webnovel

Bab 21. Keponakan Satria

Putri menunggu dengan sangat sabar. Ia melirik sekilas ke arah bocah lelaki yang kini duduk di sampingnya, ia lalu menghela napas panjang.

Sudah lebih dari satu jam mereka menunggu wali murid dari siswa di kelasnya, akan tetapi, sama sekali belum ada tanda-tanda kedatangannya.

"Revan, orang tua kamu kerjanya apa?" tanya Putri mencoba memecah keheningan.

Bocah kecil itu menggeleng pelan dengan raut wajah sedih.

"Kamu nggak tahu?" tanya Putri selembut mungkin.

"Revan cuma tahu, mama sama papa itu kerja dan pulangnya malam," sahut Revan pelan.

Putri hanya mengusap lembut kepala Revan, ia lalu bergeser dan menghadap ke arah muridnya itu.

"Kamu kembali ke kelas aja ya, main sama temen-temen."

Revan mengangguk pelan, lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan Putri.

Padahal Putri dan orang tua Revan sudah membuat janji temu kemarin, bisa-bisanya wali dari muridnya itu terlambat selama itu.

Putri menghela napas berat, ia lalu menyandarkan punggungnya pada sofa. Gadis itu pun memjamkan matanya, berniat untuk sedikit melepas penatnya.

Pikiran gadis itu benar-benar kacau. Ia masih belum mendapatkan jawaban dari Reyhan mengenai obrolan pria itu dengan Bayu. Sungguh, entah apa yang pria itu katakan hingga Bayu benar-benar diam.

Ia takut jika satu per satu anak-anak yang tinggal di share house mengetahui hubungan mereka yang sebenarnya. Dan bagaimana dengan Lusi? Apa yang akan Lusi pikirkan tentangnya jika ia tahu nanti? Bagaimanapula dengan keluarga Via yang begitu mengharapkannya menjadi menantu?

Kenapa begitu rumit?

Tok tok tok!

Putri terlonjak kaget mendengar ketukan pintu di dekatnya. Gadis itu langsung menegakkan tubuhnya, dan membuka lebar-lebar matanya.

"Satria?!" pekik gadis itu saat menyadari seseorang yang mengetuk pintu adalah Satria.

Pria itu tersenyum meski terlihat jelas di wajahnya bahwa ia sedang bingung.

"Masuk, Satria. Kamu ada perlu apa sampai ke tempat aku ngajar?" tanya Putri pelan.

Satria menggeleng pelan. Jujur saja, ia juga baru tahu bahwa Putri ada di sini. Siapa sangka bahwa Putri adalah guru Revan?

Pria itu pun duduk di sofa berhadapan dengan Putri.

"Gue ke sini ada janji sama gurunya Revan."

Putri menganga tak percaya. Revan itu adalah anak Satria? Serius?

"Kapan kamu nikah? Kok anak kamu udah sebesar itu?!" pekik Putri tanpa bisa mencegah rasa penasaran, dan keterkejutannya.

"Heh? Apa? Gue nikah? Ngomong apaan sih lo, Put?!"

Satria langsung gelagapan.

Putri menggelengkan kepalanya pelan, ia lalu mengambil segelas air di  meja kerjanya, lalu meneguknya hingga habis. Setelah cukup bisa mengendalikan diri, Putri berbalik dan kembali duduk di hadapan Satria.

"Aku bikin janji sama orang tua Revan, dan kamu yang muncul!" todong Putri.

Mungkinkah selama ini Satria membohonginya? Mungkinkah selama ini pria itu hanya mempermainkannya?

Sungguh, Putri merasa benar-benar buruk sekarang.

Di luar dugaan, Satria malah terkekeh pelan sambil menyandarkan punggungnya pada sofa.

Putri langsung cemberut dibuatnya, entah apa yang begitu lucu hingga membuat pria itu terkekeh seperti itu.

"Kok malah ketawa gitu?!" geram Putri.

"Ya lo lucu banget habisnya! Ya kali gue udah punya anak! Kalo gue punya anak, harusnya lo yang jadi ibunya! Mengada-ngada banget lo, Put!"

Putri terdiam. Pipi gadis itu langsung merona mendengar ucapan Satria.

"Revan itu keponakan gue! Mendadak nyokap, sama bokapnya ada urusan bisnis yang nggak bisa ditunda, jadi mereka minta tolong gue buat mewakili mereka dateng nemuin guru Revan, mana gue tahu kalau itu lo! Kalau tahu, gue pasti bawa bunga ke sini!"

Putri menggeleng pelan. Untuk sekarang, ia harus mengabaikan ucapan-ucapan manis Satria, dan fokus dengan tujuannya mengundang wali dari Revan.

"Ya udah, karena kamu ke sini untuk Revan, kita mulai aja ya," pinta Putri.

Satria tersenyum, lalu mengangguk pelan. Ia juga langsung memperbaiki posisi duduknya agar lebih sopan di depan guru Revan.

"Belakangan ini, saya perhatikan, Revan itu suka menyendiri, menangis, dia juga jadi anak yang tempramental, suka bertengkar dengan teman-temannya," ucap Putri pelan.

Satria cukup terkejut mendengar pernyataan Putri. Revan yang ia kenal sangat ceria, penurut, dan suka berbagi. Sungguh, anak itu sangat baik kepada siapa pun. Bagaimana bisa ia berubah?

"Revan bukan anak yang seperti itu, dulu dia sangat baik, dan ceria. Apakah Anda tahu, apa yang sekiranya terjadi, dan memicu perubahan sikap Revan?" tanya Putri.

Satria menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya pelan.

"Saya juga tidak tahu. Kami tinggal di rumah yang berbeda." sahut Satria pelan.

Dulu, mereka memang tinggal di satu rumah yang sama, akan tetapi, semenjak Satria disibukkan dengan pekerjaannya, ia memutuskan untuk tinggal terpisah dengan mereka.

Siapa sangka keponakan kesayangannya itu bisa menjadi seperti ini?

"Apa pekerjaan orang tua Revan?" tanya Putri pelan.

"Keduanya sibuk bekerja di perusahaan properti milik mendiang ayah kami," sahut Satria yang terlihat masih bingung.

"Mungkin ada masalah di rumah, jika boleh, saya minta Anda untuk memberitahukan kepada kedua orang tua Revan untuk lebih memperhatikan Revan saat di rumah. Sebelumnya saya sudah mencari tahu, sekiranya ada masalah di sekolah, tapi tidak ada yang salah. Pertengkaran selalu diawali oleh Revan, jadi, saya berpikir mungkin saja ada sesuatu yang terjadi di rumah."

Satria mengangguk pelan. Jika dipikir-pikir, itu sangat mungkin terjadi, mengingat kedua kakaknya itu terlalu sibuk bekerja, mungkin saja Revan jadi kekurangan kasih sayang, dan perhatian. Memang ada baby sister yang menjaga dan mengurusi anak itu, tapi tentu saja itu tidak akan sama.

"Saya akan lebih memperhatikan anak itu kedepannya, saya harap dari pihak keluarga juga melakukan hal yang sama, demi kebaikan Revan." celetuk Putri dengan suara yang sangat lembut.

Satria menatap manik mata gadis itu lekat-lekat. Sungguh, betapa ia beruntung bahwa guru Revan adalah Putri. Alangkah beruntungnya lagi jika ia memiliki anak nanti, Putrilah ibunya.

"Terima kasih, mohon bantuannya untuk tetap memperhatikan Revan."

"Itu sudah tugas saya."

Satria tersenyum simpul, begitupun dengan Putri.

"Kalau begitu, boleh saya mengajak Revan pulang? Saya ingin mengajaknya bermain dan mencaritahu apa yang terjadi pada anak itu," pinta Satria.

Putri mengangguk cepat.

"Tentu boleh, Revan sedang berada di kelasnya, mari saya antar."

Satria mengangguk pelan, lalu mengikuti Putri menuju kelas Revan. Di kelas, keponakannya itu sedang duduk menyendiri di bangku paling ujung sambil menunduk, dan menangis.

Satria pun menghampiri Revan, dan berjongkok di sebelah anak itu, karena bangku di sana sangat kecil.

"Wih, nangis! Kan udah besar, nggak malu sama temen-temennya?" celetuk Satria sambil mengusap-usap pelan puncak kepala Revan.

"Om Satria!" pekik Revan dengan senyum mengembang di wajahnya.

"Kangen ya, sama Om? Mau jalan-jalan nggak? Kita beli mainan, makan, main di timezone," ucap Satria dengan riangnya.

Revan langsung mengangguk cepat.

"Tapi Revan belum pulang sekolah, Om!"

"Nggak apa-apa, Bu Putri pasti kasih izin!"

Revan pun menoleh kepada Putri yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Bu, boleh Revan pergi?" tanya Revan ragu, Putri sendiri langsung mengangguk, dan tersenyum ke arah anak itu.