webnovel

Kekuatan dari Dewa – 5

Sekutu Raja Iblis. Musuh para Guardian Shan.

Dua kalimat yang sukses membuatku tidak mampu berkata.

Tidak heran kenapa Ezekiel dan Darren begitu menyudutkan Ascella.

Tidak heran kenapa mereka begitu keras kepadanya.

Tidak heran pula jika Ascella punya niat di balik sikap manisnya padaku. Dia ingin aku di sisinya agar aku terjerat dalam perangkap.

Ezekiel dan Darren selama ini mencoba melindungiku darinya. Tapi, aku masih saja meragukan. Aku telah meragukan pelindungku sendiri yang mana membuatku merasa malu.

Semua ini telah direncanakan. Para pelindungku sudah berusaha membimbingku ke jalan yang semestinya. Tetapi lagi, aku masih saja ragu. Aku nyaris masuk ke dalam perangkap sekutu iblis.

Semua rahasia akan terungkap.

Namun, belum juga ditemukan titik terang.

Semakin jelas siapa musuh kami sesungguhnya.

Namun, semakin samar pula pola cerita masa lalu di Shan.

Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa bisa terjadi.

Bahkan jika semua telah terjawab, aku mungkin tidak akan mengerti.

Lantaran ada pola yang semakin ruwet atau bisa jadi semua telah tersusun rapi. Namun, bisa jadi itu kenyataan pahit yang belum siap kuterima.

Ascella mungkin memancingku ke perangkapnya atau justru mencoba melindungiku dari iblis. Namun, isi hati seseorang tiada yang tahu.

"Keturunan sekutu Raja Iblis." Aku ulangi ucapan sang barista. "Siapa?"

"Tidak ada yang tahu persis namanya selain gelar tadi," jawabnya. "Tapi, aku tahu anak itu adalah Ascella, yang nasabnya sekutu iblis. Bukan sekadar rumor karena kakaknya, Helia, sudah menjadi penyihir yang bekerja sama dengan iblis."

Teringat kembali beberapa hari yang lalu, waktu aku baru mengenal Ezekiel dan beberapa saat sebelum berjumpa dengan Ascella.

***

"Jujur, sih. Kalian telat banget sumpah." Ezekiel bersandar di sofa, kami masih berada di ruang tengah ketika dia bersantai. "Gue sudah diburu tahu. Sudah begini, banyak warga yang ikutan kena."

"Zibaq telah tiba di sini?" Aku melotot, hampir percaya. "Cepat sekali!"

"Jin memang bebas," ujarnya. "Ke mana saja cukup melayang, kalau butuh kekuatan baru, cari inang dan semua beres."

"Kamu tahu siapa yang Zibaq kendalikan saat ini?" tanyaku.

"Seorang wanita," ujar Ezekiel. "Itu kata Khidir kemarin."

"Khidir ada di sini?" Aku tidak menyangka dia juga bergerak cepat menuju kota ini. Meski aku tidak tahu persis jarak antara Arosia dan Ezilis.

Ezekiel mengiakan. "Dia yang bakal memantau Zibaq. Setahuku gue, inang barunya ini memang keturunan sesat. Sudah dari nenek moyang kerja sama dengan iblis."

Selama perjalananku, lawan yang dihadapi selalu berhubungan dengan Sihir Hitam, tak terkecuali iblis sendiri. Sementara kaum jin sama seperti kaum lainnya, ada yang baik dan jahat. Tapi, tidak mudah membedakan hingga kamu lihat sendiri buktinya. Salah satunya, keturunan sekutu iblis.

"Nenek moyang? Berarti keluarga ini ada sebelum Shan runtuh?" tanyaku lagi.

Ezekiel kemudian berbaring, matanya terpejam seakan mengingat sesuatu. "Lebih tepatnya aktif setelah Shan runtuh. Ketika kerajaan kita kalah, maka iblis bisa lebih leluasa bergerak. Salah satunya dengan mempererat hubungan dengan sekutu mereka hingga ke anak cucu mereka. Salah satunya yang bernama Helia Malre dan Ascella."

Awal mendengar nama mereka, kukira itu sepasang pria dan wanita asing yang masih satu keluarga, seerti sepupu jauh misalnya. Ternyata, justru adik dan kakak.

"Cirinya berambut jingga, gue lupa warna matanya tapi nanti gue kasih tahu kalo itu mereka nanti," tambah Ezekiel.

Aku mendengarkan.

"Nah, Putri." Dia kembali berkata sebelum akhirnya tidur. "Gue berpesan buat hati-hari kalau ketemu mereka. Karena lo bakal dijadikan tumbal."

***

"Jadi, kalian selama ini hidup dalam ketakutan." Aku mengucapkan sesuatu yang sudah jelas.

"Kami takut pada ancaman dan pelindung kami," balas sang barista. "Kami tidak punya pilihan selain meminta perlindungan darinya, yang mana menjadi keputusan penuh risiko."

"Apa yang harus dikorbankan?" tanyaku lagi. Bukannya Ezekiel hanya minta fasilitas secara cuma-cuma?

Si barista menarik napas. Dia diam beberapa saat sebelum bicara. "Semua ada risikonya," ucapnya. "Salah satunya, beberapa warga di sini harus patuh padanya dengan bersedia membantu jikalau ia tidak mampu melawan sendiri. Yang mana mengibarkan bendera kematian bagi yang ditunjuk membantunya."

"Mengorbankan diri?" tebakku.

Aku hargai kebaikan hati si barista yang tidak tampak keberatan menceritakan semua padaku. Bahkan tidak terlihat risi saat ditanya terus.

"Beberapa hari lalu, beberapa orang nyaris kehilangan nyawa agar mampu memberi tanda kepada Dash untuk segera menyerang Helia di taman. Untungnya tidak ada korban jiwa saat itu."

"Dash?" Aku mencoba mengingat. Ah, Darren.

Taman? Aku bahkan tidak melihat siapa pun selain Ascella di sisiku. Waktu itu, kami duduk berdua sambil sedikit mengobrol sebelum diganggu oleh Gigantropy–Darren sendiri. Taman nyaris terabak habis akibat serangan api biru. Aku tahu betul siapa pelakunya. Aku belum mengerti kenapa dia melakukannya.

"Kalau soal Gigantropy?" tanyaku.

Si barista menatapku lagi, matanya mulai berkaca entah berduka atau justru takut. "Kami semua tahu jika Dash itu Gigantropy!"

Seisi warung masih saja diam menyimak obrolan kami. Begitu kutatap, mereka tidak menunjukkan reaksi lain selain tatapan heran. Kuharap aku tidak membuat suasana semakin buruk.

"Gigantropy bukan ancaman, tapi sama seperti Syl, harus ada bayaran atas semua ini," lanjut sang barista. "Oh! Aku bahkan tidak akan lupa apa yang dia perbuat hampir satu dekade yang lalu!"

"Membekukan kota, bukan?" tanyaku.

"Sebelumnya, ada kedatangan gerombolan pasukan yang ingin mengejar Syl karena mereka menginginkan kekuatan dari para Dewa seperti itu."

"Maksudmu?" Aku jelas bingung.

"Syl kabarnya lahir di tengah badai salju, yang mana membuat kekuatannya semakin besar. Dia sampai saat ini menjadi penyihir terkuat di kota, memenangkan lomba adu fisik dari desa ke desa, bahkan kami sering melihatnya latihan tanpa memerhatikan sekitar yang justru nyaris merusak kota. Lebih parahnya, tidak sedikit juga yang takut hanya karena melihat sekilas."

Aku mengerti kenapa mereka segan kepada Ezekiel hanya karena melihat kekuatannya. Tapi, apa reaksi mereka jika melihat Tirta nanti? Dia yang tertinggi saat ini bisa menjadi momok menakutkan warga Adrus.

Sang barista melanjutkan. "Kami takut menegur, apalagi setelah beberapa waktu lalu dia berhasil mengalahkan ratusan lawan hanya dalam sekali tebas."

Aku nyaris tidak percaya. "Mana bisa!"

"Dia menggunakan sihir es," balas si barista. "Ketika pasukan yang mencoba memburunya ingin merenggut kekuatan es yang langka itu, Syl berdiri di depan kota dengan tegap sementara kami sudah bertekuk lutut tanda pasrah."

Aku mendengarkan.

"Syl sudah terlebih dahulu membekukan sebagian kota sebelum kedatangan pasukan itu. Dia bilang, 'Gue bekukan buat kalian juga kok. Pasukan itu cuma caper,  maunya sih gue gabung sama mereka. Jelas dong ini tipu daya jin itu.' Aku tidak tahu siapa jin yang dia maksud, tapi sepertinya berkaitan dengan kehidupan di Shan dulu."

Jangan bilang itu Zibaq dan ilusi ciptaannya. Ilusi hanya jasad penduduk Shan yang dimanfaatkan oleh Zibaq untuk dijadikan boneka. Konsepnya mirip dengan punya Nisma Wynter dengan pasukan mayat hidup kesayangannya. Dia menyiapkan pasukan agar Ezekiel terpojok. Jin itu sudah lama berencana jahat untuk para Guardian jauh sebelum aku dilahirkan kembali.

"Dia masih terlihat santai mengamati pasukan itu semakin dekat. Yang kulihat hanya dia yang tersenyum membiarkan mereka maju. Kami berseru agar segera bertindak, tapi Syl malah menyuruh kami bersantai." Barista melanjutkan kisahnya.

Ezekiel yang biasa.

"Tepat ketika musuh semakin dekat, Syl merentangkan tangan di udara. Terbentuk pusaran angin dipenuhi salju mengelilingi kami. Suhu kota semakin rendah hingga aku waktu itu merasa akan tewas dibekukan. Begitu dingin dan menyiksa. Sementara Syl masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Bertepatan dengan itu juga, pasukan tadi sudah beberapa meter di depan mata dan ..."

Aku menahan napas, tegang.

"Dia mengarahkan kekuatannya pada pasukan itu. Badai salju menabrak lawan dengan cepat hingga mereka terjebak. Syl kemudian menjatuhkan salju yang terkumpul pada pasukan yang kini terjebak di antara badai ciptaannya. Mengubur mereka hidup-hidup."