webnovel

Romeo & Juliet

Biasanya hujan meneteskan air kepada tanaman dan segala makluk di bumi. Dari sanalah kehidupan di bumi dapat tumbuh dan berkembang. Namun sejak saat itu hujan malah meneteskan air rindu kepada rasaku ini. Juga dari sanalah cinta di jiwaku berkembang.

"Juliet, aku tak akan rela bila dirimu dimiliki oleh laki-laki seperti Paris. Menikahlah denganku. Aku mencintaimu sejak kita bertemu pertama kali di pesta." Romeo dengan tubuh yang berlutut di hadapan Juliet.

"Bukan begitu Remeo, aku juga mencintaimu tapi..." jawaban Juliet kepadanya.

Belum selesai Julet menyelesaikan jawabannya. Romeo berdiri lalu menatap tajam mata Juliet dan mencium pipinya sebelah kanan lalu memeluk tubuh Juliet. Seketika rona wajah Juliet memerah seperti bunga mawar yang baru mekar.

"Bagaimana dengan Rosaline?" tanya Juliet setelah dia dipeluk oleh tubuh tinggi dan bidang seorang remaja bernama Romeo.

"Aku akan meninggalkannya untukmu, Juliet. Aku tidak pernah mencintainya. Aku dipaksa oleh keluargaku umtuk menikahi wanita itu suatu hari nanti." Penjelasan Romeo. Sebenarnya Juliet juga dipaksa akan menikah oleh keluarganya.

"Aku juga dipaksa Romeo, aku tak mencintainya," kata Juliet dengan raut kesedihan.

"Mari kita kabur untuk menikah denganku Juliet. Kita bisa hidup bahagia" Romeo mengenggam erat tangan Juliet.

"Bagaimana aku bisa menolakmu. Aku juga mencintaimu." Seketika mata Juliet berbinar-binar lalu mengangguk mengiyakan permintaan Romeo. Juliet juga mencintai Romeo.

Mereka berdua bergandengan tangan kemudian meninggalkan panggung teater ini. Berjalan membelakangi para penonton. Teater itupun berjalan dengan sangat lancar dan sukses.

Romeo dan Juliet, juga Paris dan Rosaline yang baru masuk di atas panggung teater. Mereka berdiri lalu membungkuk, seketika disambut dengan riuh tepuk tangan para penonton.

Guru Bahasa Indonesia, Bu Asih dan teman-teman mereka sekelas, telah menyaksikan pertunjukan seni teater pendek tentang "Kisah Cinta Romeo dan Juliet." Baliroom Teater lagi-lagi telah menyaksikan secara bisu kisah cinta mereka berdua, Adina dan Devano.

Rumah, 08.14

Sangat manis sekali pertunjukan teater itu, meski hanya teater pendek. Meski hanya sekedar tugas sekolah. Mereka semua terhibur, tersentuh lebih tepatnya. Pada setiap adegan teater kami. Aku sebagai Juliet, Devano sebagai Romeo, Ghandi sebagai Paris, dan Icha sebagai Rosaline. Kami semua merasa sangat bahagia. Lebih tepatnya aku, yang tenggelam dalam sentuhan Romeo di panggung sana.

Aku tenggelam dalam hangatnya cinta Romeo, maksudku tentu Devano. Tidak seharusnya aku membawa perlakuan dan perasaan manis Romeo dalam kehidupanku. Meski teater kisah cinta Romeo dan Juliet berakhir dengan kisah yang tragis. Namun perasaanku tetaplah tenggelam manis.

"Oh Adina, kamu terlalu larut dalam imajinasimu sendiri. Ingatlah siapa Devano, siapa kamu." Gumamku setelah seharian ini di rumah, sembari mengingat pentas teater kami kemarin.

Kisah cinta di balik Romeo dan Juliet sebenarnya hanyalah karangan naskah dari Shakespeare yang dibuatnya dari sebuah puisi. Pada tahun 1562 seorang penyair berkebangsaan Inggris, Arthur Brooke menciptakan maha karya puisi berjudul "The Tragical History of Romeus and Juliet." Bahkan, Arthur sendiripun menerjemahkan puisi itu dari kisah Italia yang berjudul "Mariotto and Ganoza" yang lahir dari tangan seorang Massuccio Salernitano pada tahun 1476.

Aku yang berada di kamar.

"Din, sarapan dulu nih," kata Bunda.

"Iya bun, bentar ya...," aku

"Bunda tinggal nih, ayo sarapan bareng."

"Ish.. iyaa-iyaa aku kesana..."

Aku berjalan dari kamar menuju dapur, dan aku menemukan nasi goreng bebek buatan bunda. Kami sarapan bersama di meja makan dapur. Meski rasanya tak seenak masakan mbak Lastri, namun tetaplah masakan bunda tidak bisa begitu saja dibilang tidak enak. Makanan favoritku di rumah ini.

"Din besok Bunda bakal masak banyak," seloroh Bunda.

"Emang buat apa Bunda?" tanyaku padanya.

"Kamu lupa ya. Kamu kan ulang tahun besok. Gimana yaa anak Bunda ini. Ish..ish... Masih muda udah pikun."

Bunda menjawab sambil menggelengkan kepala perlahan. Sembari bercanda denganku.

"Oh..iya Bun. Aku nggak inget malahan."

"Sama hari ulang tahun sendiri masak lupa?"

"Asyikk....besok makan banyak."

"Oh..iyaa.. Temen-temenmu kemarin diajakin ya. Minta tolong Icha biar bantuin Bunda masak."

"Lah, Devano gimana Bunda?"

"Ajak juga Din. Semua Adhina. Ghandi juga. Kan kalian berempat temenan."

"Oke Bunda," aku menjawab Bunda sambil tersenyum senang tak jelas.

Setiap kali aku ulang tahun pasti Bunda merayakannya secara sederhana. Khas masakan Bunda tentunya. Bunda membuat masakan nasi kuning beserta beberapa pelengkap kesukaanku.

Umumnya nasi kuning dipadu dengan daging ayam yang digoreng. Beda dengan kami, ketika aku ulang tahun bebek gorenglah pasangan yang tepat untuk nasi kuning. Entah mengapa memang aku paling suka dengan makanan itu. Terlebih nasi goreng bebek. Hmmmm...terfavorit. Lidahku tak bisa menolak.

"Van, besok bisa ke rumah?" Jari-jemariku mengetik melalui layar ponsel di genggaman.

Ini kali pertama bagi Devano yang akan ikut untuk merayakan aku berulangtahun. Aku bingung, jari-jari ini menghapus lalu merubah kata-kata yang tertulis pada layar ponsel.

"Bagaimana harus memberitahu Devano, kalo besok adalah hari ulang tahunku. Lalu mengundangnya untuk merayakannya di rumah. Ahh,....kenapa jadi rumit sendiri sih..!" gumamku. Padahal Ghandi dan Icha sudah aku kirim pesan via chat. Mereka mengatakan akan datang. Seperti tahun lalu, mereka juga menyempatkan ke rumah untuk merayakannya.

Hujan menarilah di atas langit. Bawa aku bersamamu. Biar dia tahu selain pelangi yang cantik. Ada aku yang juga pantas untuk dinantikan.

Sekolah, 09.00

Bel berbunyi menandakan kami akan memulai istirahat yang pertama. Bangku berbentuk persegi berukuran sekitar 30-an centi terbuat dari stainles, beserta mejanya yang berukuran lebih besar hanya mampu menampung diriku sendiri.

Maklum, sekolah kami adalah sekolah mahal dengan isi kelas yang terbatas. Hanya boleh diisi dengan 20 siswa dengan kursi dan meja yang sebanding, sesuai jumlah siswa.

Semua pembelajaran di sini menggunakan projector dan metode terupgrade. Banyak hal di sini serba modern dan tentunya berbiaya mahal. Beruntungnya aku yang mendapatkan beasiswa. Sehingga semua fasilitas Zidduya bisa dinikmati dan dimanfaatkan.

Suasana kelas menjadi kosong, hanya ada aku yang duduk sendirian termenung. Teman-temanku sudah melangkahkan kaki semua ke kantin. Aku yang masih sama, dengan perasaan yang belum pernah seperti ini. Malu, bingung campur cemas soal bagaimana memberitahu Devano. Nanti malam kami akan mengadakan perayaan hari jadiku yang ke-16 tahun.

"Din,..."

Seorang cowok tampan, manis, tinggi dan sialnya aku menyukainya. Tiba-tiba entah dari mana dia membuyarkan lamunanku. Devano Samuel Escapra idaman hampir segala jenis perempuan di sekolah, dari yang cewek biasa hingga cewek idola seperti group ekskul teater.

Ekskul paling populer di sekolah ini, khususnya bagi kalangan para remaja perempuan.

"Ehh....iyyaaa.." jawabku yang sedikit terkaget.

"Ngapain sendirian di sini?" ucapnya.

"Oh...nggak apa-apa. Belum pengen ke kantin kok."

"Nih...!" Tanganya menyodorkan sebuah kado berbentuk kotak kecil berukuran sekitar lima centi. Berwarna pink dengan gambar bunga-bunga di bungkusanya.

"Apa ini Van..?" Aku masih belum mengerti dengan yang dia lakukan.

"Hadiah ulangtahunmu"

"Hah..apaa...?"

Aku masih belum mengerti juga dia mengatakan itu. Aku masih tak percaya dia memberiku hadiah ulangtahun. Padahal dialah orang pertama yang memberikanku hadiah ulangtahun. Harusnya perasaanku senang. Tapi justru aku malah merasa bingung.

"Astaga Tuhan, cobaan apa lagi ini? Dia kan terkenal gonta-ganti cewek, haduh... Masak suka sama aku sih." Pikiranku kemana-mana memikirkannya.

"Itu hadiah buat ulangtahunmu. Kalo gak mau sini, kembaliin aja...!"

"Ish.....kamu niat ngasih atau enggak sih? Kok diminta lagi?"

Aku sedikit kesal dengan cowok tengil yang ada di depanku. Tidak ada kata-kata manis yang dilontarkan selayaknya seseorang memberikan kado. Setidaknya perlakuan manis atau apalah yang membuatku bisa lebih menyukainya. Untungnya tampan, jadi ku mafkan.

"Iyaa..udah buruan ambil, terus buka."

"Aku buka ya.."

Aku terdiam sejenak setelah membukanya..

***