webnovel

Guardian dan Sihir Hitam – 4

Aku menatapnya dalam diam. Namun, dia membalas dengan senyuman yang terkesan ramah hingga aku jadi merasa aman.

"Pangeran," ucapnya lagi. "Kukira kita bakal ketemu lebih lama lagi."

Dia seperti bicara seakan kedatanganku direncanakan. Baru saja hendak bertanya, suara Arsene terdengar dari belakang. Dia rupanya bangkit karena menunggu terlalu lama.

"Remi, siapa-Ah, kamu." Arsene terdengar tidak senang maupun keberatan akan kedatangan tamu ini.

Arsene keluar sambil membalut tubuh dengan selimut, tanda bahwa dia lekas-lekas keluar begitu mendengar suara.

Pemuda tadi menautkan alis, jelas tersinggung. "Aku hanya ingin berkunjung, Arsy. Apa salahnya?"

Fakta kalau dia memanggil Arsene dengan nama kecil sudah menggambarkan sedekat apa hubungan mereka. Jika kalungku bercahaya, itu seakan menjadi nilai plus. Berarti, ada dua orang yang bisa kupercaya. Setidaknya, itu kata kalungku.

Arsene memutar bola mata. "Silakan masuk. Remi, ini Tom, Thomas Gillmore."

"Panggil aku Gill." Ia menepuk rambut cokelatku sambil tersenyum lembut. "Ah, tidak kusangka akan bertemu Pangeran secepat ini."

Gill? Bukankah itu berarti "ingsang" dalam bahasa Ezilis? Yah, baru kali ini kudengar nama kecil seperti itu. Ia sendiri yang hendak dipanggil begitu.

"Dia hilang ingatan, Tom," ujar Arsene.

"Panggil aku Gill." Pemuda itu duduk di sofa yang tampak lapuk.

"Seperti yang kubilang tadi, dia hilang ingatan." Arsene ulangi ucapannya.

Gill menatapku. "Benarkah? Jadi, siapa namamu, Pangeran?"

"Aku ... Remi," balasku seadanya. "Aku tidak tahu nama asliku."

Arsene menyahut. "Sudah, yang penting sekarang kamu aman. Kurasa, Gill lebih mapan mengurusmu." Dia menunjuk Gill.

"Aku ... Aku terlalu lemah dibandingkan kamu." Gill menunduk, tampak malu. Aku jadi penasaran, kurasa dia tidak selemah yang diucapkan.

"Ya, sudah." Arsene melirikku. "Sekarang, kita perlu mencari tahu seluk-beluknya."

"Kenapa tidak tanyakan saja?" Gill menatapku. "Ayo, Pangeran, ada yang diingat?"

Aku diam saja. Jelas tidak mampu menjawab. Kalau hanya sebatas kereta dengan gadis itu, apa lagi yang perlu dijelaskan selain kehampaan?

Gill menelengkan kepala. "Ada gambaran sekilas? Atau suara?"

"Ada ... Gadis berambut hitam," jawabku. "Kami naik kereta waktu itu. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak kenal gadis itu."

"Ingat wajahnya?" tanya Arsene.

Aku menggeleng.

Gill mendekat ke wajahku, seakan mencari detail yang tersembunyi. Ia kembali duduk lalu menghela napas.

"Aku tidak melihat bekas luka," lapor Gill. "Apa yang kaurasakan sebelum bertemu Arsene?"

"Tidak ada," balasku jujur. "Hanya capek karena berjalan terlalu jauh."

"Mengembalikan ingatan perlu waktu," ujar Gill. "Kuharap ingatanmu lekas pulih."

Semoga.

"Monsieur Abelard tadi melaporkan serangan monster Kikiro padaku," kata Gill. "Tapi, itu seekor rubah atau kit ... Kitsan ... Kitsune? Entahlah, aku tidak tahu banyak tentang makhluk di luar Ezilis."

"Aku gagal membunuhnya," kata Arsene.

"Kok tidak bilang?" Gill tampak kecewa.

"Aku tidak mencarinya," balas Arsene. "Rubah itu yang menyerang kami. Niatku hendak mengunjungi Monsieur Abelard dan justru melihat Remi yang nyaris ditangkap vampir. Kita akan menangkapnya bersama. Baru urus makhluk itu."

Gill malah mengubah topik. "Akan kuhubungi dokter Youngfeather nanti. Kamu sakit, 'kan?"

"Aku baik-baik saja," tukas Arsene. "Panggil Henry saat darurat."

"Sobat, kamu jelas butuh bantuannya." Gill tampak cemas, ia lalu berdiri. "Sudahlah, aku mau pergi dulu. Takutnya ada yang main-main."

"Kamu penakut tapi punya jiwa pahlawan," ketus Arsene. Entah memuji atau menyindir.

Gill mengelus rambutku lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan kalimat perpisahan.

Arsene langsung menutup pintu begitu Gill keluar, seakan menunggu kepergiannya sejak lama.

"Vampir?" beoku.

"Vampir termasuk makhluk sihir hitam," tutur Arsene. "Mereka yang paling merusak di kota ini."

"Apa nama kota ini?"

"Girvort."

Nama yang asing. Berarti jelas aku belum pernah ke negeri ini. Aku menatap Arsene, hendak mengucapkan sesuatu namun lidahku kelu.

"Kamu ingin tahu lebih banyak soal vampir?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Vampir sudah sejak lama berbaur dengan penduduk Ezilis dan aku membencinya," kata Arsene. "Mereka mampu membuat manusia terpesona hingga melahirkan dhampire, vampir yang tahan terhadap sinar matahari. Mereka juga sering menyebabkan wabah anemia di negeri ini. Namun, sangat sulit ditemukan lantaran kemiripannya dengan manusia, terutama penduduk Ezilis yang memang pucat."

Arsene kembali duduk di sofa tuanya. Aku bersandar di sisinya sambil mengamati ruangan tanpa foto sama sekali. Biasanya, dalam satu rumah setidaknya ada satu foto di ruang tamu. Berbeda dengan rumah ini yang tampak sengaja mengubur kenangan di masa lalu. Arsene bertingkah seolah ia dilahirkan sejak kemarin tanpa siapa-siapa. Seolah ia menghidupi diri sendiri sejak diciptakan.

"Asal kamu tahu," ujar Arsene sambil mengelus rambutku. "Ada banyak vampir menawan yang siap memangsamu setiap saat. Aku selalu membawa perak atau garam untuk coba-coba, karena mereka membencinya."

Aku mengiakan dengan patuh. "Ngomong-ngomong, kita makan apa nanti?"

Tentu, kami belum makan sejak tadi.

Arsene tertegun.

***

Arsene menggandengku ke sebuah pusat perbelanjaan. Ia hendak membeli bahan makanan tambahan untuk kami atau yang siap saji. Ia amati setiap benda yang dijaja sementara aku hanya menonton dengan perut lapar. Menunggu dengan sabar.

Kami berpas-pasan dengan sosok pucat bergandengan dengan gadis berambut hitam panjang. Entah kenapa, ketika melihat gadis itu, aku jadi ingat seseorang. Rambutnya juga hitam. Dia ...

"Kamu mau?" Suara Arsene membuyarkan lamunanku. Ia berdiri dekat kue yang dijaja.

Aku mengiakan dan membiarkannya memesan. Kuarahkan kembali pandangan pada dua sosok tadi.

Seorang pria pucat dengan gadis yang usianya sedikit lebih tua dariku. Keduanya tampak akrab bersama, seperti terjalin ikatan sesuatu. Tanpa sadar, aku mendekat dan meraih baju si pria dengan berjinjit saking tingginya. Tidak sengaja malah terkesan menarik belakangnya.

"Hm?" Pria pucat itu menoleh. Mata merahnya menatapku, begitu dingin dan waspada. Ia jelas terganggu dengan sikapku. Hawa aneh terpancar darinya.

Kalungku bercahaya, memancarkan sinar hangat di dada, benda itu sengaja kusematkan agar tidak menganggu. Aku tahu pria itu pasti ada "sesuatu."

"Nemesis?" Terdengar suara gadis tadi. Rambut panjangnya diurai, mata hijaunya menatapku heran. "Siapa itu?"

Dari nada suara dan gayanya, aku tahu gadis itu cukup dekat dengan pria itu. Penampilannya mengingatkanku akan gadis itu. Sesuatu berwarna biru terpancar darinya. Tunggu, kalungnya ... Bercahaya?

"Tidak apa-apa, Michelle." Pria yang dipanggil Nemesis itu kembali menatapku, sorotnya berubah menjadi lebih ramah. "Ada yang bisa kubantu?"

Aku refleks menggeleng, meski tidak menginginkannya.

Kulirik belakang bahu kanannya, ada sosok wanita berjalan tertatih-tatih dengan melotot ke arah... Kami?

"Nemesis!" Gadis itu-Michelle-menggenggam tangan pria itu.

Nemesis menoleh dan berdiri di depan Michelle.

Wanita tadi mempercepat langkah seolah bernafsu atau dikuasai amarah. Makhkuk itu membuka mulutnya dan menampilkan sederet taring berdarah. Aku melotot, itu-

"Vampir! Vampir!"

Semua bagai debu beterbangan, berusaha menyelamatkan diri sementara aku terombang-ambing di antara mereka.

Buk!

Aku terdorong hingga terinjak. Berjuang membebaskan diri dari kerumunan, menghindari telapak kaki yang membabi buta, sambil terus mencari tempat aman.

Aku berhasil merangkak ke tepi jalan sambil mengatur napas.

"Hisss..."

Aku mendongak.

Dia di sana. Tepat di depanku.