webnovel

Guardian dan Gigantropy – 2

"Putri!"

Seruannya lantas membuatku tersentak hingga nyaris melatah.

Tak disangka-sangka, suara pria terdengar dari balik pintu. Hanya suara yang tertangkap di telinga, seakan tidak mau menunjukkan wujudnya.

"Mendingan?"

Suaranya terdengar begitu ceria, barangkali lebih tinggi nadanya dibandingkan Khidir saat dia bersemangat.

Aku menundukkan pandangan.

Kalung bercahaya. Aman.

Aku tentu saja lega. "Iya. Terima kasih sudah menyelamatkanku."

Agak canggung, tapi aku usahakan untuk tampak ramah. Dia mungkin pelindungku, tapi tentu aku tidak bisa bersikap santai apalagi kami baru saja bertemu.

Tidak ada balasan. Dia sepertinya menunggu perintahku.

"Um, aku ingin melihatmu!" titahku ragu. Maksudku, aku tidak mungkin membiarkannya berdiri canggung di sana. Kami harus saling tatap.

Dia pun muncul.

Rambutnya pirang dan disisir lumayan rapi, serta mata biru dan kulit putih seperti orang Ezilis.

Dia juga membawa baki berisi minuman hangat serta daging yang tampak panas dan sedikit berkukus. Baunya pun tidak asing. Seperti ... Bau ayam.

"Kemarin lo pingsan dan belum sempat makan, makanya gue siapin sarapan spesial buat lo," katanya.

Dan bahasa daerah mana itu? Terdengar asing sekaligus familiar. Dia menggunakan kata "lo" sebagai "kamu" dan bisa jadi "gue" artinya "aku" kalau kupakai logika ala kadarku.

Aku mengamati sarapanku. Tampak enak. "Terima kasih."

"Hati-hati panas."

Aku hargai peringatannya, pelan-pelan menyuap, memastikan lidah tidak terbakar.

Rasanya enak. Sudah lama tidak makan daging ayam, apalagi yang masih hangat ini.

"Kamu memasaknya?" tanyaku. Jadi ingat Idris yang biasa memasak.

"Gue mesen tadi," jawabnya. "Betewe, mau dipanggil siapa? Putri? Azeeza?"

Ah, dia juga ingat nama Shan-ku. Maksudku, wajar kalau Guardian ingat ini. Masalahnya aku malah lupa nama Shan mereka. Memalukan memang. Kuharap mereka mau memberitahuku nanti. Ini bukan perkara besar, bukan?

"Kyara." Aku menyebut nama lahirku tanpa ragu. "Panggil saja begitu."

Dia tersenyum. "Kyara, namanya cantik kaya orangnya."

Aku tersipu. Meski terasa aneh dipuji begitu. Tapi, mungkin saja seorang Putri dipuji rakyat tak terkecuali para pelindungnya. Maka kubiarkan ia berkomentar begitu. Barangkali kebiasaan dari Shan.

"Kalau kamu?" Aku kembali sadar dari lamunan. "Belum memperkenalkan diri sudah pintar memuji."

Dia menjawab, "Ezekiel. Nama gue berarti 'yang dikuatkan Tuhan' yang mana berarti gue pilihan, termasuk jadi pelindung lo."

Lihat, dia kembali memutar lidah.

"Baguslah." Aku mencoba netral agar tidak terkesan kasar mendiamkan dia terus. "Tapi ..."

Kenapa kemarin ...

Api.

Kadal.

Tangan.

"Putri?" Ezekiel mendekat. Tangannya mencoba meraih rambut hijauku yang kini terurai.

"Kamu terlambat," ujarku. Menatapnya yang kini senyumnya pudar.

Aku mencoba agar tidak tampak terlalu marah. Tidak mungkin dia bersikap begitu melainkan demi menutupi rasa bersalah, bukan?

Ezekiel menelengkan kepala, sepertinya bingung. "Putri, Guardian Karun sudah diamankan."

"Karun? Siapa?" Aku heran.

"Itu, tuh." Ezekiel lantas berdiri. "Yang kemarin tangannya lepas."

"Aman? Dia aman?" Aku tentu saja bingung.

Dia tewas!

Ezekiel tersenyum, tapi kali ini terlihat seolah mengejek. "Putri jangan khawatir. Gue bisa urusin kadal itu, kok. Sekarang sudah beku tuh di rubanah dan nanti bakal dibakar."

Maksud?

Kenapa ia tidak membahas keadaan Gill? Kenapa tidak cemas sepertiku?

Apa dia tidak peduli dengan temannya?

Tunggu.

Aku jadi ingat waktu itu.

Gill melindungiku dari serangan tangkai berduri saat kami terperangkap di rumah Evergreen.

Kepalanya hancur. Tapi, kemudian utuh seakan tidak terjadi apa-apa.

Artinya ...

"Di mana Guardian itu sekarang?" tanyaku. Bingung harus memanggilnya Gill atau Karun.

"Lagi diamakan," jawab Ezekiel. "Nah, sekarang lo mending makn dulu. Lo juga butuh istirahat setelah semua ini."

Dia serta merta berpaling lalu melangkah keluar.

"Lo butuh tidur cantik."

Aku tidak tahu jika dia bilang "tidur cantik" atau "tidur, Cantik."

Yang pasti, dia tersenyum lalu menutup pintunya. Meninggalkanku bersama sarapan.

***

Beberapa jam berlalu, aku sudah kenyang. Tapi, ia tidak kunjung kembali.

Penasaran, aku melangkah keluar dari kamar. Toh, Ezekiel tidak melarang.

Ezekiel, nama itu terkesan tidak asing. Seperti nama-nama di Barat. Aku tidak tahu banyak mengenai dunia bagian sana. Barangkali Remi tahu. Tapi, sekarang adikku entah apa kabarnya. Kuharap dia dilindungi selalu.

Ketika aku melangkah keluar, di depanku hanya ada lorong gelap.

Hanya kamarku yang ada di sini, dan anehnya satu-satunya tempat yang punya lampu sementara lorong penghubung antara kamarku dan entah ruang apa di sana, tiada penerangan sama sekali.

Apa Ezekiel bisa melihat dalam gelap?

Kenapa aku ditempatkan di ruang terpencil?

Di mana kamarnya? Apa tidak jauh dari sini?

Aku menatap kalungku. Tidak ada cahaya, pertanda ia pasti jauh dariku.

Aku pun memberanikan diri keluar dari kamar. Takut terlalu gelap, aku biarkan pintu kamar tetap terbuka.

Ketika langkah semakin jauh, kegelapan perlahan menguasai diri. Aku mencoba menahan diri agar tidak lengah atau terlalu tegang.

Tidak. Jangan membayangkan monster tiba-tiba terjun dan menerkam.

Aku aman. Harusnya begitu. Karena ini rumah pelindungku atau mungkin tempat yang ia sediakan, sudah pasti tiada bahaya, bukan?

"Putri mau ke mana?"

Meski nada suaranya tidak berubah, tetap sukses membuat bulu kuduk merinding.

Aku melihatnya berdiri di belakang, sedang bersandar di dinding kalau diperhatikan dari bayangan bekas pantulan cahaya dari kamar. Ah, rupanya aku tidak terlalu jauh.

"Aku mau keluar," jawabku. "Melihat-lihat."

Dalam kegelapan, dia menggenggam tanganku.

Ezekiel menuntunku keluar sambil menggandeng tanganku. Sesekali kulirik wajahnya yang tertutup bayangan.

Langkah demi langkah kami lalui. Saat itulah semburat cahaya memenuhi pandangan.

Akhirnya tampak juga rumah yang sewajarnya rumah.

Maksudku, aku tidak terbiasa tinggal di rumah yang minim cahaya apalagi kalau dengan kamar tamu yang terpencil dan gelap itu.

"Tuan Putri mau apa?"

Kenapa dia bertanya sekarang? Kenapa tidak saat melihatku tadi? Bukannya aku sudah menjawab?

"Sudah kubilang, aku ingin melihat-lihat," tegasku sambil melepas genggaman.

Ketika kutatap dia, barulah aku melihat gambaran wujudnya dengan lebih jelas.

Ezekiel pria yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari Idris dan Khidir. Barangkali beberapa senti lebih rendah dari Tirta. Dia juga menggenakan jaket putih meski tidak dikancing sehingga tampak baju hitam di tengahnya.

"Kalau mau makan, ada banyak di meja, sudah gue siapin," pesannya.

Ezekiel lantas berbaring di sofa dan mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang yang sekecil genggaman tangan.

Aku belum pernah melihat benda aneh itu. Sepertinya ia dapatkan dari seseorang atau di sebuah tempat terasing.

"Ini di mana?" tanyaku.

"Arosia," jawab Ezekiel.

Itu nama negara. "Arosia mana?"

"Kota Adrus."

Terdengar aneh. Entah kenapa aku jadi ingat akan seseorang.

"Kamu kenal seseorang? Dia juga dari Arosia katanya." Aku ragu, semoga saja Ezekiel paham.

"Siapa?"

"Charlie."

"Oh, budak lo di Shan?"

Apa?