webnovel

Saat Hujan

Air hujan nampaknya mencoba bekerja keras. Entah untuk menyatukan antara air dan tanah. Ataukah justru menyatukan antara aku dan kamu.

Rumah, 21.33

Hujan yang belum berhenti hingga membuat teman-temanku terpaksa harus menginap di rumah, tanpa terkecuali Devano. Bukan aku tidak mau mereka menginap, namun karena aku merasa malu pada Devano saat bermalam di rumahku. Ada rasa yang tidak bisa aku lukiskan dengan jelas.

Aku membersihkan kamar tidurku dengan segera. Saat dimana mereka berdua akan menggunakan kamar miliku ini. Sementara aku akan tidur di kamar Bunda. Aku, Icha dan tentu bersama Bunda sekamar.

Bagi Icha ini bukanlah kali pertama dia menginap di rumah. Biasanya dia tidur di kamarku, kami berdua bersama-sama menikmati malam sewaktu Icha menginap. Banyak hal yang kami bahas, dari mulai gebetan, mantan dan seputar hal yang berkaitan dengan itu. Aku merasa hal di atas adalah obrolan asik dan seru, karena aku belum pernah berpacaran, satu kalipun.

Saat tadi membersihkan, aku baru sadar jika aku tadi belum menyembunyikan hadiah pemberian Devano. Mungkin dia telah menyadari sekarang. Dia mungkin sudah melihat hadiah pemberiannya, yang telah terpampang jelas di atas meja belajarku.

Meja dengan warna plitur cokelat terbuat dari kayu jati. Juga satu tempat duduk yang sejak sekolah dasar sudah aku gunakan. Di atas meja ini terdapat tumpukan buku-buku favorit milikku. Aku menyukai novel horor dan sedikit romance. Karena itulah aku suka mengumpulkan novel dari karya penulis yang aku sukai, misalnya penulis Bang Rey.

"Ah..sial. Devano jadi tahu semua itu kan," gumamku dan aku jadi kesal sendiri.

Bunda membuka pintu kamarnya, saat aku dan Icha berada di dalam kamar miliknya. Lalu menyodorkan sebungkus kantong plastik kecil, berisi benda yang sudah Bunda beli dari warung tetangga kami. Obat pengusir nyamuk dengan bentuk lempengan persegi panjang berwarna biru muda.

"Din, coba ini kasihkan ke mereka."

"Apa ini Bunda?"

"Obat nyamuk elektrik, takutnya disana nanti banyak nyamuknya."

"Oh..iya Bunda."

Aku mengambil sebungkus plastik itu, lalu berjalan menuju ke kamarku. Sebenarnya aku bisa saja menyuruh Icha, namun aku juga penasaran. Cowok tampan dan manis itu sudah tidur ataukah belum, sedang apa kira-kira, dan dia betah atau tidak di kamarku. Semua itu memenuhi isi kepalaku.

"Van, bukain pintunya." Aku di depan kamar.

"Iya bentar," kata Devano yang berada di dalam kamarku.

"Eh, Din. Gimana? Mau tidur di sini juga?

"Enggaklah. Gila apa?, sembarangan kalau ngomong ya." Aku sedikit kesal karena ucapannya.

Dia malah tertawa kecil dengan jawabanku.

"Ini loh..pakai aja...!!!" Aku menyodorkan bungkusan itu sembari sedikit kesal dengan apa yang barusan dia ucapkan.

"Beecanda, sini Masuk Din.."

Aku belum menjawab apapun. Devano sudah mengambil bungkusan itu dengan tangan kananya. Setelah itu lalu menarik tanganku dengan tangan kirinya. Aku pasrah, kami berdua masuk ke dalam kamar. Duduk berdua di atas ranjang tempat tidur.

Aku melihat sekeliling kamar ini. Ruangan minimalis bertema klasik, luasnya sekitar tiga kali empat meter dengan satu dipan yang hanya cukup untuk dua orang. Catnya berwarna abu-abu pada dindingnya. Beberapa foto keluarga, aku dan Bunda juga ada di sana.

Mataku memandangi patung kecil sepasang Mickey dan Mini Mouse yang sudah berpindah posisi. Itu artinya dia sudah tahu bila hadiah yang dia berikan sudah aku pajang di situ. Mungkinkah dia menjadi salah paham dengan sikapku.

"Mana si Ghandi?"

"Tuh di dalam."

"Katanya pengen BAB dari tadi. Lama itu anak di dalam situ." Penjelasan Devano lebih lanjut.

Devano menunjukan kamar mandi kecil berukuran satu kali dua meter yang sebenarnya hanya layak disebut wc. Kamar mandi di dalam kamar tidur. Ruangan itu sangat tertutup, ventilasi dibuat langsung menuju keluar rumah. Jika ada suara di kamar dan aku dikamar mandi. Pasti suara itu tidak akan terdengar dengan jelas.

"Din, sebenarnya udah lama. Aku mau bilang sama kamu."

"Iyaa, ada apa Van?" Aku bertanya padanya.

"Sejak kali pertama ketemu di kelas. Enam bulan lalu Din. Tepat hari pertama aku pindah dari Jakarta ke Malang. Aku mulai suka sama kamu.

Aku terdiam sejenak, dan badanku sedikit kaku. Mungkin aku merasa aneh. Kali pertama aku ditembak oleh cowok. Terlebih cowok idaman, pangeran impianku. Terlebih di depan kedua mataku.

Devano melanjutkan pembicaraanya.

"Tadinya kita sering berantem, akrab sebagai teman. Lalu dekat biasa seperti ini. Dan aku mulai menyadari, kalau ternyata aku suka sama kamu."

Wajah tampan, putih, hidung mancung dan alis tebal itu kini sangat jelas sekali terlihat ada di depanku. Berada di kamarku. Ah, indahnya pemandangan yang Tuhan ciptakan. Namun jarak yang dekat ini membuat dadaku berdegup kencang. Mungkinkah aku benar-benar menyukai cowok tengil ini?.

"Aku sayang sama kamu, Din. Apa kamu mau jadi pacar aku?"

Matanya membulat dengan kedua tangan memegangi kedua tanganku. Aku melihat ekspresi keseriusan terpancar di wajah tampannya. Caranya menatapku, membuat perasaanku seketika runtuh hilang tanpa kendali. Namun aku tetap berusaha fokus dan berpikir sejenak. Meski itu sulit.

"Hmm...?" Aku belum selesai menjawab.

"Din, gak harus dijawab sekarang nggak apa-apa kok. Aku bakal tunggu sampai kamu siap jawabnya." Devano memberi pengertian padaku.

"Besok bakal aku jawab Van, pasti. Makasih buat pengertianmu."

Dari sudut kota Malang aku melihat keindahan malam dengan cara yang sempurna. Hujan menemani kami dan mengantarkan ribuan harapan dari bumi. Namun satu-satunya yang aku harapkan kini hanyalah, aku ingin memilikimu.

Sekolah, 06.35

Zidduya adalah sekolah yang memiliki tiga gedung sebagai tempat siswa menempuh pendidikan di sini. Satu gedung utama adalah tempat murid dikumpulkan. Hanya ada sepuluh kelas di dalamnya. Terdapat juga lapangan indoor yang berada di tengah dan bisa dilihat oleh semua penjuru kelas. Biasanya anak-anak cowok sering main futsal di sini.

Dua gedungnya adalah pendukung. Gedung satu untuk operasional para guru seperti kantor guru, ruang rapat, ruang pertemuan orangtua, ruang informasi, dan ruang bagian keuangan ada juga di sana. Sedangkan gedung dua di dalamnya terdapat kantor yayasan, fasilitas perpusatakaan baik digital dan fisik, kantin khusus guru, dan ruang teater berukuran besar.

Aku berjalan di koridor gedung yang kedua. Aku melewati ruang teater untuk menuju perpustakaan. Hari ini jadwalnya Bu Asih. Setiap kali pembelajaran dilakukan, Guru Bahasa Indonesia itu selalu minta untuk mengajar di ruang perpustakaan. Biar lebih mudah mencari referensi. Katanya lebih efektif dan efisien.

Perpustakaan Zidduya memiliki sistem canggih, pintunya hanya bisa dibuka menggunakan sistem aplikasi smartphone yang terintegrasi dengan jaringan khusus di sekolah. Hanya pihak sekolah dan kami yang terdaftar sebagai muridlah yang memiliki akses masuk. Saat aplikasi itu dibuka, lalu username dan password di masukan pada ponsel milik kami. Pilih fitur masuk perpustakaan lalu klik buka. Pintu secara otomatis dapat terbuka.

Buku-buku fisik di perpustakaan memiliki ribuan koleksi di dalamnya. Dari banyak genre, banyak penulis, dan banyak tahun tebit. Secara fisik ruangan ini sangat mewah. Ada ruang khusus komputer canggih di dalamnya. Ada koleksi buku yang terdapat pada 30 rak penyimpanan. Ada bagian informasi. Ada tempat penyimpanan barang atau loker. Ada meja dan kursi yang dapat menampung 200 orang pengunjung. Terdapat juga ruang penerbitan di sini.

Hal yang paling lebih mencengangkan adalah semua buku di sini dapat di akses melalui smartphone. Aplikasi perpustaan Zidduya dapat di download di playstore. Untuk membaca buku yang kita ingingkan semudah membuka ponsel. Semua buku fisik sudah ada dalam versi digital. Banyak siswa berprestasi juga sering beberapa kali menerbitkan karya mereka di sini.

"Bentar Din..," ucap seseroang yang berada di belakangku. Aku menolehkan kepala untuk melihatnya.

***