiri, sih. Karena bukan satu ras."

"Apa ras kamu?" Aku bertanya gamblang.

"Orang Arosia," jawabnya. "Mereka orang Danbia. Jelas beda."

"Bukan, maksudku ... ka-kamu iblis?" Kali ini aku terbata.

Ezekiel terdiam sejenak. Dia melirik bajunya lagi kemudian beralih padaku. "Bukan. Gue bukan iblis. Kalau pun iya, harusnya gue mati kebakar pas keluar rumah. Lo tahu gue paling enggak suka diam di dalam."

Benar juga.

"Lalu, kamu ini apa?" tanyaku.

Belum sempat menjawab, kami diganggu dengan seruan dari luar.

Suara cempreng memecah suasana. "Mana orangnya?! Katanya mau bantu!"

"Haduh, gini amat punya teman." Ezekiel berjalan menuju sumber suara diikuti olehku.

Dari suara itu, jelas berasal dari Ariya. Dari mana saja dia? Sudah lama menghilang. Lantas, mana yang lain?

"Ariya!" panggilku saat kami keluar rumah. "Kenapa?"

Ezekiel membukakan pintu.

Brak!

Ariya terjerembat di depan mata kami. Akibat didorong seseorang.

Aku langsung bergerak membantunya berdiri. "Kamu tidak apa-apa?"

Ariya tidak menjawab selain dengan masuk ke dalam rumah dengan mengesot, menghindari yang mendorong dia.

Mataku terbalak begitu mengangkat kepala.

"Jin–api!"

"Selama ini ternyata ada jin jahat di antara kita!"

"Bunuh semua anggota keluarga Malre!"

"Hancurkan semua jin!"

"Kamu Pemburu Sihir, bukan? Lakukan sesuatu!"

Baru saja membuka pintu, kami berdua malah diteriaki warga Arosia yang masing-masing telah membawa senjata mulai dari sabit, garpu jerami, bahkan obor. Meski jumlah mereka hanya sekitar belasan orang, tetap saja membuatku resah melihat betapa kerasnya keinginan mereka untuk memusnahkan lawan. Di tengah siang yang terik ini, malah terjadi keributan.

"Tenang semua!" Ezekiel langsung keluar dan berhasil membuat suasana kembali hening.

Semua mata tertuju padanya, dari beragam beraksi, sebagian besar tampak mengharapkan sesuatu pada Ezekiel. Sampai sekarang, aku tidak bisa menebak apa yang ingin dia lakukan.

Ezekiel satu-satunya yang tampak tenang dari nada bicara. Dia berdehem terlebih dahulu. "Ekhem, gue merasa jadi bintang, nih. Kalau apa-apa pasti pada ngumpul."

Aku menunduk, menahan malu. Bukannya memberi solusi dianya malah berbasa-basi. Atau mungkin saja ini sekadar untuk meringankan suasana.

"Hei, lo minggir sedikit!" Ezekiel mengibas tangan, membuat beberapa orang mundur.

Tanpa menjelaskan, dia membangun bongkahan es yang dapat dipijak. Ezekiel kemudian berpaling padaku, mengulurkan tangan. Aku terima tangannya dan kami berdua naik ke panggung kecil itu, meski tingginya hanya beberapa meter dari mayoritas warga yang berkumpul. Untung yang ada hanya puluhan orang, tapi mungkin sebagian akan menyebarkan berita kepada yang lain.

Ezekiel lanjut bicara. "Gue Pemburu Sihir dan tugas gue melindungi kalian asal dikasih upah. Betul?"

"Betul!" jawab mereka serentak.

"Gue enggak bermaksud minta duit, sih. Tapi, kalo dikasih gue bakal berterima kasih banget sama kalian," ujar Ezekiel. "Untuk pertemuan kali ini, kita bakal bahas soal amukan penyihir api. Oh ya, mana pemadam kebakaran?"

Seseorang di antara mereka maju, dia salah satu dari penyihir yang mencoba memadamkan api waktu Ascella dan Darren bertarung.

"Bilang ke teman-teman kalau gue mencari!" pinta Ezekiel. Dia kembali bicara pada para warga. "Di sini ada yang bisa memadamkan api?"

Sebagian besar mengangkat tangan.

"Oh, banyak, ya." Ezekiel kemudian menatapku. "Gue di sini cuma mau bilang bahwa di kota Arosia ini, ternyata ada pendatang yang tidak diinginkan. Dia sudah menculik dua anak bangsawan dari Aibarab dan jangan lupa, dia ada kaitannya dengan iblis."

Dapat kulihat sebagian menyimak dengan serius. Ada juga yang lelah kemudian duduk di tanah sambil menatap Ezekiel. Mereka jelas ingin lekas mendengar keputusan akhir daripada dijelaskan secara perlahan.

"Ternyata ketahuan kalau yang selama ini membakar Arosia adalah Ascella, dan dia bersekongkol dengan kakaknya supaya bisa memancing gue ke sarangnya," ujar Ezekiel. "Kini Ascella dan kakaknya yang perlu dibasmikan."

Hanya dengan bertutur kata yang santai pun sudah menciptakan suasana ricuh dari warga.

"Tidak bisa dibiarkan!"

"Orang seperti itu harus mati!"

"Kita tidak bisa hidup dalam ketakutan terus!"

"Pemburu Sihir, akan kami upahi dengan jumlah besar kalau kau berhasil membawa kepalanya!"

Ezekiel mengisyaratkan mereka untuk diam dengan kedua tangan membentuk huruf T. "Santai. Gue aja belum mandi dari tadi."

Sepertinya warga di sini sudah terbiasa dengan gaya bicaranya melihat reaksi mereka tidak ada bedanya dengan mendengar ucapan orang di sekitarku sebelum ke sini. Atau memang seperti itulah cara bicara orang di sana, kalau kuingat di tempat makan dulu.

"Gue yang bakal bunuh mereka," ujar Ezekiel. "Asalkan kalian mau gue suruh."

"Kami tidak akan keberatan," kata salah satu dari mereka. "Katakan, apa yang kau ingikan!"

Ezekiel tersenyum. "Pokoknya, apa pun keputusan gue, jangan ditentang!"