webnovel

Guardian dan Sihir Hitam – 5

Syaat!

Terdengar suara sabetan hingga benda jatuh. Suasana seketika hening. Telinga berdenging sementara jantung seakan berhenti berdetak. Aku menghela napas, berharap nyawaku masih melekat di raga.

Kukerjapkan mata. Hanya ada kepala pucat menggelinding. Menatap kosong. Sementara darah membasahi tanah, serta bau anyir yang nyaris membuatku mual.

Makhluk itu sudah mati.

Aku terduduk dan berusaha mundur. Bibirku bergetar pelan kala mata merah itu menatap ke relung jiwa. Meski telah mati, tetap saja membuatku gemetar. Apa jadinya jika itu hanya tipu daya?

"Remi?"

Arsene berdiri di belakang, untuk kali pertama kulihat dia cemas. Keningnya berkerut menatapku yang masih terduduk. Dia ulurkan tangan, mencoba membantu berdiri.

Aku berdiri lalu memeluknya. Tanganku dingin, bergetar. Kucengkeram erat jubah hitamnya sambil membenamkan wajah, takut melirik kepala yang nyaris membunuhku.

Lidahku kelu, aku berjuang menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Tentang pria tadi dan makhluk yang baru saja mati.

Arsene belai rambutku. Kuberanikan diri untuk menoleh.

Tak jauh dari kami, tubuh itu terkapar tanpa kepala, mencoba meraihku tepat saat kepalanya terpenggal. Kuku tajamnya menancap tanah sementara tangan sebelahnya juga terpenggal hingga jatuh dekat tempat sampah.

"Monsieur Perrier!"

Arsene melirik sumber suara, begitu pula denganku. Dia pererat genggaman, seolah takut aku akan kabur. Kutatap sosok yang tadi menyeru.

Seorang pria pucat, gemetar mendekati kami. Dia mengenakan kaos putih kumal lagi basah oleh darah. Mata merahnya menatap liar sekeliling sementara tangannya gemetar mencoba meraih kami.

Ia genggam tangan Arsene, yang malah membuat pria itu mempererat cengkeraman di bahuku.

"Tolong aku! Hancur sudah keluargaku. Aku rela membayar apa pun, asal aku selamat!" Ucapannya diselingi gejolak batin hingga sulit dicerna. Aku yakin ia ada hubungannya dengan makhluk tadi.

Kulirik Arsene, tidak ada perubahan pada wajahnya, seakan tidak peduli padahal dia baru saja tampak mencemaskanku. Dia biarkan pria itu menggenggam tangannya dengan gemetar.

Suasana semakin canggung, beberapa orang saling lirik dan berbisik. Kubenamkan wajah ke baju Arsene yang terselimuti jubah sambil sesekali melirik pria tadi.

"Aku ada urusan penting," tolak Arsene. Ia berpaling dan menarikku menjauh.

"Aku ikut denganmu!" Pria itu menarik jubah Arsene hingga kami nyaris terjatuh.

Arsene menggeram, jelas tidak menyembunyikan amarahnya. Ditatapnya pria itu dengan tajam, seolah keberadaannya ibarat parasit. Ada apa? Kenapa Arsene tidak mau menolong? Apa karena sudah larut?

"Kamu baik-baik saja?" bisik Arsene padaku.

Aku mengiakan, walau seharusnya aku yang bertanya. Kutatap pria tadi tanpa komentar, iba sekaligus bingung. Semua pandangan tertuju pada kami, jelas membuatku tidak nyaman.

Pria itu sontak mundur dan meminta maaf dengan lirih. "Pokoknya, bantu aku! Aku sangat membutuhkannya! Jika tidak ... Nyawa kalian terancam."

"Jangan berlebihan!" tegur Arsene tanpa mengubah intonasi suaranya. "Aku ada urusan penting, tunggu saja di sini dan aku akan tiba beberapa jam lagi."

Pria itu menunduk. Jelas keberatan. Aku menebak, bisa jadi masalahnya sangat mendesak atau seperti yang kupikirkan tadi, berhubungan dengan makhluk tadi.

Aku melirik sekitar, mencari kedua orang tadi, Nemesis dan Michelle.

Mereka lenyap.

***

Arsene menggandengku pulang sambil membawa kantongan penuh makanan. Aku menatap kosong jalanan, tidak tahu harus berpikir apa lagi. Ia sesekali memanggil, lalu diam seolah tidak ingin aku hanyut dalam kehampaan.

"Remi." Lagi-lagi, ia memanggil dan aku menyahut pelan. "Masih ada?" bisiknya.

Aku menoleh.

Pria itu sedari tadi mengekori kami tanpa membuka mulut sama sekali. Ia hanya mengikuti langkah, seolah menunggu Arsene melaksanakan tugas berikutnya. Aku memberitahunya jika pria tadi masih saja mengikuti kami, tentu saja aku jadi cemas karenanya.

"Pegang ini." Arsene menyerahkan kantongan belanjaan kami. "Biar kuurus pria itu."

Arsene hampiri pria itu lalu bicara padanya. Dari bahasa tubuh, sudah jelas siapa yang marah dan diomeli. Arsene terlihat dengan keras menegur tingkahnya, meski pria itu jelas ketakutan.

Lalu, kudengar suara Arsene yang lebih keras dari biasanya. Gendang telingaku nyaris pecah. Jantungku nyaris copot.

"Pergi!" bentak Arsene. "Aku tidak akan membantu Sihir Hitam! Aku ada urusan yang lebih mendesak dari ini! Aku tahu siapa kamu–"

"Monsieur, jika kamu bersedia, aku rela melakukan apa pun," potongnya dengan gemetar.

"Aku tidak butuh apa pun!" balasnya. "Meski dalam darah ada sihir hitam, akan kumusnahkan selagi bisa. Kamu bukan bagian dariku dan bukan urusanku jika kalian menderita karenanya. Aku tahu siapa kamu, berhenti berpura-pura!"

Pria itu melirikku. "Bagaimana kalau ia menyerang putramu?"

Ucapannya seketika membungkam Arsene. Ia melirikku yang dengan polos memegang kantongan belanja. Diam tanpa menunjukkan perubahan atau reaksi lain. Arsene kembali menatap pria tadi.

"Persetan dengan masalahmu!" bentak Arsene. "Kalau begitu, jangan lagi bicara padaku atau putraku!"

"Monsieur, ada berita penting lainnya!" Pria itu menarik tangan Arsene. "Jika ia terus hidup, semakin banyak korban. Yang mengatur beberapa vampir adalah ... Seorang penyihir, namun kekuatannya bukan berasal dari kegelapan."

"Siapa?"

"Evergreen, nama selaras dengan kekuatan dan paras." Ia menatapku. "Dan jelas, dari pengamatanku, ia benar-benar tertarik dengan putramu."

Dari ucapannya, jelas menyihir Arsene untuk meneruskan percakapan.

Arsene melirikku dan lawan bicaranya bergantian. "Tahu dari mana?"

"Di pusat perbelanjaan tadi, sebelum vampir tadi menyerang," jelas pria itu. "Ia terus menatap putramu, seakan tiada lagi hal menarik di dunia ini."

"Bagaimana rupanya?"

"Mata hijau dan merah, rambut hijau tua, tinggi dan pucat," terangnya. "Selama ini, aku berjuang membebaskan diri dari cengkeramannya. Ia ... Memperbudak keluargaku dan sebentar lagi, kami akan dipengaruhi."

"Untuk apa?"

Pria itu menggeleng. "Monsieur, kumohon lindungi aku!"

Aku mendekat, jelas iba. Kulirik Arsene yang hanya menatap dingin, seolah ucapan tadi tiada artinya. Dia menghampiriku lagi, membiarkan lawan bicaranya menatap dalam diam. Tampak masih ketakutan.

"Kamu vampir," desis Arsene padanya. "Jangan sembunyikan itu!"

Arsene berdiri melindungiku. Aku lirik lawan bicara kami yang malang. Ia tampak lemah, seakan tidak mampu melawan nyamuk.

"Monsieur," lirihnya. "Jika Evergreen melihatku lagi ... Habis sudah nyawaki dan keluargaku."

"Memangnya kenapa?" sahut Arsene.

"Evergreen." Ia seolah ragu mengucapkannya. "Ia hendak mencari Sihir Hitam untuk dibunuh, sepertimu. Tapi, ia tidak pandang bulu. Evergreen pasti akan membunuh kalian."

Arsene tampak tidak terpengaruh. "Pulanglah."

Pria itu tak kuasa mencegahnya lagi. Arsene menarik tanganku menjauh, membiarkannya mendekam dalam kegelapan.

***

Arsene roboh di kasurnya begitu kami tiba di kamar. Aku yang baru selesai menata meja makan, jelas bingung lalu menghampirinya.

"Kamu tidak makan?" tanyaku.

Arsene pandang langit-langit, seakan enggan bertatap muka sekarang. "Tidak, aku kenyang."

Dengan berat hati, kumakan sebagian belanjaan kami lalu menyimpan yang tersisa untuk besok. Ia rupanya membeli banyak sekali camilan dan jarang ada makanan yang perlu dimasak terlebih dahulu. Jelas sudah, Arsene tidak memasak.

Sekembalinya di kamar, Arsene sudah terlelap dengan nyenyak. Aku tahu, barangkali ia kelelahan seusai pertarungan kecil dengan dua vampir ; satu terbunuh, satu masih gentayangan sekitar sini. Aku tidak yakin jika pria itu bisa dipercaya atau malah sebaliknya.

Aku lalu pergi tidur. Sebelum menutup mata, dapat kulihat bayangan hitam menyelubungi Arsene.