webnovel

Evergreen sang Guardian– 1

"Lihat mataku!" Dia dekatkan wajahnya padaku. "Apa yang kaulihat, Pangeran? Hijau, bukan? Warna kehidupan. Ya, akulah sang Kehidupan itu sendiri."

"Kamu kenapa?" Gill menarikku ke sisinya. "Kenapa kalung Pangeran bercahaya?"

Aku melirik Gill. Aku saja belum tahu pasti cara kerja kalung ini. Tapi, kenapa Gill meragukan sesamanya?

Evergreen tersenyum. "Kalung itu memilihku, siapa yang bisa protes?"

"Kamu bukan Guardian!" geram Gill. "Arsy akan mencincangmu jika tahu."

"Wah, kenapa tidak serang aku saja?" tantang Evergreen. "Kamu tampak kuat, seranganku tiada gunanya bagimu."

Ternyata, dialah yang tadi memotong tangan kiri Gill. Meski jelas hasilnya sia-sia.

"Pe-pergi! Kamu ... tidak dibutuhkan!" seru Gill, meski bibirnya bergetar.

Aku teringat dengan obrolan vampir itu pada Arsene. Apa benar dia bisa mengatur vampir? Bagaimana bisa? Kutatap wajahnya, dia malah membalas dengan senyuman.

"Kalian jelas membutuhkanku," ujar Evergreen. "Aku pernah berkuasa atas para manusia dan jin, meski sekarang negeriku harus hancur karena kebodohan seseorang."

"Kamu ... dalang di balik keruntuhan Aibarab?" Gill mundur beberapa langkah sambil terus memegang bahuku. Dapat kurasakan getaran tangannya.

"Oh, tidak, tidak." Evergreen menggeleng pelan. "Akulah korbannya. Aku rekan kalian. Sayang, kalian tidak mau menerima keberadaanku."

"Karena tingkahmu meresahkan," balas Gill.

"Aku diciptakan dari dendam dan cinta, antara hidup dan mati, kebahagiaan di atas nestapa, cahaya di balik kegelapan."

"Apa maksudmu?" tanyaku. Apa untungnya kalau bicara seperti itu? Kuhargai nilai seninya, tapi ini tidak pada tempatnya.

"Aku sosok yang kalian cari!" Evergreen merentangkan tangan, seolah menunjukkan kekuasaan. "Bahkan kalung Pangeran setuju."

Aku menunduk. Kalungku masih bercahaya, kendati sudah begitu sejak bersama Gill. Kulirik Evergreen yang masih berdiri tanpa suara, sementara Gill menatapnya tajam.

"Tolong, enyahlah!" seru Gill. Bahkan ketika marah saja, harus sopan begitu.

Evergreen mengerutkan kening, tatapannya jadi sinis. "Jadi itu kehendakmu, hm? Kamu lupa dengan jasaku di Shan dulu? Akulah yang memberimu makan setiap hari!"

Gill menggeleng. "Kamu bukan dia!"

Evergreen berpaling. "Sudahlah, kalau kalian membutuhkanku, pintu rumah selalu terbuka bagimu, Nak."

Tubuhnya diselubungi cahaya hijau, perlahan lenyap bersama angin. Malam seketika jadi sunyi. Tiada dari kami yang berani berucap, sibuk dengan pikiran sendiri.

"Thomas! Remi!" seruan dokter membuyarkan lamunanku.

Arsene langsung memegang bahuku. "Kamu baik-baik saja?"

Rupanya, mereka barusan melihat Evergreen pergi.

Aku mengangguk. "Jasadnya dilempar Evergreen."

Gill berpaling. "Aneh, dia mengaku seolah berjasa bagiku. Dia seakan merasa dirinya itu seperti ..."

"Siapa?" tanyaku.

"Aku lupa namanya, dia sahabatku di Shan. Tapi, aku tahu dia tidak seaneh ini. Matanya bahkan tidak seperti itu. Lagipula, kalaupun masih hidup atau sudah terlahir kembali, aku yakin tidak akan seperti ini."

"Yakin sekali," sahut Dokter.

"Dia dan Evergreen sama-sama lebih tinggi dariku. Tapi, kulitnya kuning langsat kalau tidak salah dengan mata merah," kata Gill.

"Siapa namanya?" tanyaku.

"Aku memanggilnya 'Kakek.'" Gill menjawa. "Aku berjanji akan mengenangnya seumur hidup."

"Kalau yang kaumaksud itu dia, semua orang juga suka," sahut Arsene. "Dia dahulu cukup terkenal."

Aku jelas penasaran. Siapa sosok itu? Kenapa mereka bisa lupa namanya? Kuharap dia masih hidup atau setidaknya sempat berjumpa. Akan kuajak mengobrol bersama.

Kutatap mata emas Arsene. "Kita pulang?" Aku sangat lelah akibat tadi. Terlalu banyak hal membingungkan dalam satu hari.

"Bagaimana dengan mayat tadi?" tanya Dokter.

"Kita tidur dulu," balas Arsene. "Serahkan saja pada pihak berwajib."

***

Kami menginap di rumah Gill setelah dipaksa. Sesuai dugaan, rumahnya jauh lebih megah dibandingkan yang lain. Tersusun dari batu bata disertai warna krem mendominasi. Belum lagi di halaman depan terdapat taman bunga disertai kolam air dengan uang perak sebagai hiasan di dalamnya. Pintu rumah hampir mirip dengan gerbang, lebih besar dan tinggi dibandingkan semua pintu yang kulihat. Entah bagaimana, Gill dengan mudahnya membuka gerbang itu hanya dengan kunci kecil dan sebelah tangan.

Arsene memegang bahuku sepanjang jalan, memastikan aku tidak raib tiba-tiba. Dia sesekali berhenti membiarkanku mengamati halaman rumah dengan takjub.

Kudekati kolam kecil. Meski patungnya hanya berbentuk seperti uang perak, terdapat banyak uang perak sungguhan tenggelam di dasar kolam yang dangkal ini.

"Beberapa orang percaya dengan melempar uang ke sini akan mengabulkan permintaan," tutur Arsene. Dia berikan aku satu koin untuk dilempar. "Katanya, baca doa lalu lempar."

"Kamu tidak cemas dengan uangmu?" tanyaku.

"Nanti bisa diambil lagi," balasnya.

Aku pun berdoa. "Semoga lekas ketemu dengan Guardian lain. Aku ingin kami duduk sambil mengobrol bersama selagi menyaksikan hari berganti. Aku ingin bertahan lama agar dapat membalas kebaikan mereka, terutama pada Arsene."

Sedikit panjang memang, tapi begitulah aku. Kulempar koin itu hingga tenggelam bersama koin lain di dasar.

Arsene celupkan tangan ke kolam untuk meraih beberapa uang yang tenggelam. Anehnya, aku bahkan tidak berkomentar atau melawan. Ia dengan santainya mengambil lalu menyimpannya di kantong celana. Kalau begini, apa doaku akan dikabulkan atau malah tidak jadi?

Dia menepuk bahuku. "Ayo, masuk!"

Dalamnya jauh lebih megah. Terdapat permadani terhampar menyambut kami, di situlah Gill tampak menjamu Dokter dengan beragam cemilan. Aku menelan ludah, tidak sabar menyantapnya.

"Dari mana kaudapat uang sebanyak ini?" tanyaku pada Gill.

Gill terkekeh. "Sama seperti Arsy. Tapi, sebenarnya aku bekerja separuh waktu."

Kami duduk melingkar. Aku duduk di sisi kanan Arsene. Dia tampak tidak tertarik dengan makanan yang disediakan. Aku malah dengan nikmatnya menyantap cemilan tanpa memedulikan sekitar.

Gill menegak segelas minuman berwarna kemerahan. Dia menuangkannya dari botol kaca.

"Ini sirup, minum saja!" Gill menawarkan segelas.

Ketika kucicipi, terlalu manis. Aku kembali mengamati sekeliling, ketiga pria tadi masih saja diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Dokter akhirnya buka mulut. "Kamu yakin itu serangan vampir? Pelaku membiarkan darah berserakan dan hanya tertarik dengan jantungnya."

Arsene mendongak, menatap lampu kristal yang menjuntai di langit-langit. "Aku jadi ingat laporan Monsieur Abelard soal Rubah Putih itu."

"Itu monster Kikiro," balas dokter. "Sangat jauh dari sini."

"Tapi, masuk akal, 'kan?" sahut Gill. "Mereka hanya tertarik dengan jantung biar abadi. Kendati mereka tidak menua."

"Untuk apa ke sini? Bukannya di Kikiro ada penjaganya?" tanya Arsene. "Setiap negeri yang ada monster, pasti ada pemburunya. Kita sudah jenuh berurusan dengan vampir."

"Atau ... Kita suruh rubah itu makan jantung vampir saja, berdalih jika benda itu dapat memenuhi asupan gizi," saran Gill.

Dokter berkilah, "dia jelas tahu jantung vampir dipenuhi racun. Orang waras mana yang bersedia memakannya?"

Hening lama. Tanpa sadar, aku bersandar di badan Arsene yang sedari tadi menyimak. Selang beberapa menit penuh keheningan, Gill berdiri dan merentangkan otot sambil menguap.

"Sudahlah!" Gill menguap. "Kalian mending tidur. Otakku tidak encer lagi."

Melihatnya menguap, aku ikut menguap.

"Aku tidur di mana?" bisikku ke Arsene.

Dia melirik deretan pintu di lantai atas. Sepertinya Gill memiliki banyak kamar kosong. Dia menuntunku ke sana sambil mengawasi langkahku.

Meski rumah Gill mewah, tidak tampak seorang pelayan sama sekali. Sangat jarang kulihat sosok seperti itu hidup menyendiri di istananya. Namun, aku tidak mau protes.

Begitu masuk, terdapat ranjang raksasa di tengah ruangan disertai kelambu kuning menghiasi. Sekeliling kamar terdapat beragam ukiran, dominan berupa tumbuhan. Kulirik lemari tinggi yang mampu menyimpan tubuhku ketika bermain petak umpet nanti.

Arsene langsung roboh di kasur, membiarkanku mengamati ruangan lebih jelas. Kumatikan lampu dan menyalakan lampu tidur. Sebenarnya, aku terlalu penasaran untuk tidur. Kuputuskan untuk menengok jendela. Siapa tahu ada penampakan.

Kulihat bayangan putih melesat, seekor rubah.