webnovel

Bukan Modus

"Tapi kalo lo kalah ... " sambung Arya menggantung ucapannya.

"Lo harus jajanin kita selama dua bulan," ujar Dimas melanjutkan ucapan Arya.

"Deal?" Tangan Arya sudah siap terulur untuk berjabat tangan.

"Saya bukan orang brengsek yang menjadikan perempuan sebagai bahan taruhan," balas Alga segera pergi dari hadapan kedua temannya.

Arya dan Dimas saling melempar pandangan.

"Gue demen nih, bocah kayak gini," komentar Arya kemudian menolehkan kepalanya pada Alga yang terus melangkahkan kaki.

"Semua aja lo demenin," rutuk Dimas tidak segan menoyor kepala Arya.

Arya mendesis. "Tapi gue bersyukur. Nggak salah cari temen," tambahnya.

"Lo nggak salah nyari temen. Lah, gue sama Alga nyesel bisa kenal sama lo," balas Dimas begitu menyebalkan.

"Hei kalian!" Teriakan itu menggelegar di sepanjang lorong koridor. Seorang kakak kelas yang ia ketahui menjadi bagian dari seksi bidang keamanan sedang berjalan menghampirinya.

Dua anak manusia itu lantas memutar tubuhnya.

"Sial," rutuk Dimas.

"Kampret,"--sambung Arya--"nggak bakal demen gue sama yang modelan kayak begini," gerutunya gemas.

"Kabur!" teriak Dimas segera menarik Arya untuk cepat pergi dari hadapan algojo yang siap menghukumnya.

Mau tidak mau Arya pun harus melangkahkan kaki nya dengan cepat untuk pergi dari sana.

"Hei, kalian!" teriak senior itu lagi. Namun tidak dihiraukan oleh Dimas dan Arya yang terus berlalu terbirit-birit seperti dikejar-kejar makhluk lain.

***

Alga meluruskan kakinya, pantulan warna biru dari air kolam yang beriak yang menghiasi atap gor. Netranya hanya menatap kedua temannya yang sedang lincah berenang ke sana-kemari. seperti anak gajah yang baru pertama kali menyentuh air.

"Ayo, Ga. Mumpung gratis!" teriak Arya sambil mengapung di atas permukaan air.

Alga hanya tertawa melihat tingkah teman barunya yang satu ini.

"Cemen lo, ah," susul Dimas memaki Alga.

Alga tidak menghiraukan dan hanya tertawa melihat dua anak manusia di depan sana. Ia menyandarkan tubuh pada tembok tribune di belakangnya. Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan seluas ini. Ah, kenapa ibu begitu berani menyekolahkannya di tempat sebesar ini. Ia menengadah, menarik napas panjang untuk menenangkan gejolak dada yang mendadak gaduh di dalam sana. Lantas menunduk menatap ujung sepatunya. Sekali lagi, ia menghela panjang sebelum menghadapkan wajahnya ke depan.

Tapi sesosok gadis datang dan berdiri di ambang pintu masuk. Sukses membuat kedua teman Alga saling bertatapan. Alga menatap kedua temannya.

Dimas segera naik ke permukaan, berjalan mendekati Alga dan berbisik, "Tuan Putri nih. Udah dateng. Lo antar balik, gih. Ambil aja kuncinya di tas gue."

Alga menghela berat. Namun pada akhirnya menuruti ucapan Dimas dan melenggang menghampiri Eiryl.

"Tolong jangan ganggu gue lagi," ujar Eiryl begitu Alga sudah ada di hadapannya.

"Saya nggak pernah berniat buat ganggu kamu," balas Alga.

Eiryl menarik napasnya dan berusaha meredam rasa gemas pada seorang laki-laki yang kini di hadapannya, "Tapi yang lo lakuin cukup mengganggu hidup gue."

"Kalau kamu berkenan pulang dengan saya, saya siap antar. Tapi kalau pun tidak, tidak masalah."

Gemeletuk gigi nya ia tahan kuat-kuat. "Apa lo nggak sadar? Belum sehari aja kita sekolah di sini, tapi udah banyak siswa-siswi lain yang ngomongin gue sama lo di belakang."

"Asal kamu tau, saya nggak pernah peduli sama omongan orang-orang."

Eiryl mendesis sebal. "Egois!" tandasnya segera berlalu meninggalkan laki-laki yang berhasil membuat suasana hatinya berubah drastis.

Sepeninggalan Eiryl dari hadapannya, Alga hanya diam terpaku di tempat dengan sorot mata yang tidak lepas dari gadis itu. Senyumnya mengembang begitu saja.

"Kejar!" teriak Arya dan Dimas bersamaan.

Karena teriakan kedua temannya, Alga pun beranjak dari tempatnya untuk mengejar langkah Eiryl. Sampai langkah mereka sejajar, ia memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.

"Hei, maaf, saya nggak ada maksud buat kamu marah," ujar Alga yang tidak mendapatkan perhatian secuil pun dari Eiryl.

"Hei," panggil Alga lagi.

Eiryl langsung menghentikan langkah. "Dengar baik-baik. Gue nggak mau jadi bahan omongan orang lain," tegas nya langsung.

"Maaf. Saya nggak ada maksud seperti itu. Sebagai permintaan maaf dan kalaupun berkenan bisa saya antar kamu pulang."

Eiryl menatap Alga dari ujung kaki hingga kepala. "Nggak usah ngalus," ketusnya.

"Mau ya ayo, nggak mau yo wes, saya nggak maksa," balas Alga meski sebenarnya mulai kesal.

"Nggak perlu. Makasih," ketus Eiryl segera berlalu. Namun saat langkah kakinya baru mengayun, ponselnya berdering dan ada nama Pak Nur yang tertera di layar. Ia kembali menghentikan langkahnya dan melirik Alga sekilas yang ternyata masih di tempatnya berdiri.

"Maaf, Non. Pak Nur nggak bisa jemput nona sekarang. Soalnya ban mobil bocor, Non."

"Ya di tamballah, Pak," ujar Eiryl menahan rasa kesalnya yang semakin ingin membeludak.

"Iya, Non. Tapi ini bakal lumayan lama."

Argh! Rasa nya Eiryl ingin mengamuk saat itu juga. Dengan gemas ia mengakhiri telpon selulernya. Ia kembali menoleh ke arah Alga.

"Lo nggak modus, kan?" selidik Eiryl.

Alga berdecak. "Emang tampang manis seperti saya pantes buat jadi tukang modus?" tanyanya intens.

"Entah." Eiryl mengidikkan bahunya. "Lagian mustahil juga, tampang sok manis kayak lo punya sifat yang manis juga. Bahkan kebanyakan brengsek," lanjutnya.

Alga menghela sabar. "Semua laki-laki memang brengsek. Begitu lah kata perempuan. Sampai nggak sadar kalau ayahnya sendiri pun laki-laki," balasnya.

"Maksud lo apa ngomong gitu?" Eiryl maju satu langkah. Ia merasa tidak terima dengan ucapan Alga.

Alga pun ikut maju satu langkah, hingga hanya tersisa jarak tidak lebih dari setengah meter dengan Eiryl. "Maksud saya. Nggak semua laki-laki itu bisa kamu pukul rata untuk di anggap brengsek."

"Oh." Eiryl melipat kedua tangannya di depan dada. "Jadi lo nggak terima buat dibilang brengsek?"

"Asal kamu tau, nggak semua laki-laki itu brengsek," ujar Alga segera berlalu.

Sial. Eiryl menatap Alga yang berjalan mendahuluinya. Dengan kesal ia menghentakkan kaki nya dan cepat menyusul langkah Alga.

"Heh!" Ditarik nya lengan Alga hingga menghentikan langkah nya.

"Saya punya nama," ujar Alga menatap Eiryl dengan datar.

"Gue nggak peduli nama lo siapa. Gue cuma mau ngasih tau, papa gue pengacara dan kalo lo macem-macem sama gue, bisa abis riwayat lo!" ancam Eiryl dan Alga malah menatapnya dengan pandangan yang semakin datar.

"Saya nggak peduli."

Eiryl mendesis kesal.

"Saya tau sebenarnya kamu ramah. Hanya saja terlalu parno sama omongan orang lain," ujar Alga tetap melangkahkan kakinya ke tempat parkir.

"Dasar, sok tau," rutuk Eiryl.

Di tempat parkir Alga meraih helm milik Dimas yang bertengger di kaca spion lalu memberikannya pada Eiryl.

"Loh, kok gue? Kan lo yang nyetir," cerocos Eiryl.

Alga menyisir rambut dengan jemari. Ia menatap Eiryl yang terlihat masih kesal kepadanya. "Memang saya yang nyetir, bukan kamu," jawabnya santai, sukses membuat Eiryl merasa kikuk.

"Oh." Eiryl terbungkam. "Ini motor lo?" tanyanya kemudian.

"Bukan," jawab Alga sambil menaiki motor trail milik Dimas lalu mengeluarkannya dari tempat parkir.

"Terus?" tanya Eiryl masih berlanjut.

Alga berdehem. "Kamu calon wartawan, ya?" ditatap nya Eiryl dengan pandangan yang amat datar.

Eiryl tersadar kalo dirinya banyak tanya. Ia segera mengenakan helm dan menumpangi motor yang sudah siap melesat.

"Pegangan," titah Alga sebelum melesat.

"Lo nggak pake helm?" tanya Eiryl heran.

"Keselamatan kamu lebih penting," jawab Alga.

"Makasih." setelah itu Eiryl kembali diam.

"Pegangan," titah Alga lagi.

"Jangan modus, deh."

"Saya nggak se-brengsek yang kamu pikirkan."

Terdengar Eiryl berdecak kemudian dengan ragu melingkarkan tangannya ke pinggang Alga

"Udah?" tanya Alga.

"Iya." sahut Eiryl di belakang.

Eiryl mengembangkan senyumannya. Hal sesederhana itu pula yang membuat wajah datar Alga lantas di hiasi senyuman yang manis dan itu terlihat jelas oleh Eiryl melalui pantulan kaca spion.

Mereka melesat bersamaan dengan teriakan Ronaldo dan Renaldi dari arah seberang tempat parkir. "Hei, kalian! Rupa-rupanya!" pekiknya kompak.

"By the way, mereka kompak, ya," ujar Eiryl membuka obrolan.

"Maklum, abangnya upin-ipin," sahut Alga berhasil membuat Eiryl memecahkan tawa nya.

***

Bersambung