webnovel

Evergreen sang Guardian – 3

Dia cekik leher vampir itu. Diangkatnya hingga wajah mereka bertatapan.

Dia benamkan kukunya yang tajam ke dada wanita itu, darah dan jantung muncrat mengotori tangannya. Dia empaskan ke tanah. Membiarkan darah membanjiri jasadnya. Setelah beberapa saat, barulah aku ingat namanya. Sosok yang selama ini kami tunggu.

"Nemesis!" Gadis berambut hitam berlari menghampiri. Rambut hitamnya berkibar hingga ke punggung, meski sedang diikat. Dia melirik jasad tadi.

Wanita yang baru saja digigit gemetar sambil memegang lehernya. Darah mengotori leher dan pakaian, wajahnya memucat.

Pria pucat itu meliriknya.

Wanita itu terkesiap. "Kamu ... "

Dia pegang kepala wanita tadi. Mata merahnya menatap lurus ke jiwa malang korbannya. Aku tidak bisa mendengar bisikan pria pucat itu. Setelah berbisik, dia biarkan wanita itu berlari.

"Tangkap dia!"

Seruan itu lantas membuat seisi pasar bergerak mengejarnya. Aneh, hanya kami yang diam berdiri sambil memandang wanita malang itu kabur.

"Arsene?" Kulirik Guardian-ku.

Dia tidak menjawab. Sama sepertiku, diam menyaksikan seakan itu hanyalah drama kehidupan.

Kenapa aku membiarkannya mati? Kenapa aku diam saja?

Kulirik Evergreen, hanya dia yang tampak biasa saja. Padahal Arsene sendiri jelas iba melihatnya. Ada apa ini? Kenapa tidak bertindak?

Penyesalan tiada gunanya. Kini yang terlihat hanya satu jasad terkapar di tanah, di tengahnya berdiri pria pucat tadi. Sementara pusat perbelanjaan hampir kosong, mereka sibuk mengejar wanita itu.

Gadis tadi memegang tangan pria itu sambil menyebut namanya. "Nemesis."

Nemesis menatap sekitar. Aku lantas menelan ludah.

Arsene membalas tatapannya. "Kenapa kaubiarkan?"

Pria itu tidak membalas. Dia genggam gadis itu sebelum lenyap menjadi kabut hitam. Tidak kusangka Nemesis bisa menghilang bersama Michelle tanpa bicara sama sekali. Dia berusaha tampak seolah tidak melihat, padahal aku tahu dia sesekali melirikku.

"Nemesis?" Aku tahu Arsene kebingungan. Dia pasti melihat kalung yang Michelle kenakan. "Dia ... Guardian?"

Aku diam saja, tidak tahu harus membalas apa.

***

"Vampir." Arsene terus mengulang kata itu, bahkan setelah kami berbelanja sekalipun. Atau ... Lebih tepatnya terpaksa pulang tanpa membawa makanan yang ditelantarkan para pedagang. Meski gratis, Arsene menolak ajakanku untuk mengambilnya. Toh, si empunya tidak tahu apalagi peduli.

"Dia vampir." Kalimat itu kembali terucap dari bibir. Aku hanya diam menanggapi.

Arsene terdengar tidak terima kenyataan bahwa di antara mereka ada vampir. Namun, kasus Arsene sendiri tidak membuatnya tampak baru. Sepertinya ada Guardian lain yang memiliki kekuatan Sihir Hitam selain mereka berdua.

Terbayang lagi wajah keduanya. Mereka tampak takut melihat masyarakat Ezilis. Jelas keberadaan mereka meresahkan, meski Nemesis juga membasmi Sihir Hitam. Tak heran wajahnya lebih pucat dibandingkan penduduk sini, dia bukan manusia. Aku, kalau boleh jujur, tidak keberatan dengannya. Sejauh yang kuamati, dia tampak dapat dipercaya meski telah membunuh sebangsanya.

"Astaga!" komentar Gill setiba kami di rumah mewahnya. "Sudah kuduga! Nemesis itu vampir dan dari namanya, orangtuanya seakan memberi isyarat agar kita menjauhinya."

"Sekejam-kejamnya orangtua, mereka pasti memberi nama yang setidaknya netral. Sangat aneh melihat orang waras memberinya nama seperti itu," balas Arsene. "Aku yang tidak diharapkan saja diberi nama yang berarti 'kuat,' apalagi pria yang telah berjasa bagi Ezilis."

"Yah, dia membunuh sebangsanya ..." Gill berhenti seakan menyadari sesuatu. Tapi, dia tidak melanjutkan.

"Aku tahu," balasnya. "Sekarang, kita perlu bicara. Kuharap dia tinggal sekitar sini, atau setidaknya sampai perbatasan."

"Tunggu!" Gill refleks mengacungkan jari. "Aku kenal beberapa orang. Kuharap mereka tahu."

Arsene memutar bola mata. Aku paham perasaannya, memanfaatkan sumber daya manusia kadang tidak disarankan. Tapi, apalah daya. Teman Gill barangkali lebih bisa dipercaya dibandingkan yang lain.

Gill bilang kalau dia akan kembali ke pusat perbelanjaan, berpesan pada kami untuk tidak ke mana-mana selagi dia mencari data. Aku semakin penasaran dengan jumlah temannya. Bisa jadi jumlah mereka cukup untuk memerangi negeri sebelah, barangkali.

Baru aku ingat, Gill sebenarnya memanfaatkan ibu-ibu atau tukang gosip untuk mengumpulkan data. Wajar Arsene skeptis.

***

Hanya dalam waktu dua hari, kami mendapat hasil yang mungkin memuaskan. Rupanya ada ibu-ibu yang kenal dengan pria yang hidup sekitar tempat tinggal Nemesis, meski jarak desanya sangat jauh dari rumah vampir itu, Desa Arey. Aku ingat jika Monsieur Abelard juga tinggal di sana.

Dari suratnya, tertulis alamat lengkap. Gill hanya menyerahkan sebagian informasi kepada kami. Karena sisanya berisikan kesan dan pesan dari sang teman atau gosip baru yang seharusnya tidak dibaca.

Temanku kenal pria itu. Dia hidup lumayan jauh dari desanya. Dia tinggal di hutan yang sama, dekat Desa Arey. Dia memang vampir yang aneh dibandingkan kawanannya, yaitu meminum darah hewan. Tapi, sejauh ini hanya berkeliaran tanpa menganggu.

Nama lengkapnya Nemesis Killearn, hidup bersama Michelle Killearn yang diakui sebagai adiknya.

"Dari mana dia tahu semua ini?" tanya Arsene sambil menunjuk surat tadi. Jelas skeptis.

"Kamu tidak pernah berkumpul dengan ibu-ibu? Semua informasi tersampaikan." Balasan Gill membuatku bingung sekaligus penasaran. Memang ibu-ibu sehebat itu?

"Kapan kita ke sana?" tanya Gill. "Ada kereta murah dekat sini."

"Besok atau lusa," balas Arsene. "Kamu tidak sibuk, kan?"

"Ayo!"

***

Besoknya, kami melewati hutan selama berjam-jam tanpa henti. Agak berat saat musim panas seperti ini. Aku tidak terbiasa naik kereta, apalagi dengan kuda yang antusias. Terasa seperti gempa dan kamu terjebak di suatu ruangan sehingga harus pasrah tertimbun. Ancaman jatuh lalu patah tulang terus menghantui. Aku tahu ketakutan ini tidak masuk akal, tapi mau bagaimanapun, masih saja takut.

Aku duduk sambil memeluk tas perbekalan sementara Arsene dan Gill bersandar di sampingku. Keduanya tampak pasrah dengan nasib.

Kudengar suara Arsene. "Pusing, ya?"

Aku tidak bisa menjawab. Kubenamkan kepala ke sisinya, berharap perjalanan segera berakhir.

Kereta murah tanpa sopir. Ya, ide yang sangat bagus.

Duk!

Aku tersentak dan nyaris melatah ketika roda itu menggelinding melewati batu kerikil. Tangan Arsene refleks melingkari pinggangku lalu menahannya. Kepalaku nyaris menghantam dinding kereta.

"Sebentar lagi sampai, kok," lapor Gill.

Kami masuk semakin dalam ke hutan. Lanskapnya perlahan berubah menjadi semakin subur. Kami seolah terperangkap dalam dunia lain. Aromanya lebih sejuk dan terdengar kicauan burung dari kejauhan, membuatku sedikit lupa fakta bahwa kami sedang menaiki kereta kuda nan kencang.

Aku teringat peristiwa tadi, gadis itu. Ah, dia sangat mirip dengan Michelle tapi kesannya sama sekali berbeda.

Kuda berhenti tiba-tiba. Menyebabkan kami bertiga menghantam dinding kereta. Gill refleks menengok ke jendela dan berseru kesal, entah apa yang ia ucapkan.

Arsene mengintip di jendela sebelahnya, memberi ruang bagiku untuk menengok. Aneh, tidak ada apapun di luar sana selain pepohonan rimbun serta semak belukar disertai dedaunan melapisi tanah. Kulirik Arsene, matanya memicing dan jelas sedang mengawasi sesuatu.

"Ada musuh!" seru Arsene. "Tom, kamu jaga Remi!"

Gill berseru. "He–"

Arsene langsung keluar lewat jendela. Aku sempat menghindar demi memberinya ruang. Jubahnya berkibar ketika dia lari semakin dalam ke hutan, entah apa yang dicari. Tidak menjelaskan apa yang terjadi, bahkan Gill tampak kebingungan menyaksikan temannya menjauh meninggalkan kami.

Entah kenapa, firasatku buruk.

Kudengar jeritan Gill. "Setan!"