webnovel

Guardian dan Gigantropy – 1

Semua rahasia akan terungkap.

Entah aku siap menerima atau tidak.

Seperti kematian, hari itu akan tiba.

Dan aku harus terima kenyataannya.

***

Aku sering bertanya-tanya selama hampir lima tahun menjalani hidup sebagai sosok yang mereka kenal.

Aku adalah sang Putri.

Remi adalah sang Pangeran.

Mereka adalah Guardians, para Pelindung, wali kami.

Tugas mereka sama seperti wali, sekaligus pengawal pribadi.

Entah untuk apa ayahku memutuskan ini. Yang pasti, mereka tampak tidak keberatan harus melindungi kami.

Hari yang dilalui, selama di dunia ini, harus kuakui sangat baik.

Laksana mimpi yang tercapai tanpa usaha yang berarti.

Aku tahu, keberuntungan saat ini berpihak padaku. Tapi ...

Apa jadinya jika keberuntungan ini ibarat pisau bermata dua?

Bukan mustahil jika para Guardian melindungiku tidak hanya sekadar patuh dan demi pengabdian buta.

Bisa jadi, caraku memanfaatkan mereka yang jadi penyebab semua ini.

Ataukah ...

Tidak bisa kubayangkan kejadian setelah ini.

Jika semua terpampang di depan mata sementara diri ini tidak mampu menafsirkan.

Semua masih samar.

Masih saja samar.

Mereka mengabdi padaku.

Tapi, untuk apa?

Jika memang benar tulus melindungi, kenapa aku mesti bertanya?

Aku masih saja mempertanyakan.

Bahkan ...

Ketika aku kehilangan mereka, tepat di depan mata.

Saat itulah aku tidak tahu harus ke mana lagi berlindung.

Di saat itu pula, aku akan menyadari kenyataan baru.

***

Aku bangun di sebuah tempat tidur yang sangat nyaman seperti baru saja dibeli.

Ketika menggerakkan jemari, aku sadar sedang diselimuti kain lembut sehingga membuat tidurku kian nyaman.

Saat mata terbuka, tampak langit-langit terbuat dari beton putih menghias pandangan.

Aku rupanya dibaringkan di sebuah kamar yang lumayan mewah bagai istana, layaknya seorang putri.

Di mana ini?

Rumah siapa ini?

Aku tidak tahu.

Aku pun takut mengetahui.

Menginggat waktu sebelum ini. Lebih tepatnya sehari sebelum itu.

***

Api.

Waktu itu hanya api berkobar menghias pandangan.

Api merah membakar seisi pandangan. Aku tidak tahu pasti di mana ini melainkan sebuah gedung terbuat dari kayu.

Hanya benda terbakar tampak di sini, karena yang ada calon abu. Sepertinya aku sudah lama terperangkap.

Hanya ada aku dan ...

"Putri!" Seruannya sampai sekarang masih tergiang dalam pikiran. "Lari!"

Gill!

Dia juga di sini, terlempar bersamaku ketika ditangkap Zibaq.

Aku mencoba bangkit, pikiran berkecamuk, dunia terasa berputar, ditambah kaki yang susah dikendalikan.

Aku coba memacu langkah. Meski tidak bisa melihat dengan jelas, menyadari nyawa belum terkumpul.

Kutengok sekeliling, tidak tampak Gill melainkan suaranya.

"Gill!" seruku.

"Lari! Lari!" Hanya itu balasannya.

Kalungku masih bercahaya, tandanya dia tidak jauh dariku sekarang. Entah dalam bahaya atau aku yang terancam, atau malah kami berdua akan mati sebentar lagi.

Brak!

Terdengar bunyi benda jatuh, sepertinya terbuat dari kayu besar sehingga menciptakan bunyi layaknya rumah yang akan roboh saat itu juga.

Ketika benda itu roboh, kepulan asap menyertai. Di situlah terlihat bayangan hitam merangkak keluar.

Di antara tumpukan kayu terbakar, bangkit makhluk yang selama ini kukira telah mati.

Tepat di sana, muncul ia.

Ya, makhluk yang memangsa Ibu.

Ia masih hidup.

Seekor kadal yang tidak punya nama.

Ia melesat ke arahku. Bagai kilat, dengan mata hitamnya.

Setiap langkahnya terburu, seakan tidak sabar membunuhku.

Aku menengok sekeliling, mencoba mundur dan mencari tempat berlindung atau setidaknya menghindar.

Ia menjerit.

Suara yang kukenal, di malam yang berdarah itu.

Aku menoleh, memasang kuda-kuda, bersiap lari ke mana saja asalkan selamat.

Ia semakin dekat.

Mulutnya mengangga. Bagai lubang tanpa sadar ...

Ke arahku.

"Putri!"

Bruk!

Aku terlempar hingga terguling.

Badanku terhempas ke tanah, begitu keras hingga aku menggerang, terasa membakar ketika kulitku bersentuhan dengannya. Aku gemetar, menahan rasa sakit sekaligus jantung yang bergejolak.

"Gill?" Tidak ada sahutan dari ucapan lirih ini.

Hawa panas memenuhi mata, semakin perih jadinya.

Aku terbatuk kala asap menusuk mulut dan hidungku. Aku berupaya mengeluarkan bau memuakkan ini dari ragaku.

Aku lantas berdiri, mencoba bangkit dan lari satu-satunya yang kupikirkan saat ini.

Terdengar bunyi dentuman pelan.

Aku sadar apa yang terjadi.

"Gill!" Aku menjerit. Meski sedikit serak dan sakit akibat asap.

"Putri ..."

Bisikan itu tertangkap di telingaku.

Aku lantas menoleh. Mulutku ternganga, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata, kaki terasa kaku, ketika pandanganku tertuju padanya.

Gill mendorongku, tepat sebelum kadal itu menutup rahang.

Saat itulah semua terlambat baginya.

Bibirku gemetar. "Gill ..."

Separuh badannya terjepit di rahang kadal itu.

"Gill!"

"Putri!" Gill tidak memandangku, dengan mata terpejam, tampak menahan rasa sakit. "Lari!"

"Lompat!" titahku. Aku lalu menyeru kata yang sama.

Kadal itu tampak menguatkan rahang. Saat itulah kudengar erangan Gill.

Darahnya menetes, menghujani tanah di bawahnya.

Bibirku bergetar, napasku tak teratur, tidak tahu harus berbuat apa selain menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Kakiku entah kenapa tidak bisa digerakkan ketika takut. Bahkan pikiran pun hanya tertuju pada apa yang dilihat saat ini.

Aku tidak bisa lari.

Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

"Pergi dan cari ... Guardian lain! Aku ... tahu mereka di luar ... sana!" Gill tampaknya tidak mengindahkan. Dia menggerang ketika rahang itu perlahan memotong badannya.

"Gill!" Aku jelas marah. Dalam keadaan seperti ini dia masih saja memikirkanku.

Aku mencoba meraih batu, tapi hanya tanah datar di sekeliling.

Sial!

Di mana senjata andalanku?

"Lari!" seru Gill.

Gill menggerang. Dadanya kini diapit rahang penuh taring terkutuk itu. Menyisakan kepala dan kedua tangan yang berjuang menahan kedua rahang agar tidak memenggalnya.

Matanya berkaca. Aku tahu dia berusaha mempertahankan nyawa. Meski ...

"Bagaimana denganmu?" Aku tentu saja cemas dan panik. Tidak mungkin kubiarkan dia terjebak di sini!

"Pergi!" seru Gill. "Aku akan ... menyusulmu!"

Krak!

Saat itulah, badannya tertelan. Menyisakan tangan kanannya yang jatuh ke tanah.

Aku menjerit. Melihat tangan tanpa tuan itu yang tergeletak tepat di depan mata.

Tidak ...

Kakiku roboh. Menatap tangan itu.

Kaku.

Kadal itu menatapku. Mata hitamnya memantulkan wajahku yang ketakutan.

Aku harus lari.

Aku harus lari!

Kadal itu menjerit, suaranya yang melengking sukses menyiksa telingaku.

Saat itulah kobaran api merah berganti.

Kini pandanganku dipenuhi cahaya biru.

Mendorong kadal itu berlari ke arah yang berlawanan.

Bruk!

Aku roboh tepat ketika ekor kadal tadi mengibas ke arahku.

Kepalaku sakit begitu membentur tanah. Ditambah jeritan kadal yang menyakitkan.

Bukannya lari, aku malah bergeming di lantai seakan mati.

Sakit ...

Leher habis dicekik bekas Zibaq kini terasa lagi. Rasanya akan remuk jika jin itu menguatkan cengkeramannya sedikit lagi.

Karena tubuh diempas ke tanah gara-gara kadal tadi, membuatku geram dengan semua ini.

Namun, tubuh terasa kaku. Tidak mampu digerakkan meski batin menyeru keras badanku untuk bergerak.

Mataku perlahan tidak mampu menangkap bayangan secara jelas.

Semua buram.

Telinga tidak lagi menangkap suara melainkan detak jantungku yang melambat.

Aku pikir, ini akhir dariku.

Semua sudah berakhir.

Satu Guardian telah gugur di tangannya.

Gill telah tiada.

Pikiranku tertuju pada sosok yang kuingat terakhir kali.

Di mana Remi?

Di mana Mariam?

Di mana para Guardian?

...

. . .

Zibaq sepertinya sudah berhasil menangkap mereka termasuk Remi.

Kubayangkan ia sedang berbahagia di sana. Menari selagi mereka meregang nyawa. Senang karena rencananya berhasil.

Ia menang. Kami kalah.

Remi akan dibunuh.

Para Guardian akan dibunuh.

Aku akan mati.

Jika ini akhir dariku, maka ...

.

.

.

.

.

.

Apa itu?

Sesosok malaikat menghampiri.

Dia tersenyum.

Senyumannya meluluhkan hati.

Dia tampak ... Bagai mentari.

Ia mengelus keningku. Mendekapku dengan erat.

Mataku tertuju pada kalungku.

Sinarnya memancar begitu terang.

Dia berbisik sebelum mataku terpejam.

"Putri."