webnovel

Kekuatan dari Dewa – 6

Untuk kali pertama aku mendengar kisah Guardian membunuh suatu kelompok dalam sekejab. Sementara biasanya aku dengar mereka hanya menghabisi satu lawan dalam sekali waktu juga.

Ezekiel mengubur mereka hidup-hidup dengan salju. Tanda ia sengaja membuat kematian mereka begitu lamban dan menyakitkan. Itu cukup membuat seisi kota gentar. Membuatnya menjadi sosok yang ditakuti. Namun, mengapa Ezekiel bertingkah seakan senang diperlakukan seperti itu? Bukankah ditakuti sama saja dengan dikucilkan secara halus? Kulihat dia tampak ceria mengobrol bersama rakyat di sini. Bahkan menikmatinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia antara tidak tahu keadaan atau barangkali malas menanggapi dan terus saja bertindak sesukanya.

Ezekiel memang susah ditebak. Itu juga bisa jadi penyebab kenapa disegani. Takut bila dia tersinggung, maka nasib berakhir seperti pasukan tadi. Aku sendiri belum tahu pengendalian emosi Guardian ini, apakah dia tergolong sabar atau justru pendendam. Aku belum pernah melihat langsung sisi lain darinya. Cara pandangnya tentang lingkungan di kota jelas berbeda dari pikiranku. Mengingat cara dia mengobrol hingga reaksinya terhadap lawan selama ini hampir tidak ada bedanya. Ezekiel tetap menjadi pribadi yang ceria dan ramah pada semua orang sejauh ini. Begitu pula dengan rakyat Adrus yang membalas dengan ramah pula. Maka, sewajarnya dia tahu selama ini memang ditakuti?

"Apa dia tahu kalau kalian takut padanya?" tanyaku pada akhirnya.

"Kami tidak pernah menunjukkan bahwa kami takut," ucap sang barista lirih. "Namun, kami yakin dia tahu."

Belum pernah kulihat Ezekiel tampak mengetahui reputasinya di kota ini. Barangkali dia hanya memandang dirinya sebagai social butterfly alias sosok yang disenangi banyak orang dan tentu saja menawan tapi dia tahu bahwa semua keceriaan yang dipancarkan rakyat Adrus semata karena takut? Jika benar, Ezekiel mungkin tidak akan keberatan. Toh, bisa saja selama ini niatnya hanya ingin meluaskan jaringan sosial dan dikenal banyak orang terlepas dari pandangan tentang dirinya.

Aku mungkin belum paham motif sesungguhnya dari Guardian ini. Jika selama ini yang kujumpai, termasuk Mariam, ingin melaksanakan tugas sebagai penjaga di negerinya, maka Ezekiel mungkin punya motif yang sama tapi dengan bumbu berbeda. Dia mungkin ingin melindingi wilayah ini semata agar punya fasilitas lengkap tanpa perlu bekerja sekeras yang lain. Atau malah semua ini dia lakukan sekedar demi hobi, entah apa.

Ezekiel melakukan apa yang Guardian lain lakukan. Menyimpan benda aneh di rumah, punya banyak nama, menjaga negeri dari segala ancaman, serta menjalin hubungan dengan sekitar. Tetapi tentu, seperti yang lain, dia juga menyimpan seribu misteri dalam benak yang bahkan aku selaku tuan mereka tidak mampu menebak.

"Apa yang akan kalian lakukan?" tanyaku. "Kalian menemukan musuh para Guardian sementara dia sedang di luar sana membekukan kota. Apa langkah terbaik kalian sejauh ini?"

Aku kira mereka bisa memikirkan rencana yang sekiranya dapat mengantisipasi bahaya terlebih jika penjaga wilayah itu sendiri memiliki kekuatan di luar batas kemampuan mereka semua. Yang mana jelas akan berdampak buruk bagi seisi kota jika dibiarkan terus.

Sang barista menatap sekeliling, semua saling tatap dan seakan menunggu jawaban dari yang lain. Beberapa menit berlalu dalam diam, menandakan tiada yang mampu menjawab.

Aku menggaruk rambut hijauku yang rontok sehelai saking bingungnya. Mereka takut hingga tidak berani melawan sedikit pun? Bukankah Arosia termasuk negeri para penjelajah yang tentu berani bertindak? Ah, tunggu, ini mungkin hanya berlaku bagi Ezekiel Stafford. Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa bagian dari negeri para penjelajah ini tidak mampu memikirkan cara agar terus bertahan di situasi seperti ini. Terlebih jika seorang Guardian tidak akan selamanya menjaga mereka. Ataukah ...

"Nona, sebaiknya kamu duduk dan menghangatkan diri bersama kami," ujar sang barista.

Barulah aku sadar akan kejanggalan. Selama bertarung di sisi Ezekiel maupun Darren, aku bahkan tidak merasakan kekuatan mereka. Maksudku, di luar tadi dinginnya bahkan bisa jadi membekukanmu dengan sekejap tapi aku justru dengan mudah melintasinya tanpa beban. Kemudian saat Darren menyerang taman, ketika api biru menjalar ke sekitar, aku tidak merasakan panas melainkan hangat seakan semua terjadi semata karena suhu meningkat sedikit.

Janggal.

Kali pertama kekuatan seorang Guardian tidak melukaiku Atau selama ini memang begitu?

Belum pernah merasakan efek sihir dari mereka bahkan sejauh ini hanya diberi mahkota bunga oleh Khidir yang jelas bukan suatu serangan. Selama aku berdiri di sisi mereka saat bertarung, sihir mereka tidak terasa selama ini hingga aku lupa serangan mereka bisa jadi mengarah padaku tanpa disengaja. Selama ini, aku hanya terluka karena serangan dari lawan. Tapi, belum pernah terkena sihir mereka.

Selama ini ...

"Minuman masih bisa dipesan." Sang barista mengumumkan. "Yang kedinginan, bisa pesan minuman hangat."

Beberapa orang yang terjebak di sini pun mendekat dan mulai memesan minum sementara aku duduk diam memandang sembari memikirkan diri sendiri dan para Guardian.

Mereka melindungi kami–aku dan adik. Bahkan rela mati.

Namun, demi apa?

Atas dasar apa?

Apa kesetiaan saja?

Atau ada motif lain di sana?

Aku belum tahu sekarang. Tetapi, suatu saat aku akan mengerti.

"Thalia."

Nyaris melatah ketika mendengar suara lirih Ascella di sisiku. Lelaki ini ternyata telah duduk dan bahkan menyerahkan dua gelas teh hangat.

Ascella tersenyum, "Thalia tidak terluka?"

Aku yang masih terkejut tidak mampu membalas banyak. "Tidak, sepertinya."

"Aku tahu Thalia sudah berusaha memutuskan yang terbaik," ujar Ascella. "Tapi, aku tidak akan lelah memberitahumu motif para Guardian itu."

"Tutup mulutmu. Aku tidak mau mendengarnya!" balasku ketus.

Ascella mengaduk minumannya. "Thalia tidak tahu jika niat baik–"

"Begitu pula aku, niatmu tampak baik karena mau menginggatkan tapi aku juga tidak tahu motifmu melakukan semua ini," potongku. "Sekarang, hentikan pidatomu dan segera katakan di mana dia berada!"

"Dia siapa?" tanya Ascella.

"Sylvester!" jawabku setengah emosi. Semua ini telah menguras tenaga fisik dan pikiran. Membuatku tidak mampu menahan diri ditambah sifat Ascella yang menyebalkan ini. "Aku bertanya karena aku tahu kamu melihatnya."

Ascella menunduk, memadangi teh hangatnya. "Aku menemuinya. Dia sedang bertempur dengan Helia."

"Kakakmu?" Aku mencoba menginggat.

Ascella menggeleng. "Jin itu telah mengendalikan Kakak. Sementara kekasihmu mencoba menyadarkannya."

"Baguslah," ucapku. Aku amati Ascella yang beberapa menit lalu tampak sekarat. "Lalu, kenapa kau bisa terluka?"

Ascella menelan ludah. "Kekasihmu meliar. Dia melawan tanpa memikirkan sekitar hingga aku terluka."

"Dia melukaimu?" Aku memastikan.

Ascella tampak berpikir. "Aku ... Aku yakin itu tidak disengaja."

Sepantasnya begitu.

"Tapi, aku tetap tidak terima cara dia memperlakukanku," ujar Ascella. "Jelas dia dan satunya mengejek bahkan menganggapku sebagai lawan sementara aku saja belum pernah mempelajari sihir."

"Itu karena kamu berhubungan langsung dengan inang baru Zibaq, kakakmu sendiri," balasku. "Mereka mungkin berpikir, bisa jadi kamu turut andil dalam kekacauan ini."

Ascella mematapku, alisnya berkerut tanda dia tidak senang mendengar balasan tadi. "Setelah mendengar semua sifat buruk mereka, kamu tetap saja memihak. Mereka tahu dan sudah jelas–aku tidak bersalah! Malah masih menyudutkanku. Kamu masih saja .." Ascella kehabisan kata-kata. Tapi, dia lanjutkan beberapa detik setelahnya. "Kamu masih saja percaya," lanjut Ascella dengan nada pelan.

Aku membalas dengan mantap. "Karena kalung ini telah memilih. Aku akan selamanya berada di pihak mereka."