webnovel

Evergreen sang Guardian – 4

"Setan!" latah Gill. Dia berlindung di belakangku, menjadikanku sebagai tameng.

Dari jendela, tampak pria berambut hitam agak bergelombang dengan mata merah menyala. Tatapannya begitu dingin, selaras dengan wajah pucatnya. Tunggu ...

"Kamu ... Pangeran?" Pria itu mengerutkan kening.

Kudengar suara Arsene yang berdiri di samping kirinya. "Ya, Monsieur Killearn. Kami juga pelindungnya."

"Maaf, aku kira kalian musuhku," ujarnya.

"Kamu salah satu Guardian?" Gill memberanikan diri mendekat.

Dia mengiakan. "Aku Nemesis Killearn."

"Arsene Perrier." Arsene memperkenalkan diri lalu menunjuk Gill. "Thomas Gillmore."

"Salam kenal, Mister Perrier dan Mister Gillmore," balas Nemesis dengan nada tenang. "Kedatangan kalian sangat tidak terduga."

Dari logatnya, sedikit berbeda dibandingkan kedua pria yang kukenal. Dia jelas bukan berasal dari Ezilis Utara, melainkan negeri tetangganya.

"Panggil aku Nemesis," lanjutnya. "Biar kubantu kalian."

***

Nemesis duduk samping Arsene. Ia diam seribu bahasa, hanya bicara ketika ditanya soal jalan.

Gill masih tegang, duduk merapat di sisiku. Anehnya, tidak mau melepas pandangan dari vampir itu. Ketahuilah, Nemesis malah membalas tatapan Gill yang justru membuatnya semakin parno.

"Sudah berapa lama kamu menjaga Putri?" tanya Arsene.

"Baru beberapa hari," jelasnya. "Dia juga hilang ingatan. Terpaksa aku memberinya nama baru."

"Kasusnya sama dengan Pangeran," komentar Arsene. "Sama sepertimu, aku juga menamai sekaligus mencari seluk beluknya."

"Putri Michelle yang mengetuk pintu rumahku," tutur Nemesis. "Dalam keadaan payah, dia berusaha meminta bantuan. Aku hanya bisa membaringkannya di kasur sementara dia perlahan terlelap lalu bangun dalam keadaan lupa segalanya."

"Apa dia panik melihatmu?" tanya Arsene. "Setelah bangun?"

"Tidak," balas Nemesis. "Dia tampak sangat polos, apalagi soal kalungnya."

"Kalung Pangeran dan Putri tidak bisa lepas dari pemiliknya," kata Arsene. "Meski terlepas, bagaimanapun caranya akan kembali pada pemiliknya."

Nemesis mengiakan. "Selama seminggu bersamaku, dia tidak banyak berkembang. Malah tampak bingung. Aku mencoba mengingatkan dengan menulis nama-nama yang pernah disebutnya dalam ingauannya."

"Siapa saja?"

"Khidir, Idris dan Mariam. Bama-nama itu tidak asing lagi." Nemesis menjawab.

"Aku ingat," balas Arsene. "Itu nama teman kita sendiri. Mereka selamat?"

"Dari ledakan?" Gill terdengar tidak percaya tapi sekaligus kagum.

"Aku tidak begitu ingat," ujar Nemesis. "Tapi, semakin hari aku semakin ingat tugasku. Kini, tinggal mencari Guardian lain untuk dibantu."

"Dari mana asal Michelle?" tanya Arsene.

"Aku tidak tahu," balas Nemesis. "Dia hanya bilang minta bantuan padaku sebelum roboh. Saat kubaringkan, dia menginggau nama-nama itu."

Hening sejenak.

"Itu nama rekan kita dulu. Berarti mereka tidak bereinkarnasi dan menemukan Putri di wilayah mereka," ujar Arsene. "Bagaimana bisa Putri menjelajah jauh dari sana ke Ezilis? Itu butuh waktu berbulan-bulan."

"Dari penampilannya waktu itu, aku tahu dia dalam perjalanan yang tidak begitu panjang. Kalau memang benar dia rela menjelajah jauh ke sini, sudah pasti kurus kering dan terluka. Tapi, Putri tampak hanya kelelahan," tutur Nemesis. "Aku yakin ada hubungannya dengan hancurnya Aibarab."

Kami tiba di rumahnya. Bentuknya tidak kalah luas dibandingkan milik Gill. Hanya saja, tidak ada taman indah. Dinding luarnya sebagian sudah berlapis lumut, ada satu jendela terletak di lantai atas yang barangkali berfungsi sebagai radar, pagarnya menjulang dihiasi kawat. Intinya, rumah Nemesis tampak seperti rumah Arsene namun lebih luas dan kuno. Aku tidak kaget kalau itu warisan, seperti milik kedua Guardian-ku.

Gill masih saja memegang bahuku, sementara Arsene dan Nemesis sibuk mengeluarkan hipotesis masing-masing. Gill seolah tidak mau jauh dariku dan aku tidak keberatan jika dia mengaku takut dengan vampir itu.

Begitu masuk, kami disambut pemandangan baru. Di dalam tidak ada cermin, sudah jelas alasannya. Seperti Arsene, rumah ini tidak memiliki lukisan sama sekali. Aku tahu vampir tidak punya bayangan sehingga sangat mustahil menangkap rupa mereka dalam kanvas.

Nemesis menyuruh kami duduk di sebuah sofa empuk. Saking luasnya, kami bertiga bisa tidur bersama di sana. Aku duduk di samping Gill yang sedari tadi menatap Nemesis penuh arti, aku heran mengapa pemuda itu tidak mau melepas pandangan dari sosok yang ditakutinya.

Arsene akhirnya menyadari gelagat Gill. "Kamu kenapa?"

"Dia vampir," bisik Gill.

"Yang benar saja, kamu tampak biasa saja saat kita bertemu."

"Bukan itu!" Gill sedikit meninggikan suara. "Kamu bukan makhluk seperti itu."

Seorang gadis berambut hitam panjang muncul membawakan nampan berisi teh hangat dan kue kering. Dia meletakkannya dengan pelan di hadapan kami dan mengatakan sesuatu dengan nada pelan seakan takut suaranya terdengar.

"Kami hanya punya kue kering untuk dimakan," ujar si gadis. "Setidaknya olehku."

"Michelle?" Aku memastikan. Kulirik terus kalungnya yang juga bersinar seperti milikku.

"Begitulah namaku," balasnya. "Kamu dan aku senasib, tidak tahu asal usul sendiri."

Jangan-jangan dia gadis yang kutemui di kereta itu. Tapi, aku tidak ingat wajah dan suaranya.

Kulirik ke sisi meja, tergeletak sebuah violin. Dari mana aku tahu nama alat musik itu? Barangkali hanya ilmu yang tersimpan.

Menyadari lirikanku, Michelle pun bertanya. "Ada apa? Itu hanya violin."

Aku mengiakan. "Kamu bisa memainkannya?"

"Tidak," balas Michelle. "Nemesis kadang memainkannya untukku."

Aku mendekat lalu berbisik. "Bisa kamu ceritakan pengalamanmu selama di sini?"

Michelle pun bertutur.

***

Pantulan cahaya lampu menyakiti mata. Dia tutup mata demi menghindari sakit kepala. Kain lembut menyentuh kaki serta menghangatkan. Rupanya dia diselimuti dan tengah berbaring di sebuah sofa nan empuk lagi harum lavender.

Dia memiringkan kepala lalu, demi menghindari sinar lampu yang menyakitkan, menunduk. Dia berada di sebuah ruang tamu yang dingin. Gadis itu duduk sambil menyimpulkan.

"He-" Nyaris melatah ketika melihat sosok yang tengah duduk membelakangi. Ia berada di dekat perapian, entah terlelap atau terjaga.

Aneh. Entah kenapa, dadanya terasa hangat.

Ditundukkannya pandangan, sebuah kalung memancarkan cahaya biru. Apa maksudnya ini? Dari mana asalnya?

***

"Kucoba menginggat kembali. Hampa. Ribuan pertanyaan melayang di benak sementara aku tidak bisa menjawab," tutur Michelle. "Siapa aku? Dari mana asalku? Apa aku punya orangtua? Kenapa kalungku bercahaya? Bagaimana aku bisa sampai ke sini? Siapa dia?"

***

Sosok itu menyapa tanpa menoleh. "Putri."

Suaranya berat dan agak serak, membuat gadis itu cemas jika ia cukup minum hari ini. Dia telan ludah, terasa kering juga.

"Putri?" Gadis itu membeo.

Ia berdiri, tampak sama herannya.

***

"Jantungku berdegup kencang, apalagi melihat sosok lawan jenis sepertinya. Ah, berapa umurku? Apa ini natural?" komentar Michelle.

Aku diam saja.

Dia melanjutkan.

***

Pria itu pucat, mata merahnya menyala diterpa cahaya lampu sementara ia berambut hitam pekat agak bergelombang. Perawakannya tinggi. Aura yang dipancarkan pun terasa janggal.

Dia tatap kalungnya, apa maksud dari semua ini? Apa ia ancaman atau justru sebaliknya?

"Um, kamu haus?" Ia pelankan suara, barangkali karena reaksi gadis itu.

"Sedikit," jawab gadis itu. "Ada apa tadi?"

"Kamu tidak ingat apa-apa?"

Dia membalas. "Kita pernah saling kenal?"

"Di Shan? Ya," jawabnya sambil berlalu.

***

"Shan? Apa itu? Sebuah tempat atau istilah lain?" komentar Michelle. "Kalau kami bisa bicara tanpa hambatan, itu berarti aku pernah tinggal di negeri ini. Tapi, kenapa terasa asing?"

***

Pria itu kembali membawa segelas air lalu menyerahkannya. "Maaf, aku hanya punya ini."

Dia mengiakan. Air hangat mengalir di kerongkongan, segar dan melegakan. "Trims."

Pria itu bertanya. "Siapa namamu?"

Dia kembali bingung. Mencoba menginggat kembali. Ya, kosong. Ditundukkannya pandangan, menyusuri memori yang entah ke mana perginya. Dia tahu cara berjalan, bicara dan beberapa kosa kata yang diucapkan.

Dia menunduk, kini tahu kalau sudah menginjak usia remaja. Itu berarti, usianya jelas lebih dari sepuluh tahun.

"Aku ... Tidak tahu," bisiknya.

Pria itu membelai rambutnya. "Rambutmu hijau, kulitmu juga kuning langsat. Kamu orang Timur?"

Kalau dia ingat, Shyr dan Aibarab adalah bagian dari Negeri Timur yang sering diucapkan.

"Bisa jadi," ragunya.

Ia sentuh kening gadis itu. "Sudah mendingan."

"Eh?"

"Kemarin kamu demam," jawabnya. "Aku lega kamu tidak terluka dari perjalanan jauh."

"Ada apa?"

"Kamu di Ezilis, perlu waktu berbulan-bulan ke sini dari Timur," balasnya. "Kalau kamu lupa, bisa jadi kamu dalam bahaya."

"Bahaya?" beonya. Bahaya apa?

***

"Tidak kusangka, ia menatapku dengan tatapan lembut. Membuatku sedikit salah tingkah," komentar Michelle, sedikit tersenyum.

Kuhela napas, tidak mengerti mengapa dia jadi salah tingkah.

***

Pria itu berbisik. "Aku Nemesis, Guardian, pelindungmu."

Dari ucapannya, dia paham kalau pria itu sosok yang bisa dipercaya. Kalau kalungnya bercahaya, berarti benda itu telah memilih. Kalau dia mengenal gadis ini di Shan, berarti dia bisa bertanya siapa dirinya.

Gadis itu bertanya. "Siapa aku? Di Shan."

"Azeeza Suryanta."

"Kalung ini?"

"Aku membuatnya agar kalian bisa membedakan Guardian dengan orang lain." Ia lirik perapian. "Benda itu akan kembali padamu bahkan bila terputus."

"Untuk apa kamu membuatnya?"

"Tentu untuk memastikan," jawabnya menggantung. "Putri juga bisa memakainya untuk menunjukkan status."

Dia tertegun sejenak. "Kamu tadi bilang, 'Agar kalian,' itu ... Siapa saja selain aku?"

"Kamu benar-benar hilang ingatan," katanya. "Aneh sekali."

Dia tidak tahu harus membalas apa.

"Kamu dan adikmu tanggung jawab kami," lanjutnya. "Kuharap Guardian lain masih ingat."

"Kamu ingat semuanya?"

"Tidak juga." Ia jeda sejenak. "Kamu istirahatlah. Ada banyak yang ingin kusampaikan nanti."

"Aku tidak lelah," balas gadis itu. "Ceritakan saja."

Ia tidak menjawab, malah menunjuk sebuah violin yang tergeletak di meja. "Mau kumainkan untukmu?"

Malam dilalui dengan lantunan yang ia ciptakan.

***

"Pada malam itu juga, ia memberiku nama Michelle Killearn dan pakaian baru." Michelle akhiri kisahnya. "Kami samakan saja marga. Sejak saat itulah, aku mengecat rambutku agar sama dengannya."

Hendak sekali mulut ini bergerak, namun tertahan ketika Nemesis kembali lalu duduk di samping Gill.

Malang bagi Gill, dia dan Nemesis malah saling tatap. Yang satu biasa saja dan satunya malah semakin terguncang. Aku dapat merasakan gejolak batin Gill. Kenapa Nemesis duduk di sampingnya? Oh, aku sudah mengambil tempat duduk yang ada. Michelle duduk di kursi terpisah sebelah kiriku. Ia jelas tidak punya pilihan selain duduk sebelah sosok yang takut padanya.

"Kita berdua adalah pengguna Sihir Hitam," ujar Arsene.

"Ironisnya, rela melawan bangsa sendiri demi negeri yang telah runtuh," balas Nemesis.

Hening sejenak.

Kulirik Gill. Ia menunduk, entah apa yang dipikirkan. Pemuda itu berhenti menatap vampir tadi, tampak lesa dan hendak tidur sesegera mungkin. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun, apalagi menyambung kalimat yang dilontarkan Nemesis dan Arsene.

Michelle sama bosannya. Dia melirik sekitar sambil tenggelam dalam pikiran, kadang juga menyentuh violin itu. Kucoba untuk bicara, tapi lagi-lagi lidahku kelu. Sepertinya, kami hanya membiarkan suara Arsene dan Nemesis menggema di rumah.

Tak lama, aku dengar percakapan mereka yang mulai menarik.

"Aku pernah kedatangan seorang gadis berambut ungu beberapa malam lalu, dua hari sebelum bertemu Michelle," kata Nemesis. "Namanya Zahra."

"Apa katanya?"

"Zahra datang ke Ezilis dengan tujuan mencari ayahnya," jelas Nemesis. "Ciri-cirinya berkulit kuning langsat, berambut hijau tua dengan mata hijau. Aku perlu mencatatnya dan berniat menyebarkannya melalui surat kabar."

"Dia orang sini?" tanya Gill yang mulai mendapat keberanian.

"Dia tinggal di kota Girvort, tempat tinggal kalian, bukan?"

Kami mengiakan.

"Aku akan menghubunginya nanti," ujar Nemesis. "Semoga kita lekas menemukan pria itu."

"Pria tadi, dari ciri-cirinya jelas bukan orang Ezilis," kata Arsene. "Dari ciri rambut hijau, barangkali ia orang Shyr atau Aibarab, kedua negeri itu memiliki penduduk berkulit kuning langsat hingga sawo matang."

"Kalau kupikir-pikir, sangat aneh jika dia justru meminta bantuan padaku," ujar Nemesis. "Dia bisa minta pada pihak berwajib, bukan makhluk sepertiku."

"Entahlah, mungkin karena kamu yang paling dekat," sahut Gill. "Ngomong-ngomong, berapa umurmu?"

"Enam puluh delapan tahun," jawabnya. "Itu masih tergolong muda."

Gill membalas. "Aku masih kepala dua, juga Arsy."

Kini, Arsene yang diam dan membiarkan Gill menggantikan.

"Perlu diingat," ujar Nemesis sebelum kami pamit dan berjanji akan menemuinya besok. "Zahra mengaku sebagai Putri asal Aibarab."