webnovel

Guardian dan Sihir Hitam – 7

Terlambat.

Hanya jasad pria terkapar tepat di bawah sinar lampu. Dadanya terbuka lebar hingga menampilkan rongga kosong kecuali daging dan tulang rusuk. Tanpa diberitahu, aku tahu ini salah satu cara membunuh vampir. Ia tampak baru saja mati, terlihat dari darah segar membanjiri. Kulirik ketiga pria itu, diam seribu bahasa sementara sang dokter terus mengamati jasadnya dengan saksama.

"Sudah jelas," ujar dokter. "Ia hampir berubah menjadi vampir dan seseorang sudah membunuhnya."

"Baguslah," komentar Arsene. "Kita tinggal cari kerabat korban untuk menguburnya."

"Kalian tidak mencari pelaku?" Dokter memicingkan mata. "Atau setidaknya melapor ke pihak berwajib?"

Arsene melirik Gill. "Kamu atau kami yang melapor? Harus ada yang menjaga jasadnya."

Dokter Youngfeather kemudian menyahut. "Biar aku saja, barangkali salah satu dari kalian bisa menemaniku."

Arsene langsung menyahut. "Aku. Tom, kamu jaga Pangeran!"

"Panggil aku Gill!" tegas Gill. "Tom terlalu pasaran."

"Setidaknya kamu punya nama," balasku spontan. Aku bahkan tidak sadar kalimat itu keluar begitu saja. Aku seakan menusuk diri sendiri.

Gill tergelak. "Aduh, Pangeran, sama saja seperti dulu. Paling tidak bisa mengejek. Nanti aku ajari, ya!"

"Jangan!" Arsene menatapnya tajam. "Tom, pastikan Pangeran aman sampai kami kembali!"

Gill mengangguk. "Sekali lagi, panggil aku–Ayolah!"

Belum selesai, Arsene dan dokter sudah berlari mencari kantor polisi terdekat. Ia bersedekap, sangat jelas merajuk akibat salah panggilan.

"Pangeran," panggil Gill.

"Panggil aku Remi," balasku meniru nada suaranya.

Gill terkekeh. "Baik. Remi, kamu tahu ada berapa vampir di sini?"

"Kata Arsene selaksa," balasku polos. "Apa semuanya jahat?"

"Masalahnya, mereka tidak bisa menghilangkan candu turunan," balas Gill. "Ada di antara mereka mencoba candu baru. Tapi, sebagian tetap minum darah. Darah hewan bukan alasan kuat bagi makhluk buas itu untuk berdamai."

"Kalau kamu makhluk apa?" tanyaku.

Gill tersenyum miring. "Aku Pengalih-Rupa. Tapi, aku jarang menggunakannya, kecuali dalam kondisi tertentu."

"Berapa umurmu? Kamu dan Arsene tampak saling mengenal sejak lama."

"Umurku dua puluh satu tahun," balas Gill. "Sementara Arsy baru dua puluh tujuh tahun. Yah, kami tidak terlalu lama menetap di sini."

"Itu ... Lumayan lama," komentarku. Entah kenapa, aku yakin mereka bisa hidup lebih lama. Tidak berlebihan jika aku membayangkan mereka mengubur tubuhku yang renta sementara mereka masih tetap muda dan segar. Apalagi dengan kekuatan seperti itu, jelas mereka bisa jadi saksi sejarah di masa mendatang.

Gill tersenyum. "Kami secara umur memang tua. Tapi, kenyataannya aku masih bau kencur. Secara mental, bisa dibilang sebaya denganmu."

"Kenapa bisa?" protesku. "Pengalamanmu jelas lebih banyak dariku."

"Meski bereinkarnasi, jiwaku tetap berusia empat belas tahun." Ia merentangkan otot di tubuh kurusnya. Aku dapat mendengar bunyi tulangnya. "Yah, meski tubuh ini membusuk pun aku tetap masih kecil."

Aku masih sepuluh tahun, berarti mental Gill empat tahun lebih tua dariku. Aku bisa memanggilnya 'Abang' kalau mau.

"Kalau Arsene, berapa umur jiwanya?" tanyaku. "Kenapa bisa begitu?"

Gill menggaruk leher. "Umur jiwa sebenarnya umur terakhir kami di Shan sebelum bereinkarnasi. Dalam kasus Arsy, sama saja. Awal pertemuan, kami membahasnya dan dari situlah, aku tahu kalau kami berdua adalah Guardian."

Aku tertegun. Dari gaya bicara Gill, ia jelas tidak tampak seperti remaja sama sekali. Malah justru lebih tua. Seperti orang tua yang sedang menikmati masa kerjanya sambil mengurus keluarga. Atau sosok yang telah mengalami banyak perubahan dalam hidup hingga harus pensiun. Ah, aku terlalu kejam mengumpamakannya.

"Remi." Gill memanggil. "Aku hampir lupa soal teman baru kita."

Ia menunjuk jasad pria tadi. Memang, hanya ada luka lebar di dada hingga menampilkan tulang rusuk, tanpa jantung dan darah. Mata birunya melotot, entah siapa yang dipandang raga tanpa jiwa itu. Aku seakan ditatap, meski itu hanyalah "benda mati." Aku memalingkan muka, tidak tahan melihatnya.

Gill menggeser kepala itu dengan sepatunya yang mengkilau. Dia jelas tidak keberatan jika benda berharga itu kotor. Warnanya yang kelabu entah terbuat dari bahan apa, terlihat seperti perak diterpa cahaya lampu jalanan.

Gill berbisik pelan. "Ia tidak dibunuh atas dasar nafsu ternyata. Tidak ada bekas luka di leher. Barangkali, ia vampir dari lahir."

Aku diam saja. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Berarti ada Pemburu Sihir selain kami," lanjut Gill. "Baguslah, barangkali si Nemy tadi."

"Ne-me-sis," ejaku untuknya.

"Tahu, kok," balas Gill. "Tapi, aku tidak mungkin memanggil seseorang 'Musuh Bebuyutan.' Bayangkan perasaan dia."

"Yah, gadis itu memanggilnya Nemesis dan ia tampak biasa saja," balasku. "Mungkin itu nama lahirnya."

"Bahasa Ezilis Utara dan Selatan memang sangat berbeda, meski satu negara." Gill bersedekap. "Aku tahu Nemesis itu nama yang eksotis dan jelas berisiko. Tapi yah, terserah orangtuanya. Dia bisa protes dan ganti nama tanpa beban."

"Apa contoh perbedaan kata Ezilis Utara dan Selatan?" tanyaku.

"Kalau di Ezilis Utara, memanggil seorang pria adalah 'Monsieur,' sementara di Selatan adalah 'Mister.' Di sini, aku dipanggil Monsieur Gillmore. Ketika bertamasya ke Selatan, panggilanku jadi Mister Gillmore."

Gill berhenti sejenak untuk berpikir. Aku sebenarnya cukup paham dengan konsepnya meski bisa lupa beberapa saat.

"Tapi, kusarankan jangan ke Ezilis Selatan," ujar Gill. "Anggap saja itu tempat yang wajib dihindari makhluk waras."

"Kenapa?" tanyaku.

"Seperti Arosia, mereka membenci sihir." Gill menarik napas. "Keduanya, sudah negara kecil, masih saja berlagak."

Aku diam saja. Tak terbayang bagaimana nasib makhluk sihir yang tidak sengaja masuk ke dua negara kecil itu.

"Ah, mana Arsy dan Henry?" tanya Gill dengan nada cemas. "Lama sekali! Keburu hilang mayatnya."

Aku refleks menunduk. Beruntung jasad itu tidak bergerak sama sekali. Apa jadinya jika–

Syaat!

Bayangan hitam melesat ke arah Gill. Pemuda itu refleks berdiri di depanku.

Bayangan itu memotong lengan kirinya. "Argh!"

"Gill!" Aku jelas panik.

Gill terhuyung mundur sambil mencengkeram lengan kirinya yang terpotong. Darah mengalir deras, dia mengatur napas sambil mengamati sekitar.

"Gill!" Dengan panik kusebut namanya.

Tak kuduga, tangannya perlahan tumbuh kembali seperti semula. Namun, tidak dengan lengan bajunya yang sudah terpotong.

Aku terbata, jelas tidak menduga. Dari wajahnya yang tenang, Gill tampak berpengalaman, meski masih juga gemetar.

"Si ... Siapa?!" seru Gill gemetar. Mata hijaunya menatap liar sekitar.

Seruannya malah diabaikan.

Aku menatap Gill yang sibuk melambaikan tangan kiri barunya, memanggil sosok yang menyerang.

Kulirik jasad tadi. Tidak ada perubahan darinya. Tampak biasa saja. Kuharap ia tidak bergerak dan–

Ah, dia bergerak.

"Gill!" Aku menarik baju Gill panik.

Gill mendekapku, malah menjerit. Jasad itu berdiri dan siap menerkam kami, seakan jiwanya kembali ke raga. Ketika kuperhatikan lebih jelas, terlihat beberapa sulur di belakang seolah memainkannya bagai benang pengikat.

Bruk!

Tubuhnya terlempar di udara hingga mengempas bagai telur pecah. Ternyata ada sulur yang sengaja memainkan. Dekatnya, terlihat seorang pria yang cukup mirip dengan Nemesis.

Ia cukup tampan, berkulit pucat, rambut hijau tua agak bergelombang serta mata yang unik, hijau di kanan dan merah di kiri. Tunggu, itu ...

"Evergreen?" bisikku ragu. Mengingat nama yang kemarin kudengar.

Gill melirikku. "Kamu kenal?"

Pria tadi tersenyum miring. Jelas ada kejanggalan, tidak seperti senyuman yang kutahu. Mata itu menatap kami, sorotnya tidak kalah aneh. Memang sebelah hijau, tapi tidak memancarkan kehidupan. Satunya justru bagai neraka. Seakan seribu kejahatan terselubung. Aneh, kalungku justru bercahaya.

"Salam sejahtera bagimu," sapa pria itu. "Benar kata Pangeran. Aku Evergreen, John Evergreen."

Kulirik Gill. Sama sepertiku, ia sama-sama syak. Gill tampak ngeri memandang, diam selagi menatap penuh selidik. Masih dalam posisi mendekapku.

Pria itu tertawa kecil. "Kalian tidak mengenalku?"